dr Zaidul menjelaskan, sering kali orang tetap makan berlebihan meski akalnya sudah tahu makanan itu tidak sehat. Menurutnya, hal itu terjadi karena ada kebutuhan jiwa yang tidak terpenuhi.
“Karena ada sesuatu yang berkaitan sama jiwanya. Apa yang dia makan itu sebenarnya tempat pelampiasan dia untuk merasakan atau mendapatkan apa yang dia tidak dapatkan dari jiwanya,” jelasnya.
Ia menegaskan, makanan fisik seseorang adalah cerminan dari jiwanya.
Fenomena ini makin jelas terlihat pada pola konsumsi masyarakat saat ini.
Menurut dr Zaidul Akbar, jajanan zaman sekarang kebanyakan berbahan dasar tepung dan bercita rasa manis.
“Sekarang ini jajanan berlimpah ruah. Bahan bakunya apa? Satu, tepung dengan berbagai macam nama. Kedua, mereka butuh manis. Kebanyakan jajanan dijual manis semua. Jadi enggak mau lagi orang tuh untuk merasakan pahit,” katanya.
Padahal, lanjut dr Zaidul Akbar, rasa pahit juga dibutuhkan tubuh untuk menyeimbangkan tubuh.
“Pahit itu dibutuhkan. Di balik kecenderungan makanan seseorang, ada jiwa yang sebenarnya sedang meminta diberikan makanan,” ungkapnya.
dr Zaidul Akbar kemudian mengingatkan bahwa manusia tidak hanya terdiri dari tubuh semata, tetapi juga akal dan jiwa. Semuanya saling terhubung dan tidak bisa dipisahkan.
“Manusia itu ada jasadnya, ada akalnya, ada jiwanya. Ini semua satu paket, enggak bisa pisah-pisah,” pungkasnya. (Serambinews.com/Firdha Ustin)