Opini
Takengon Pusat Wisata Agraris Aceh yang Bermartabat
Kopi Arabika Gayo telah mendapatkan pengakuan internasional sebagai salah satu kopi terbaik di dunia. Kopi ini ditanam di Dataran
Oleh: Prof Dr Apridar SE M Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh
TAKENGON, kota yang terletak di Aceh Tengah, telah menjadi destinasi wisata yang menarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Dengan udara sejuk dan pemandangan alam yang indah, Takengon menawarkan lebih dari sekadar kenyamanan.
Kota ini dikenal sebagai penghasil kopi terbaik di dunia, khususnya kopi Arabika Gayo. Selain itu, Takengon juga memiliki danau laut tawar yang menjadi habitat ikan depik, spesies yang hanya ditemukan di danau tersebut. Pemerintah daerah saat ini sedang menggalakkan wisata halal sebagai salah satu bentuk produktivitas masyarakat secara berkelanjutan.
Kopi Arabika Gayo telah mendapatkan pengakuan internasional sebagai salah satu kopi terbaik di dunia. Kopi ini ditanam di Dataran Tinggi Gayo, yang memiliki ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut.
Kopi Gayo memiliki cita rasa yang khas, dengan aroma kuat dan body yang berat. Kopi ini telah mendapatkan sertifikasi Fair Trade dan Indikasi Geografis, yang semakin memantapkan posisinya sebagai kopi organik terbaik dunia.
Baca juga: Nikmatnya Depik Tangkap, Kuliner Khas Gayo yang Bisa Dijadikan Oleh-Oleh dari Aceh Tengah
Takengon hadir dengan narasi yang berbeda yaitu perpaduan harmonis antara kekayaan alam, nilai-nilai budaya dan syariah, serta produktivitas ekonomi yang berkelanjutan untuk kemaslahatan umat.
Kopi Gayo, Emas Hijau yang Memberi Kesejahteraan
Tidak hyperbola untuk menyebut Kopi Arabika Gayo sebagai tulang punggung martabat agraris Takengon. Data dari Dinas Perkebunan Aceh Tengah mencatat luas areal perkebunan kopi di daerah Gayo (meliputi Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues) mencapai lebih dari 95.000 hektar, dengan mayoritas dikelola oleh petani kecil.
Prestasinya pun gemilang. Kopi Gayo telah menyabet sertifikasi Indikasi Geografis (IG) sejak 2010, mengukuhkannya sebagai produk unik yang terikat dengan lokasi geografis spesifik. Selain itu, sertifikasi Fair Trade dan Organic yang dimiliki oleh banyak koperasi petani memastikan bahwa proses dari biji hingga cangkir menghormati prinsip keadilan dan kelestarian lingkungan.
Fakta lapangan menunjukkan dampak nyata bagi kesejahteraan. Harga kopi Gayo yang berkualitas premium, seringkali 2-3 kali lipat harga kopi biasa, langsung meningkatkan pendapatan petani. Koperasi-koperasi seperti Koperasi Baitul Qiradh (sebutan untuk koperasi syariah di Aceh) tidak hanya menampung hasil panen, tetapi juga memberdayakan petani dengan pelatihan manajemen dan pemasaran.
Model ini sesuai dengan prinsip syariah yang menekankan keadilan (‘adl), menghindari eksploitasi (zhulm), dan mengedepankan kemaslahatan bersama. Wisatawan yang datang untuk coffee tasting atau tur ke kebun tidak hanya menikmati segelas kopi, tetapi juga menjadi bagian dari rantai kebaikan yang menghidupi ribuan keluarga.
Danau Lut Tawar dan Depik, Simfoni Ekologi dan Ekonomi
Pilar agraris lainnya adalah Danau Lut Tawar dan kekayaan ikannya, terutama ikan depik (Rasbora tawarensis). Danau seluas 5.472 hektar ini bukan hanya pemandangan indah, tetapi juga sumber kehidupan.
Ikan depik, yang menjadi endemik danau, telah menggerakkan roda ekonomi nelayan tradisional. Musim tangkapan depik (biasanya antara Oktober-Desember) menjadi momentum ekonomi yang dinantikan, dimana hasil tangkapan didistribusikan ke pasar lokal bahkan hingga ke Medan dan Banda Aceh.
Namun, di sinilah letak tantangan sekaligus peluang untuk menjaga martabat. Data dari Dinas Perikanan setempat menunjukkan adanya tekanan ekologis akibat aktivitas perikanan yang tidak terkendali dan sedimentasi. Pemerintah daerah dan lembaga adat mulai gencar menggalakkan budaya tangkap berkelanjutan, yang sejalan dengan prinsip hifzhul bi'ah (menjaga lingkungan) dalam Islam.
Konsep wisata agraris yang bermartabat menawarkan solusi: mengalihkan sebagian tekanan ekonomi dari menangkap depik ke sektor jasa wisata. Wisatawan dapat diajak untuk mengalami langsung kehidupan nelayan dengan prinsip catch and release atau budidaya keramba jaring apung yang ramah lingkungan, sehingga ekosistem danau terjaga untuk generasi mendatang.
Wisata Halal sebagai Kerangka Etika dan Ekonomi
Pengembangan Takengon sebagai pusat wisata agraris tidak bisa lepas dari kerangka besar wisata halal. Berbeda dengan pemahaman sempit yang hanya berfokus pada makanan halal, wisata halal di Takengon adalah sebuah ekosistem ekonomi syariah yang menyeluruh.
Akomodasi dan Kuliner: Hotel dan homestay mulai menerapkan prinsip syariah, seperti pemisahan fasilitas untuk keluarga dan jamaah, serta menyediakan makanan yang tidak hanya halal tetapi juga thayyib (baik, sehat, dan proporsional).
Warung-warung kopi dan rumah makan dijamin kehalalannya, memberikan ketenangan bagi wisatawan muslim. Data dari Dinas Pariwisata Aceh Tengah mencatat peningkatan signifikan permintaan akomodasi bernuansa islami, terutama dari wisatawan Malaysia dan Timur Tengah.
Selain menikmati kebun kopi dan danau, wisatawan dapat engaging dalam aktivitas yang memiliki nilai spiritual dan edukatif. Berkuda, sebagai olahraga yang disunnahkan dalam Islam, adalah contoh sempurna.
Arena pacuan kuda di Takengon bukan sekadar atraksi, tetapi representasi dari budaya yang selaras dengan ajaran agama. Aktivitas lain seperti mengunjungi pusat pengolahan kopi syariah atau berinteraksi dengan komunitas petani yang menjunjung tinggi nilai kejujuran (shiddiq) dalam transaksi, memperkaya pengalaman wisata.
Kekuatan dari model wisata agraris yang bermartabat ini terletak pada dampak ekonominya yang inklusif dan humanis. Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata dan pertanian kopi menjadi penyerap tenaga kerja terbesar di Aceh Tengah. Yang membedakan adalah bagaimana pertumbuhan ekonomi ini dirasakan hingga ke akar rumput.
Pemandu wisata merupakan seorang petani kopi di pagi hari. Seorang ibu rumah tangga mengelola homestay sederhana yang menyajikan hidangan lokal untuk tamu. Seorang pemuda mengembangkan usaha olahan kopi dan kerajinan tangan bernuansa Gayo. Ekonomi tidak hanya berputar di investor besar, tetapi terdistribusi merata kepada masyarakat (sadaqah jariyah dalam bentuk ekonomi). Ini adalah esensi dari produktivitas berkelanjutan yang dijamin dalam syariah.
Tantangan dan Langkah Ke Depan
Takengon masih menghadapi tantangan. Infrastruktur, terutama akses jalan dari Banda Aceh dan Medan, masih perlu ditingkatkan. Kapasitas SDM dalam menghadapi wisatawan mancanegara, pemasaran digital, dan standardisasi layanan halal juga perlu terus dibenahi. Pemerintah daerah harus konsisten dalam menerapkan kebijakan yang pro-lingkungan dan pro-masyarakat kecil, serta memastikan bahwa perkembangan wisata tidak menggeser identitas kultural dan religious masyarakat Gayo.
Takengon lebih dari sekadar destinasi, ia adalah sebuah gagasan. Gagasan tentang bagaimana kekayaan agraris dari biji kopi, ikan depik, hingga kuda dapat dikelola dengan prinsip-prinsip yang memuliakan manusia dan alam. Martabatnya terletak pada komitmen untuk tidak menjual diri secara murah, tetapi pada keberanian untuk menawarkan nilai-nilai autentik: kearifan lokal, keberlanjutan, dan spiritualitas.
Dengan menyandingkan kebun kopi, danau, dan nilai-nilai syariah, Takengon tidak hanya menjadi pusat wisata agraris Aceh, tetapi menjadi contoh nyata bagaimana pariwisata dapat menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan yang bermartabat, berkeadilan, dan berkelanjutan, sebagaimana diajarkan dalam Islam.
Setiap cangkir kopi Gayo yang dinikmati seorang wisatawan adalah cerita tentang martabat itu sendiri sebuah cerita yang patut didengar oleh dunia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.