Razia Pelat BL

Razia Pelat BL Saat Masuk Sumut, Dosen Hukum Unimal: Tindakan Gubernur Bobby Dapat Dipidana

Dalam perspektif hukum administrasi negara, perbuatan tersebut jelas melampau

Penulis: Jafaruddin | Editor: Ansari Hasyim
IST
Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Muksalmina, SHI, MH.  

Laporan Jafaruddin l Aceh Utara

SERAMBINEWS.COM, LHOKSUKON – Tindakan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution menghentikan truk berpelat Aceh (BL) dan memaksa sopir mengganti pelat menjadi pelat Sumut (BK/BB) saat masuk wilayah Sumut, adalah bentuk penyalahgunaan kewenangan yang tidak dapat dibenarkan secara hukum.

“Dalam perspektif hukum administrasi negara, perbuatan tersebut jelas melampaui kewenangan seorang gubernur,” ungkap Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Muksalmina, SHI, MH kepada Serambinews.com, Senin (29/9/2025).

Baca juga: Anggota DPRA Sindir Bobby Nasution, Gubernur Rasa Petugas Dishub

Menurut Muksalmina, dalam Pasal 65 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, gubernur hanya berwenang menjalankan urusan pemerintahan yang ditetapkan undang-undang.

“Nah, menghentikan kendaraan bermotor di jalan raya adalah kewenangan Polri, bukan kewenangan gubernur,” tegas Muksalmina.

Ia menambahkan, kewenangan Polri telah diatur jelas dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 dan Pasal 260 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Dengan demikian, tindakan Bobby dapat dikategorikan sebagai ultra vires, yakni melampaui kewenangan hukum.

Lebih lanjut, Muksalmina menjelaskan bahwa dalih Bobby terkait Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) juga tidak berdasar.

Berdasarkan Pasal 4 dan 5 UU Nomor 28 Tahun 2009 dan Pasal 9 UU Nomor 1 Tahun 2022, PKB dikenakan berdasarkan domisili pemilik kendaraan.

Artinya, kendaraan berpelat BL tetap sah membayar pajak di Aceh, bukan di Sumut.

“Memaksa pemilik kendaraan mengganti pelat atau membayar pajak di Sumut sama saja dengan perbuatan melawan hukum.

Bahkan, bila ditarik ke ranah pidana, tindakan tersebut berpotensi melanggar Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang dan Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan orang lain,” ujarnya.

Oleh karena itu, pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri wajib mengambil langkah tegas.

Negara tidak boleh membiarkan praktik-praktik yang menciptakan diskriminasi antarwarga negara dan memperlakukan Aceh seolah-olah wilayah asing.

Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa NKRI adalah satu kesatuan (Pasal 1 ayat (1) UUD 1945), sehingga segala bentuk kebijakan yang mengarah pada pemisahan identitas wilayah harus segera dihentikan.

Tindakan tegas dari pemerintah pusat penting bukan hanya untuk menegakkan hukum, tetapi juga untuk menjaga keutuhan bangsa, mencegah lahirnya konflik horizontal, dan memastikan bahwa seluruh warga negara, tanpa terkecuali, mendapat perlakuan adil sesuai prinsip negara hukum.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved