Opini

Pajak Antara Cita Syariah dan Realita Pasar

PAJAK yang adil dalam sistem ekonomi Islam harus memenuhi prinsip maslahah mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan kemuda

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh 

Sektor pariwisata Aceh seharusnya menjadi motor pertumbuhan ekonomi pasca-konflik dan tsunami. Sabang dengan keindahan bawah lautnya berpotensi menjadi destinasi kelas dunia. Namun, tarif pajak hotel 10?n restoran 5 % justru menjadi penghambat.

Menurut survei Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia (ASITA) Aceh, 65 % hotel kelas menengah di Banda Aceh mengalami penurunan tingkat hunian 15–20 % sejak kenaikan tarif pajak pada 2022. Pariwisata adalah sektor dengan permintaan elastis wisatawan mudah beralih ke destinasi lain ketika harga naik.

Akibatnya, banyak restoran dan penginapan terpaksa mengurangi karyawan atau menutup usaha. Dampak berantai pun terasa pada pemandu wisata, sopir tur, hingga pedagang souvenir.

Tantangan Dunia Bisnis di Aceh: Berlayar di Tengah Ombak Ketidakpastian Ekonomi Global


Bukannya menambah kas daerah, kebijakan ini justru mematikan “angsa bertelur emas”. Aceh kehilangan potensi pertumbuhan jangka panjang demi target pendapatan jangka pendek.

Qanun Tanpa Analisis: Niat Baik, Dampak Buruk

Keistimewaan Aceh memungkinkan penyusunan Qanun pajak secara mandiri. Sayangnya, proses legislasi kerap minim kajian ekonomi yang memadai.

Studi Pusat Kajian Ekonomi Syariah Universitas Syiah Kuala (2023) terhadap 15 Qanun perpajakan menunjukkan hanya 20 % yang disertai analisis dampak ekonomi.

Sebanyak 80 % dirancang berdasarkan target pendapatan semata, tanpa memperhitungkan elastisitas permintaan, potensi deadweight loss, atau efek domino terhadap pasar.

Kasus pajak reklame menjadi contoh nyata. Tarif tinggi membuat banyak pelaku usaha enggan memasang reklame legal.

Akibatnya, penerimaan pajak reklame stagnan di kisaran Rp45–50 miliar per tahun, jauh di bawah potensi riilnya. Ketika kebijakan tidak berbasis data dan analisis, niat baik dapat berujung pada kerugian.

Jalan Tengah: Pajak Berkeadilan dan Bermaslahat

Bagaimana Aceh dapat menyeimbangkan cita syariah dan realita pasar? Beberapa langkah penting patut dipertimbangkan:

Pertama Analisis Dampak Ekonomi Sebelum Qanun. Setiap kebijakan pajak harus melewati economic impact assessment yang menilai elastisitas permintaan, insiden pajak, dan potensi deadweight loss. Dengan begitu, pemerintah bisa memprediksi dampak terhadap harga, konsumsi, dan investasi.

Kedua Penerapan Pajak Progresif. Prinsip progressive taxation sesuai dengan nilai keadilan Islam: yang mampu membayar lebih besar.

Pajak kendaraan bermotor, misalnya, dapat disesuaikan berdasarkan kapasitas mesin dan harga kendaraan agar beban tidak menimpa rakyat kecil.

Ketiga Fokus pada Pajak Minim Distorsi. Daripada mematok tarif tinggi pada hotel atau restoran, pemerintah dapat mengoptimalkan pajak properti atau kendaraan bermotor yang lebih stabil dan memiliki dampak ekonomi lebih kecil.

Keempat Penguatan Zakat sebagai Instrumen Fiskal. Potensi zakat di Aceh diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun per tahun, namun baru sekitar 30 % yang terhimpun (data BAZNAS Aceh). Zakat memiliki keunggulan unik: bersifat wajib bagi muslim, tidak menimbulkan deadweight loss, dan langsung berfungsi sebagai redistribusi kekayaan.

Kembali ke Khittah Maqashid Syariah

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved