Hutan Lindung

Luas Hutan Lindung di Aceh Utara yang Dirambah Capai 163 Hektare

Ia menyebut, dari total 6.111 hektare hutan lindung di wilayah Desa Lubok Pusaka Kecamatan Langkahan, sebagian besar ditumbuhi pohon

Penulis: Jafaruddin | Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/Foto Dok MaTA
Data kerusakan Hutan Aceh sejak tahun 2018 sampai 2024 yang dipaparkan Koordinator MaTA, Alfian dalam diseminasi di Hotel Diana Lhokseumawe, Selasa (30/9/2025). 

Laporan Jafaruddin | Aceh Utara

SERAMBINEWS.COM,LHOKSUKON – Luas kawasan hutan lindung di Gampong Lubok Pusaka, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, yang dirambah sejak 2018 hingga 2024 semula tercatat sekitar 80 hektare.

Namun, hasil pantauan terbaru melalui citra satelit per 6 September 2025 menunjukkan angka tersebut meningkat drastis hingga mencapai 163,75 hektare.

Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, mengungkapkan kondisi itu dalam kegiatan diseminasi bertajuk “Menyibak Jejak Perusahaan Sawit di

Kawasan Hutan Lindung Studi Kasus PT IBAS di Kabupaten Aceh Utara” di Hotel Diana Lhokseumawe, Selasa (30/9/2025).

Ia menyebut, dari total 6.111 hektare hutan lindung di wilayah Desa Lubok Pusaka Kecamatan Langkahan, sebagian besar ditumbuhi pohon bernilai ekologis tinggi seperti meranti, damar, kayu kapur, gaharu, medang, dan merbau.

Perambahan yang semakin meluas dinilai tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengancam keberlangsungan fungsi hutan lindung bagi masyarakat sekitar

Alfian menjelaskan, praktik perambahan mulai terdeteksi sejak 2018, ketika seorang pria berinisial SF (46) membuka lahan sekitar 60 hektare berdasarkan izin lisan dari aparat desa.

Selain itu, sebuah perusahaan melalui vendor juga diduga membuka lahan seluas 20 hektare untuk rencana kebun plasma.

Secara keseluruhan, aktivitas perambahan diperkirakan telah merambah lebih dari 100 hektare kawasan hutan lindung.

Menurut MaTA, praktik tersebut tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga berpotensi menjadi tindak pidana korupsi karena menimbulkan kerugian negara.

Dalam kajiannya, MaTA menemukan bahwa PT IBAS telah melakukan aktivitas perkebunan tanpa izin resmi, baik secara administratif seperti izin usaha perkebunan (IUP) dan hak guna usaha (HGU), maupun secara sosial karena tidak memperoleh persetujuan masyarakat.

Aktivitas perusahaan yang merambah kawasan hutan lindung dinilai berpotensi menyebabkan kerusakan ekologis jangka panjang.

Selain itu, penguasaan tanah garapan masyarakat disebut dilakukan secara tidak transparan dan tidak partisipatif, sehingga bertentangan dengan prinsip keadilan agraria.

MaTA juga menyoroti dugaan keterlibatan camat dan aparatur desa dalam memfasilitasi pembukaan kawasan hutan lindung dan skema plasma.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved