Opini

Aceh Daerah Modal yang Perlu Modal Untuk Membangun Ketertinggalan

Namun, gelar mulia itu kini terasa seperti sebuah ironi pahit. Aceh, sang pemodal, justru kini

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, osen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh. 

Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, osen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

DALAM narasi besar sejarah Indonesia, Aceh menempati posisi yang unik dan paradoksal. Ia sering dijuluki sebagai "Daerah Modal" sebuah gelar yang dibangun dari kontribusi heroiknya mempertahankan kedaulatan Republik di masa awal, hingga sumbangan materialnya yang tidak ternilai untuk membiayai kelahiran dan pertumbuhan bangsa ini. 

Namun, gelar mulia itu kini terasa seperti sebuah ironi pahit. Aceh, sang pemodal, justru kini terperangkap dalam lingkaran ketertinggalan dan bergantung pada "modal" berupa dana otonomi khusus yang akan segera berakhir. 

Saatnya kita bertanya: sudahkah bangsa ini membayar utang sejarahnya kepada Aceh?

Modal Sejarah dan Kedaulatan

Sebelum minyak dan gas ditemukan, modal utama Aceh adalah kedaulatan dan semangat juang yang tak pernah padam. Fakta sejarah mencatat, Perang Aceh melawan Belanda (1873-1904) adalah perang paling lama dan paling menguras sumber daya yang pernah dilakukan kolonialis Hindia Belanda. 

Belanda harus kehilangan ribuan serdadunya, termasuk Jenderal J.H.R. Kohler yang tewas di halaman Masjid Raya Baiturrahman. Aceh tidak pernah takluk sepenuhnya.

Ketika Republik Indonesia yang masih muda dan rentan mempertahankan kemerdekaannya dari agresi militer Belanda, Aceh kembali menjadi penentu. Melalui Siaran Radio Rimba Raya di Bireuen, Aceh menyatakan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih ada dan berdaulat. 

Siaran ini, yang diklaim lebih dulu mengudara daripada Radio Republik Indonesia (RRI) di Yogyakarta, menjadi alat diplomasi yang sangat efektif dan memperkuat posisi Indonesia di mata internasional. Ini adalah kontribusi politik yang tak ternilai harganya.

Tidak berhenti di situ, modal kedaulatan itu diikuti dengan modal material. Saat ibukota Republik pindah ke Yogyakarta dan kas negara kosong, Aceh, di bawah kepemimpinan para uleebalang dan ulama, menyumbang dana untuk membeli pesawat. 

Dua pesawat Dakota RI-001 "Seulawah" dan RI-002 "Seulawah Dua" adalah buah dari kedermawanan rakyat Aceh. Pesawat inilah yang menjadi cikal bakal maskapai penerbangan nasional, Garuda Indonesia. 

Sumbangan lainnya adalah emas dari pengusaha Aceh, Teuku Markam, untuk pembangunan Tugu Monas. Dalam catatan sejarah, kontribusinya mencapai 28 kilogram dari 38 kilogram emas yang melapisi puncak Monas. Ini adalah bukti nyata bahwa Aceh bukan sekadar daerah, tetapi pemodal sejati Republik Indonesia.

Modal Sumber Daya Alam dan Trauma Konflik

Di era Orde Baru, gelar "Daerah Modal" semakin kukuh dengan ditemukannya cadangan gas alam terbesar di Asia Tenggara pada masanya, di Lhokseumawe, Aceh. 

Lapangan Gas Arun menjadi lokomotif devisa negara selama puluhan tahun. Menurut data, pada puncaknya, kilang LNG Arun menyumbang lebih dari 30 persen pendapatan ekspor gas Indonesia. Uang yang mengalir dari perut bumi Aceh membiayai pembangunan di berbagai penjuru Nusantara, sementara Aceh sendiri hanya mendapatkan bagian yang sangat kecil dan menyisakan dampak lingkungan serta sosial yang kompleks.

Namun, periode ini juga menjadi awal dari "pembangkangan" sejarah. Eksploitasi sumber daya alam yang tidak diimbangi dengan keadilan ekonomi, ditambah dengan sentralisme kekuasaan Jakarta yang meminggirkan identitas kultural Aceh, memicu benih-benih ketidakpuasan. 

Puncaknya adalah konflik bersenjata yang berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Konflik yang berlangsung hampir tiga dekade (1976-2005) ini menelan korban jiwa sekitar 15.000 hingga 30.000 orang, menghancurkan infrastruktur, mengganggu sendi-sendi perekonomian, dan melumpuhkan pendidikan serta kesehatan. 

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved