Berita Lhokseumawe

Top! Syamsiah Ismail Pengawas TK/SD Lhokseumawe Terpilih Jadi 50 Penulis Bacaan Dwibahasa untuk Anak

Dalam kegiatan ini, setiap peserta mendapatkan reward Rp 5,5 juta per satu naskah beserta sertifikat penghargaan.

Penulis: Jafaruddin | Editor: Saifullah
Foto Kiriman Syamsiah
BIMTEK PENULISAN BACAAN - Ketua Sayembara Penulisan dan Penerjemahan Cerita Anak Berbahasa Daerah Tahun 2025, Murhaban, SAg.menyerahkan reward kepada Syamsiah Ismail, MPd, Pengawas TK/SD Disdikbud Kota Lhokseumawe. 

“Terutama bagi penulis pemula, ini bekal luar biasa,” ungkap Syamsiah dalam siaran pers yang diterima Serambinews.com, Selasa (7/10/2025).

Salah satu sesi yang paling berkesan baginya adalah saat peserta diminta menerjemahkan cerita yang sama ke dalam bahasa daerah Aceh masing-masing etnis.

Seperti penutur Bahasa Aceh, Tamiang, Gayo, Gayo Lues, Devayan, Sigulai, Singkil, dan Jamee. 

Sayangnya, penutur Bahasa Kluet masih belum ada perwakilan penulis.

Ketua Panitia, Murhaban, SAg menyampaikan, tujuan kegiatan ini adalah untuk melestarikan bahasa daerah yang kian terancam punah akibat menurunnya jumlah penutur.

“Kami ingin menghadirkan penulis bukan hanya secara kuantitas, tetapi juga berkualitas dalam menghasilkan bacaan anak sesuai bahasa ibu mereka,” ujarnya.

Baca juga: Sikapi Misi Bupati Pidie, Dispersip Gelar Bimtek Penulisan Konten Berbasis Budaya Lokal

Bagi Syamsiah, menulis adalah sarana melestarikan kenangan sekaligus lingkungan. Tahun ini, karyanya berjudul “Lon ngon Paya Sapi” (Aku dan Paya Sapi), kembali terpilih sebagai pemenang.

Buku tersebut mengangkat cerita hilangnya sebuah rawa di Gle Kuprai, Kecamatan Gandapura, Bireuen. 

Pada era 1970-an, Paya Sapi menjadi tempat Syamsiah dan  teman-teman sebayanya,  bermain dan menggembala. 

Namun, kini berubah akibat pembangunan pabrik kelapa sawit.

“Cerita ini lahir dari pengalaman masa kecil saya. Dari memetik buah teratai --(boh cirih)--di Paya Sapi, lalu saya jual untuk membeli majalah,” ungkap dia.

“Hingga sekarang melihat perubahan lingkungan yang berubah drastis. Semua itu saya tuangkan dalam bacaan anak dengan pendekatan dwibahasa; Aceh-Indonesia,” jelasnya.

Sejak tahun 2000, Syamsiah konsisten menulis dengan moto hidupnya: “Menulis Semudah Ngomong.” 

Baginya, ide menulis tidak selalu harus dicari ke tempat jauh, cukup digali dari pengalaman sehari-hari. 

Ia juga berpegang pada prinsip M–M = O, yang artinya “Menulis tanpa Membaca sama dengan Omong Kosong.”

“Menulis bukan hanya soal ikut lomba, tapi bagian dari cara kita berbagi pengalaman, menjaga bahasa, dan memberi bacaan bermanfaat bagi generasi muda,” pungkasnya.(*)

 

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved