Migas Aceh
Surat Menteri ESDM, DEM Aceh: Kewenangan Migas Aceh Hak Konstitusional, Bukan Sekadar Koordinasi
Menurut DEM Aceh, surat tersebut tidak memberikan kewenangan baru bagi Aceh dalam pengelolaan sektor hulu migas...
Penulis: Jafaruddin | Editor: Eddy Fitriadi
Ringkasan Berita:
- Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Aceh menilai surat Menteri ESDM RI Nomor T-465/MG.04/MEM.M/2025 tidak memberi kewenangan baru bagi Aceh dalam pengelolaan migas.
- Surat tersebut hanya menegaskan peran administratif BPMA tanpa memberi kewenangan operasional maupun teknis yang signifikan.
- DEM Aceh menegaskan, Aceh sudah memiliki dasar hukum kuat melalui PP No. 23/2015 untuk mengelola migasnya sendiri, bukan sekadar berkoordinasi simbolik dengan pusat.
Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Jafaruddin | Lhokseumawe
SERAMBINEWS.COM, LHOKSEUMAWE – Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Aceh menilai kebijakan yang tertuang dalam Surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI Nomor T-465/MG.04/MEM.M/2025 tertanggal 23 Oktober 2025 tidak layak diapresiasi secara berlebihan.
Menurut DEM Aceh, surat tersebut tidak memberikan kewenangan baru bagi Aceh dalam pengelolaan sektor hulu migas, melainkan hanya menegaskan aspek koordinasi administratif antara SKK Migas dan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).
Presiden DEM Aceh, Faizar Rianda, dalam siaran pers yang diterima Serambinews.com, Selasa (4/11/2025), menegaskan bahwa tanpa adanya surat itu pun, Aceh telah memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengelola sumber daya migas di wilayahnya sendiri, bahkan hingga di atas 12 mil laut.
Dasar hukum tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh, yang menegaskan posisi Aceh sebagai daerah dengan kewenangan khusus di bidang migas—kewenangan yang tidak dimiliki provinsi lain di Indonesia.
“Dengan demikian, dasar hukumnya sangat jelas. Aceh tidak memerlukan izin atau surat tambahan dari pemerintah pusat untuk terlibat dalam pengelolaan migas di wilayahnya,” ujar Faizar Rianda.
Faizar menjelaskan, Pasal 2 ayat (2) PP No. 23/2015 menyebutkan bahwa kegiatan usaha migas di wilayah darat dan laut hingga 12 mil dari garis pantai merupakan kewenangan penuh Pemerintah Aceh.
Sementara Pasal 3 ayat (1) menegaskan bahwa untuk wilayah kerja yang melintasi batas 12 mil laut, dilakukan pengelolaan bersama (joint management) antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat.
Selain itu, Pasal 4 dan 5 PP tersebut menetapkan bahwa BPMA dibentuk sebagai lembaga pelaksana yang mewakili Pemerintah Aceh dalam mengelola sumber daya migas, dengan kedudukan sejajar dengan SKK Migas di tingkat nasional.
Namun, menurut DEM Aceh, isi Surat Menteri ESDM Nomor T-465/MG.04/MEM.M/2025 justru memperlihatkan pembatasan yang signifikan.
Surat itu hanya menegaskan tiga poin kewenangan BPMA, yakni koordinasi dan pelaporan kegiatan usaha hulu migas, partisipasi dalam kegiatan kehumasan dan perizinan, serta penerimaan salinan persetujuan Plan of Development (PoD).
“Jika BPMA hanya diberikan tiga kewenangan administratif itu, maka perannya menjadi sangat terbatas,” tegas Presiden DEM Aceh.
“BPMA tidak memiliki kewenangan operasional dan teknis untuk mengambil keputusan strategis dalam eksplorasi, eksploitasi, maupun pengawasan kegiatan migas karena seluruh kendali tetap berada pada SKK Migas,” lanjutnya.
Faizar menambahkan, keterbatasan tersebut membuat fungsi pengawasan BPMA hanya bersifat administratif, tanpa akses terhadap data produksi maupun perhitungan bagi hasil. Akibatnya, transparansi dan akuntabilitas sulit dijamin, dan kedaulatan energi Aceh berkurang secara praktis.
Padahal, lanjutnya, kekhususan yang dijamin oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan PP No. 23/2015 seharusnya diwujudkan dalam bentuk keterlibatan substantif, bukan sekadar koordinasi simbolik.
Baca juga: Seuramoe NSO: Wadah PHE Perkuat Sinergi Lintas Sektor Demi Operasi Hulu Migas
Sebelumnya, Pemerintah Aceh melalui surat resmi Nomor 500.10.10/2660 tertanggal 11 Maret 2025 telah menyurati Menteri ESDM RI untuk meminta agar BPMA dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan kegiatan hulu migas di atas 12 mil laut.
Namun, surat balasan dari Menteri ESDM pada Oktober 2025 menunjukkan bahwa ruang partisipasi Aceh masih sangat terbatas pada koordinasi informasi, kehumasan, dan penerimaan salinan PoD, tanpa menyentuh ranah teknis maupun komersial.
DEM Aceh menegaskan, kewenangan migas Aceh adalah hak konstitusional, bukan hasil kemurahan hati pemerintah pusat.
“Pemerintah Aceh menginginkan keterlibatan substansial hingga 200 mil laut, bukan sekadar posisi pendamping seremonial. Maka, jika hanya sebatas tiga poin administratif, di mana letak keistimewaan surat tersebut? Apakah itu yang dimaksud pengakuan terhadap kekhususan Aceh?” tutup Faizar.(*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.