Luar Negeri

PM Prancis Francois Bayrou Mundur Usai Digulingkan Parlemen, Macron dalam Tekanan Cari Pengganti

PM Bayrou telah mengajukan surat pengunduran dirinya kepada Macron pada Selasa (9/9/2025), sehari setelah digulingkan parlemen

Editor: Faisal Zamzami
Facebook Francois Bayrou
PM PRANCIS DIGULINGKAN - Foto diambil dari Facebook Francois Bayrou pada Selasa (9/9/2025), memperlihatkan Francois Bayrou dalam unggahan pada 19 Juni 2023. Pada 8 September 2025, PM Francois Bayrou digulingkan melalui mosi tidak percaya. 

SERAMBINEWS.COM - Presiden Prancis Emmanuel Macron berada dalam tekanan waktu untuk mencari pengganti Perdana Menteri Francois Bayrou yang mengundurkan diri, agar tak terjadi kekosongan kekuasaan.

PM Bayrou telah mengajukan surat pengunduran dirinya kepada Macron pada Selasa (9/9/2025), sehari setelah digulingkan parlemen dalam mosi tidak percaya.

Menurut pernyataan resmi Istana Kepresidenan Elysee, Macron terus mengamati hasil pemungutan suara parlemen dan akan menunjuk pengganti Bayrou dalam beberapa hari ke depan.

Kantor berita AFP melaporkan, langkah ini sekaligus meredam spekulasi bahwa Macron mungkin akan membubarkan parlemen dan menggelar pemilu dini.

Macron dijadwalkan bertemu langsung dengan Bayrou pada Selasa siang waktu setempat untuk menerima pengunduran dirinya secara resmi.

 
Bayrou sebelumnya mengalami kekalahan telak dalam mosi tidak percaya yang ia ajukan sendiri, sebagai upaya mengakhiri kebuntuan terkait anggaran penghematan.

Dalam pemungutan suara di Majelis Nasional, 364 anggota parlemen menyatakan tidak percaya terhadap pemerintah, sedangkan hanya 194 anggota yang mendukungnya.

Langkah ini menjadikan Bayrou perdana menteri keenam yang menjabat di bawah kepemimpinan Macron sejak 2017, sekaligus yang kelima sejak pemilu legislatif 2022 yang menghasilkan parlemen tanpa mayoritas tunggal.

Baca juga: Macron kepada Netanyahu: Anda telah Mempermalukan Seluruh Prancis

 

Tantangan anggaran

Pemerintahan baru akan menghadapi tugas mendesak untuk mengesahkan anggaran, persoalan yang juga dihadapi Bayrou sejak menjabat sembilan bulan lalu.

Dukungan parlemen yang terpecah diperkirakan tetap sulit diperoleh.

“Anda memiliki kekuatan untuk menggulingkan pemerintah, tetapi Anda tidak memiliki kekuatan untuk menghapus kenyataan,” kata Bayrou dalam pidato terakhirnya di parlemen sebelum mosi digelar.

“Realitas akan tetap tak tertahankan: pengeluaran akan terus meningkat, dan beban utang, yang sudah berat, akan semakin mahal,” ujarnya.

Bayrou sebelumnya mengajukan mosi tidak percaya demi mendapatkan dukungan parlemen atas rencananya menekan defisit yang hampir dua kali lipat dari batas 3 persen Uni Eropa, serta utang publik setara 114 persen PDB.

Namun, oposisi menolak proposal penghematan senilai 44 miliar euro dalam anggaran 2026, dengan alasan Perancis segera menghadapi pemilu presiden 2027.

Serangan oposisi

Pemimpin sayap kanan Marine Le Pen menyebut jatuhnya Bayrou sebagai akhir dari “pemerintahan hantu”. Ia kembali mendorong pemilu legislatif dipercepat, meski Macron sejauh ini menolak.

“Macron sekarang berada di garis depan menghadapi rakyat. Dia juga harus pergi,” tulis Jean-Luc Melenchon, pemimpin partai sayap kiri France Unbowed, di X.

Krisis politik yang berkepanjangan dikhawatirkan melemahkan posisi Macron di Eropa, terutama di tengah tekanan Amerika Serikat terkait perdagangan dan keamanan, serta perang yang masih berkecamuk di Ukraina.

Macron memiliki beberapa opsi dalam menunjuk perdana menteri baru, mulai dari kalangan sentris, konservatif, hingga sosialis moderat, bahkan teknokrat.

Namun, skenario apa pun kecil kemungkinan menghasilkan mayoritas stabil di parlemen.

Menteri Keuangan Eric Lombard menegaskan, pembentukan pemerintahan baru hampir pasti akan melemahkan rencana pengurangan defisit.

Meski terus didesak untuk membubarkan parlemen, Macron tetap menolak seruan tersebut baik dari National Rally maupun France Unbowed.

 

Kekacauan politik Prancis
 

Francois Bayrou sebelumnya mengusulkan penghematan anggaran yang menargetkan pemotongan sekitar 44 miliar euro (Rp 849,34 triliun) guna mengendalikan utang negara yang terus menumpuk. Namun, usul tersebut tidak mendapat dukungan yang cukup di parlemen

Kekacauan politik ini turut memicu kekhawatiran di pasar keuangan. Biaya pinjaman Perancis tercatat mengalami kenaikan pada Selasa, bahkan melampaui Italia, negara yang selama ini dikenal memiliki beban utang tinggi di kawasan mata uang euro.

Harian Liberation menyebutkan, "Emmanuel Macron kini berada di garis depan untuk menemukan solusi atas krisis politik."

Sementara Le Monde menulis, “Emmanuel Macron, presiden yang rentan,” dan menambahkan bahwa sang presiden kini berada di bawah tekanan besar untuk menunjuk perdana menteri baru sesegera mungkin.

Tak hanya persoalan politik, Pemerintah Perancis juga menghadapi tekanan sosial.

Kelompok kiri "Block Everything" menyerukan aksi protes nasional pada Rabu (10/9/2025). Serikat pekerja pun telah merencanakan aksi mogok kerja pada 18 September.

“Kita membutuhkan perdana menteri dengan sangat cepat,” kata Menteri Dalam Negeri Bruno Retailleau.


Ia menekankan bahwa kekosongan kekuasaan tidak boleh terjadi menjelang gelombang protes.

Retailleau juga menyuarakan kekhawatiran Partai Republik, kelompok sayap kanan utama yang dipimpinnya, mengenai stabilitas politik dalam beberapa pekan ke depan.

Baca juga: VIDEO - Anak-Anak Israel Tak Diizinkan Masuk ke Taman Rekreasi di Prancis

Krisis politik menjelang pilpres Prancis 2027
 
Krisis kali ini juga menjadi pemanasan menjelang pemilihan presiden Perancis 2027. 

Sejumlah analis memperkirakan peluang besar bagi kelompok sayap kanan ekstrem untuk memenangi kursi kepresidenan.

Nama Marine Le Pen dari Partai Reli Nasional (RN) kembali mencuat.

Namun, nasib politiknya masih menunggu hasil sidang banding terkait kasus dugaan penipuan lowongan kerja fiktif di Parlemen Eropa.

Jika terbukti bersalah, Le Pen dapat didiskualifikasi dari pencalonan presiden.

Sementara itu, pemimpin RN yang juga sekutu dekat Le Pen, Jordan Bardella, menyatakan partainya siap menggulingkan setiap pemerintahan baru yang tidak memutus kebijakan delapan tahun terakhir di bawah Macron.

“Kami tetap mendesak agar diadakan pemilihan legislatif lebih awal,” kata Bardella kepada stasiun penyiaran RTL, Selasa pagi.

 

Baca juga: Sempat Sentuh Rp 3.000/Kg, Segini Harga TBS Sawit di Nagan Raya Pekan Ini

Baca juga: Eksekusi Bom Mortir Peninggalan Belanda di Lhoong, Danden Gegana Polda Aceh: Jangan Sesekali Sentuh

Baca juga: Kisah Inspiratif Hadi Ramnit, Putra Bireuen yang Sukses Jadi Sutradara Lokal Karya Berkelas Nasional

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved