Kupi Beungoh
CSR Sektor Ekstraktif dan Imajinasi Kesejahteraan Aceh
Memperbaiki distribusi CSR berarti berani mengubah relasi produksi agar nilai lebih tidak terus terkonsentrasi di tangan pemilik modal.
Oleh: Akhsanul Khalis
Pengalaman ketika menjadi staf ahli fraksi di salah satu parpol DPR Aceh, pernah sekali saya mendapatkan draft pandangan Badan Anggaran yang mempertanyakan tata kelola Corporate Social Responsibility.
Pertanyaan singkat itu justru menyingkap persoalan lama: dana CSR yang muncul dalam laporan, tapi tidak jelas siapa penerimanya, bagaimana peruntukannya, dan apa manfaatnya bagi publik.
Sejak itu, saya melihat CSR lebih sebagai catatan angka daripada wujud keadilan sosial.
Kesan itu kian menguat ketika PT PEMA, perusahaan daerah pengelola migas, menyalurkan sebagian dana CSR ke luar Aceh untuk mendukung dies natalis sebuah universitas swasta bergengsi di Jakarta konon almamater sang direktur.
Nilainya memang kecil, tetapi cukup memantik kemarahan publik karena dana yang seharusnya kembali ke masyarakat di wilayah eksploitasi justru mengalir ke pusat. Di situlah wajah asli CSR terlihat fleksibel: mudah diarahkan sesuai selera elite perusahaan atau kepentingan politik.
Benar, PT PEMA tiap tahun menyalurkan lebih dari tiga miliar rupiah untuk rumah layak huni, bantuan pertanian, dan kampanye lingkungan, tetapi publik hanya melihatnya lewat seremonial gunting pita dan foto bersama. Transparansi menyeluruh tak pernah hadir; yang tampak hanyalah permukaan yang dipoles rapi.
Sejarah CSR
Sebelumnya, kita perlu mengenal akar sejarah CSR yang lahir bukan dari ruang hampa, melainkan dari jejak panjang welfare capitalism di awal abad ke-20 ketika perusahaan mulai membangun rumah pekerja, klinik, hingga sekolah sebagai cara merawat loyalitas buruh dan menjaga stabilitas pasar.
Dari situ, Howard Bowen pada 1953 merumuskan gagasan bahwa bisnis punya tanggung jawab sosial lebih dari sekadar mengejar laba.
Kemudian perdebatan mengeras ketika Milton Friedman, ekonom neoliberal yang sangat berpengaruh, menegaskan pada 1970 bahwa tanggung jawab satu-satunya perusahaan hanyalah memaksimalkan keuntungan bagi pemegang saham.
Pertarungan ide ini membentuk wajah CSR hari ini: antara sikap realisme ekonomi pasar yang menuntut efisiensi demi profit, sementara itu perusahaan mesti peduli pada lingkungan dan masyarakat.
Dengan kata lain, CSR sering menjadi mekanisme hegemonik: perusahaan tampak peduli, padahal tetap melanggengkan relasi produksi yang timpang. Dibalik CSR juga ada nilai lebih yang diserap oleh pemilik modal.
Sejarahnya, sejak dulu perusahaan mengejar akumulasi laba dengan mengeksploitasi tenaga kerja dan sumber daya alam, lalu mengembalikan sebagian kecil keuntungan itu dalam bentuk program sosial.
Dalam kacamata Marxian, ini hanyalah “charity of surplus value” nilai lebih yang diambil dari buruh dan masyarakat, lalu dikemas ulang sebagai kedermawanan.
Greenwashing
Logika inclusive capitalism yang berusaha memperlihatkan wajah lebih etis bagi sistem kapitalis, tidak terkesan serakah dan predatoris ini kian kuat dan diterima luas.
Bahkan sebagian aktivis lingkungan pun terjebak. Mereka, yang dulunya paling keras menolak tambang, kini terdengar lebih kompromistis.
“Realistis,” begitu kata mereka. Kita naik kendaraan butuh minyak bumi, listrik kita pun masih bergantung pada batubara.
Konteks sikap masyarakat yang anti-tambang dianggap sikap konyol. Maka, tambang dianggap keniscayaan, sementara CSR dipuja sebagai kompensasi terbaik yang bisa didapat.
Masyarakat yang paling resiko pun, kini belajar untuk realistis, upaya berdamai dalam kemelut.
Mereka tahu air tercemar, sungai makin keruh, tahu sawah tak lagi subur, tahu hutan terus hilang.
Tetapi selama ada janji rumah bantuan atau beasiswa, mereka memilih diam ataupun warga merasa berhutang budi, hingga kritik melemah. Ilusi kesejahteraan bekerja lebih kuat daripada fakta kerusakan yang terlihat jelas di depan mata.
Disinilah dihantui perasaan dilematis. Polarisasi, masyarakat yang menolak tambang akan dicap utopis. Mereka yang menerima tambang, asal ada CSR, dianggap rasional. Padahal, kerusakan struktural jauh lebih besar daripada nilai CSR yang dibagikan.
Tetapi logika kapitalisme ekstraktif yang lebih ramah berhasil membalikkan posisi: perusahaan yang merusak bisa tampil sebagai penyelamat. CSR dijadikan simbol kepedulian.
Inilah inti dari CSR: sebuah topeng yang dirancang untuk menampilkan wajah ramah lingkungan (Greenwashing) dari mesin ekonomi ekstraktif. Seolah-olah kapitalisme bisa bersahabat, justru relasinya bersifat toxic: merusak sambil menebar kebaikan.
Hendra Try Ardianto, dalam bukunya “Mitos Tambang untuk Kesejahteraan”, menunjukkan sebaliknya, bagaimana narasi kesejahteraan di sekitar tambang dibangun sebagai mitos. Janji kemakmuran diulang-ulang sehingga terdengar wajar. Konflik sosial, kemiskinan baru, dan kerusakan ekologis dianggap harga yang harus dibayar.
Persoalan makin pelik karena pemerintah daerah ikut larut dalam logika ini; alih-alih menuntut transparansi, mereka sering tampil sebagai tamu kehormatan dalam seremoni CSR, melontarkan kata manis di depan kamera seolah perusahaan telah memenuhi tanggung jawab sosial.
Padahal, jika laporan dibuka, kontribusinya sangat kecil dibandingkan laba besar yang dibawa keluar.
Maka, pertanyaan yang seharusnya kita ajukan bukan sekadar apakah CSR tepat sasaran.
Pertanyaan yang lebih radikal adalah: untuk siapa CSR sebenarnya? Apakah ia hadir untuk masyarakat, atau justru untuk memperhalus wajah kapitalisme yang merusak?
Selama pertanyaan ini tidak dijawab, kita akan terus terjebak dalam pusaran mitos kesejahteraan.
Ini tidak hanya cerita dibalik kasus PT PEMA, banyak perusahaan besar lainnya yang bergerak di sektor industri ekstraktif memperlihatkan wujud aslinya.
Kejadian ini seharusnya menjadi peringatan, selama CSR tetap dibiarkan dalam logika lama: terjebak dengan ilusi kesejahteraan, tidak akan pernah menjadi jalan keluar, melainkan hanya instrumen pengalihan. Meskipun selama ini dijanjikan program lewat pemulihan lingkungan serta pemberdayaan masyarakat.
Kepemilikan Sosial
Konteks menahan laju kerusakan lingkungan karena tambang, tidak ada solusi yang tepat meskipun diatur lewat mekanisme CSR.
Subjektivitas penulis, melihat CSR bukan sebagai jawaban atas masalah itu, melainkan tetap sebagai instrumen reproduksi kapitalisme: menjaga citra, mencegah protes, dan memastikan roda akumulasi modal tetap berjalan mulus.
Memperbaiki distribusi CSR berarti berani mengubah relasi produksi agar nilai lebih tidak terus terkonsentrasi di tangan pemilik modal.
Kalau dipikir, Aceh punya kesempatan untuk merubah relasi produksi dengan keberadaan perusahaan plat merah: seperti PT. PEMA. Jalan keluar menuju kesejahteraan bukan menumpuk laba atau sekadar mengisi kas daerah lewat dividen. Itu hanya mungkin kalau kepemilikannya juga bergeser, dari sebatas milik negara menjadi kepemilikan sosial.
Secara teoritis, disebut ini sebagai pergeseran dari “socialized production under private appropriation” ke “socialized production under social appropriation”.
Negara bisa menjadi jembatan, tapi hanya bila fungsi negara tidak lagi sebagai penjaga urusan kelas borjuasi, melainkan alat transisi menuju kepemilikan komunal.
Solusi konseptualnya, pekerja ikut duduk, terlibat di meja pengambil keputusan, perwakilan masyarakat punya kursi di dewan pengawas atau direksi, bukan hanya dijabat oleh orang dekat kekuasaan.
Hal teknis, bisa jadi contoh seperti model manajemen co-determination di Jerman atau koperasi Mondragon di Spanyol, bahwa perusahaan negara juga bisa berjalan dengan logika yang lebih partisipatif dan berpihak pada publik.
Penulis adalah Direktur Bidang Politik dan Kebijakan Publik, Lembaga ESGE Study Center Email: Akhsanfuqara@gmail.com
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI
Prospek Legalisasi Ganja untuk Terapi Medis |
![]() |
---|
Misteri Tambang KPPA: Emas, Asing dan Negara yang Bungkam |
![]() |
---|
UU Perampasan Aset Tak Kunjung Tiba, DPR Bela Rakyat atau Bela Koruptor? |
![]() |
---|
Refleksi Kritis atas Dana Otsus Aceh: Evaluasi 18 Tahun Perjalanan Untuk Perbaikan Masa Depan |
![]() |
---|
Restorasi Aceh: dari Nostalgia Kejayaan Menuju Kemakmuran Nyata |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.