Opini

Mencerna Makna Kerukunan di Perbatasan Aceh

Karakteristik budaya yang hampir serupa, seperti bahasa, sebaran keberagaman keyakinan hingga mata pencaharian yang umumnya didominasi

Editor: mufti
YouTube Serambinews
Dr Muji Mulia, Peneliti Politik Islam dan Dekan FISIP UIN Ar-Raniry 

Dr Muji Mulia, Peneliti Politik Islam dan Dekan FISIP UIN Ar-Raniry

MENGURAS waktu lima belas hingga dua puluh jam perjalanan darat untuk tiba di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara, khususnya di jalur pantai Barat yang menghubungkan Aceh dengan Tapanuli Tengah. Karakteristik budaya yang hampir serupa, seperti bahasa, sebaran keberagaman keyakinan hingga mata pencaharian yang umumnya didominasi oleh perkebunan sawit. Namun, jika diamati dan diselami lebih dalam, muncul irisan perbedaan pada kedua kawasan ini, meskipun berdampingan. Aceh dengan tampilan entitas Islamnya, dan Tapanuli Tengah dengan karakteristik lintas-keyakinan yang kental.Sejatinya, keberagaman memang keniscayaan sejarah dan budaya Indonesia. Negara bangsa ini sejak lama dipuji dunia sebagai bangsa dengan keragaman luar biasa. 

Suku, bahasa, budaya, serta agama hidup berdampingan dalam satu bingkai kebangsaan. Namun, keberagaman ini tidak selalu serta merta menjelma sebagai harmoni. Ada daerah yang berhasil merawat kerukunan dengan baik, ada pula yang sesekali terjebak dalam ketegangan sosial. Dalam konteks ini, menarik membaca potret kehidupan masyarakat di Sibolga dan Tapanuli Tengah, dua wilayah di pesisir barat Sumatera Utara yang dikenal sebagai negeri berbilang kaum—dan membandingkannya dengan perbatasan Aceh.

Memasuki kawasan Sibolga, tampak pantai dengan perangkap ikan seperti jermal terhampar luas di pinggir jalan nasional Singkel-Tapanuli Tengah. Sebuah tulisan yang mulai agak kabur dimakan usia di pintu gerbang kota ini tampak tertulis “Negeri Berbilang Kaum”—sebuah pesan kuat bagi keberagaman. Di puncak gunung ada landmark bak Hollywood bertuliskan “Sibolga Kota Ikan”—pesan bagi pertumbuhan ekonomi utama di kawasan ini.

Baik Sibolga dan Tapanuli Tengah (Tapteng) merupakan kawasan dengan populasi yang sangat heterogen. Ragam etnis hidup di sini, mulai dari Batak Toba, Batak Mandailing, Minangkabau, Nias, Jawa, Melayu, Aceh hingga etnis Tionghoa hidup bersama di kawasan ini. Keragaman etnis itu diikuti pula oleh pluralitas agama: Islam, Kristen, Katolik, Buddha, bahkan penganut kepercayaan lokal (Parmalim).

Meskipun beragam, relasi antarumat beragama di Sibolga dan Tapteng cenderung harmonis. Kehidupan sosial dari pengamatan sehari-hari tidak didominasi ketegangan identitas. Perayaan hari besar keagamaan justru menjadi ajang kebersamaan. Berdasar informasi dari Ketua FKUB setempat, pada saat perayaan hari besar Islam seperti hari raya, umat non-Muslim tidak segan bersilaturahmi ke rumah tetangga Muslim.

Begitu juga sebaliknya, Natal dan Paskah dirayakan bersama dalam semangat kekeluargaan. Kondisi ini dimungkinkan memang akibat adanya kekuatan kekerabatan. Fenomena ini menunjukkan bahwa keberagaman bisa diolah menjadi kekuatan. Kesadaran masyarakat bahwa mereka saling membutuhkan dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya menjadikan toleransi bukan sekadar jargon, melainkan praktik keseharian. Dalam istilah sederhana, “karena sudah sama-sama hidup di sini sejak lama, maka tidak ada alasan untuk saling mencurigai.”

Dinamika berbeda

Harus diakui, meskipun perbatasan Aceh relatif terbiasa dalam keberagaman, tapi irisan dan kondisi agak berbeda tetap muncul dibanding masyarakat Tapanuli Tengah. Secara sosiologis, masyarakat perbatasan antara Aceh dan Sumatera Utara memiliki etnis dan agama yang nyaris sama. Orang Batak, Minang, dan Jawa juga banyak bermukim di sini. Komposisi agama pun relatif serupa, yakni Islam, Kristen, dan Katolik serta ada juga aliran kepercayaan Parmalim.

Pun demikian, dinamika sosial di perbatasan Aceh memperlihatkan dinamika relasi sosial yang lebih nyata. Interaksi antarumat beragama tidak semulus di Sibolga–Tapteng. Sesekali muncul gesekan kecil terkait perbedaan cara pandang, terutama soal pendirian rumah ibadah yang belum mencapai konsensus permanen antarumat beragama. Namun, sejauh ini potensi konflik masih dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah dan perangkat lokal.

Dari beberapa catatan yang ditemukan--berdasar kajian akademis, khusus di Aceh memang sempat ada beberapa kasus ketimpangan relasi kuasa antar-masyarakat lintas keyakinan.

Sejak diberlakukannya keistimewaan dan penerapan syariat Islam, kerap memunculkan tafsir sosial keagamaan yang diakhiri dengan kontestasi politik berbasis entitas agama. Kasus paling menonjol misalnya soal perizinan rumah ibadah yang dianggap lebih ketat. Pun demikian, dari beberapa tokoh lokal perbatasan Aceh, khususnya di Singkil, mereka selalu menganggap ada konsensus lama yang harus dilihat dan dijadikan pedoman, kondisi ini penting dalam rangka menjaga toleransi umat beragama (Al-Fairusy, 2021). Toh, selama ini, kelompok mayoritas sering berpandangan tidak ada persoalan berarti di ranah agama. Dalam konteks ini, terdapat dualisme pandangan yang harus diakomodir dengan cukup hati-hati oleh pengambil kebijakan di perbatasan Aceh tentunya.

Memahami perbedaan

Dalam studi politik dan sosial, tentu perbedaan pengalaman kerukunan antara Sibolga–Tapanuli Tengah dan perbatasan Aceh bukan sekadar soal regulasi. Ada beberapa faktor yang perlu dicatat berdasar pengamatan yang dilakukan. Pertama, tradisi interaksi ekonomi dan sosial di Sibolga–Tapteng jauh lebih terbuka. Kota pelabuhan ini sejak dulu menjadi jalur keluar masuk pendatang.

Perdagangan ikan, hasil bumi, dan industri jasa melibatkan banyak pihak lintas etnis dan agama. Kebiasaan bekerjasama dalam aktivitas ekonomi inilah yang membentuk habitus toleransi yang terus bertahan hingga sekarang. Kedua, politik lokal dan regulasi daerah di Aceh menekankan identitas keislaman sebagai pijakan utama. Hal ini memang sah dan konstitusional, tetapi ketika diterapkan di ruang sosial yang heterogen, ia memerlukan seni dalam berkomunikasi. Tanpa sensitivitas sosial, regulasi dapat dimaknai sebagai batas, bukan payung kebersamaan.

Ketiga, memori sejarah konflik turut mempengaruhi. Aceh memiliki pengalaman panjang dengan konflik bersenjata. Situasi itu meninggalkan jejak kecurigaan dan batas-batas sosial yang lebih kaku dibandingkan dengan masyarakat Sibolga–Tapteng. Tentunya, kondisi ini memberi pelajaran penting bagi wajah toleransi dan kerukunan umat beragama.

Dalam perspektif kerukunan, konsep dan kebijakan ini tidak semata-mata hadir karena kesamaan etnis atau agama, melainkan karena adanya ruang sosial yang adil dan terbuka. Sibolga–Tapteng berhasil membangun kerukunan karena masyarakatnya merasakan keadilan dalam interaksi sosial, ekonomi, dan budaya.

Selanjutnya, regulasi lokal yang berbasis agama tidak selalu harus berbenturan dengan keragaman. Namun, diperlukan tafsir kebijakan yang lebih komunikatif. Misalnya, penyediaan mekanisme dialog antarumat beragama, ruang konsultasi publik dalam perumusan kebijakan, dan perhatian pada hak-hak minoritas. Di sini, peran media dan lembaga pendidikan berkontribusi menumbuhkan kesadaran bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan sumber kekuatan. Jika sejak dini anak-anak dikenalkan dengan budaya saling menghormati, maka potensi konflik di masa depan dapat diminimalisasi.

Terakhir, membaca konsep “negeri berbilang kaum” seperti Sibolga–Tapanuli Tengah memberi optimisme bahwa kerukunan bisa menjadi realitas, bukan utopia. Namun, pengalaman di perbatasan Aceh mengingatkan kita bahwa regulasi dan kebijakan lokal harus senantiasa peka terhadap keragaman sosial.

Kerukunan umat beragama bukanlah hadiah yang turun dari langit. Ia adalah hasil kerja keras, keterbukaan, dan kebijaksanaan masyarakat dalam mengelola perbedaan. Jika Sibolga–Tapteng bisa merawatnya, maka daerah lain pun bisa, asalkan ada kemauan bersama. Pada akhirnya, menjaga kerukunan bukan hanya tugas pemerintah atau tokoh agama, melainkan kewajiban seluruh warga bangsa.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved