Jurnalisme Warga

Menembus Awan, Mendadak Menuju Lampung

Lampung dihuni tidak hanya oleh penduduk asli, tetapi juga pendatang dari Jawa. Tak heran kalau bahasa yang digunakan sebagiana besar penduduknya

Editor: mufti
IST
CHAIRUL BARIAH 

CHAIRUL BARIAH, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Bireuen, melaporkan dari Bandar Lampung

Lampung adalah provinsi di ujung Sumatra yang berbatasan langsung dengan Pulau Jawa. Hanya dipisahkan oleh selat, yakni Selat Sunda. Lampung dihuni tidak hanya oleh penduduk asli, tetapi juga pendatang dari Jawa. Tak heran kalau bahasa yang digunakan sebagiana besar penduduknya adalah bahasa Jawa.

Lampung dibentuk menjadi provinsi pada 18 Maret 1964 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1964, kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 14 tahun 1964.  Sebelumnya Lampung merupakan keresidenan di bawah Provinsi Sumatera Selatan.    

Pada 18 Maret  1964  ditetapkan sebagai hari lahirnya Provinsi Lampung,  ditandai dengan upacara serah terima pemerintahan dari Provinsi Sumatera Selatan sekaligus  pelantikan Gubernur Lampung pertama, yaitu  Kusno Dhanupojo.

Lampung dipilih menjadi daerah transmigrasi pertama pada tahun 1905 oleh pemerintah kolonial Belanda, dengan nama desa pertama Bagelen,  terletak di Gedong Tataan. Desa ini merupakan desa transmigrasi pertama di Indonesia dan menjadi pusat aktivitas transmigrasi di Lampung.

Selanjutnya, nama daerah transmigrasi disesuaikan dengan nama asal transmigran, seperti  Ambarawa, Pardasuka, dan Sukoharjo di Pringsewu, serta beberapa desa di Tanggamus. 

Kemudian, Kota Metro juga berkembang dari daerah transmigrasi di Sukadana, yang kemudian menjadi permukiman bagi para transmigran asal Jawa dan daerah lainnya.

Pemilihan Lampung menjadi daerah transmigrasi karena perluasan perkebunan yang merupakan progran “kolonisasi” Hindia Belanda, kemudian diadopsi oleh Pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan  menjadi program transmigrasi nasional untuk memindahkan penduduk dari Jawa dan daerah lain ke Lampung.

Di bawah kepemimpinan Gubernur Rahmat Mirzani Djausal, Lampung kini banyak berbenah. Mayoritas penduduknya adalah pedagang, di samping ramai juga yang berprofesi sebagai ASN.

Jenguk anak sakit

Perjalanan saya ke Lampung kali ini adalah untuk menjenguk ananda saya yang sedang sakit dan dirawat di Rumah Sakit Umum Emanuel Lampung. Ia kuliah di Institut Teknologi Sumatera (Itera), Lampung. Tak ada rencana yang tersusun rapi karena perginya mendadak. Sore itu saya menerima telepon dari dosen wali ananda Aulia. Dia hanya memberikan pilihan: Kalau ibu sayang ananda, datanglah ke Lampung karena kondisinya batuk parah, sakit dada, dan demam.

Saya langsung menangis mendengar kabar tersebut. Tanpa berpikir panjang, saya segera minta izin kepada Bunda Yayasan Kebangsaan Bireuen yang membina Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki), tempat saya bekerja.

Akhirnya, malam Kamis dua pekan lalu saya dan ananda yang sulung, Farhan (dia berdomisili di Jakarta) mendapatkan tiket ke Lampung melalui online di tiket.com. Setelah shalat Subuh saya diantar suami menuju Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar, dengan jadwal terbang pukul 14.05 WIB.

Menggunakan maskapai Super Air Jet, perjalanan 2,5 jam menuju Jakarta terasa lama sekali. Tiba di Jakarta pas waktu magrib. Saya dan ananda Farhan berjanji bertemu di Kafe Solaria di pintu keluar Terminal 2 Bandara Soetta.

Setelah itu kami menuju Terminal 1 untuk terbang ke Lampung. Alhamdulillah, proses pindah terminal berlangsung lancar walaupun harus kejar-kejaran dengan waktu. Akhirnya, kami tiba di Terminal Kereta Bandara Skytrain Kalayang lantai 2 Bandara Soekarno-Hatta.  Sarana transportasi ini sangat membantu para penumpang untuk pindah terminal tanpa bayar alias gratis.

Kalayang adalah sistem pengangkut otomatis penumpang (APMS) yang menghubungkan Terminal 1, Terminal 2, Terminal 3, dan Stasiun Kereta Bandara. Layanan gratis ini beroperasi setiap hari dari pagi hingga tengah malam, memudahkan penumpang untuk pindah antarterminal.

Ketika pintu Kalayang terbuka, kami menunggu penumpang turun, barulah kami naik ke kereta.  “Pintu segera ditutup,” demikian informasi yang kami dengar dari pelantang suara dalam kereta. Tempat duduk hanya untuk prioritas ibu hamil, lansia, dan disabiltas. Di kereta ini tersedia layar informasi digital, perangkat yang juga terdapat di stasiun.

Armada Kalayang menggunakan kereta dengan dua rangkaian yang masing-masing terdiri atas tiga gerbong. Setiap rangkaian mampu mengangkut 176 penumpang. Dilengkapi dengan teknologi Automated Guided-Way Transit (AGT) untuk mobilitas otomatis yang lancar dan aman, serta teritegrasi  dengan sistem transportasi lain, seperti Kereta Api Bandara dan Bus Transjakarta di Stasiun Kereta Bandara.

Setiba di Terminal 1, kami langsung menuju ruang ‘check-in’ untuk terbang ke Lampung. Petugas bandara yang  ramah membuat penumpang nyaman, dengan keamanan yang ketat dan terkoordinasi dengan sangat baik.

Setelah menembus awan di angkasa, akhirnya kami tiba di Bandara Raden Inten Lampung pada pukul 20.00 WIB. Penerbangan Jakarta-Lampung hanya 30 menit. Taksi bandara sudah siap sedia mengantarkan kami menuju Rumah Sakit Emanuel Lampung dengan tarif  Rp180.000.

Tiba di rumah sakit, berdasarkan petunjuk, kami naik lift ke lantai 4, kamar Anggrek, tempat ananda dirawat. Jumpa pertama dengan ananda Aulia bagaikan cerita sinetron yang bersambung. Wajahnya begitu pucat, tetapi dalam dekapan bundanya terasa hangat. Kami berpelukan dan menangis. Ini perawatannya yang kedua di Lampung—tempat ia kuliah—setelah yang pertama pada akhir Agustus 2025.

Rumah sakit tipe A ini memberikan pelayanan yang sangat memuaskan. Seluruh perawat memakai seragam, begitu juga dengan petugas pengantar makanan. Petugas kebersihan pun memakai seragam putih hitam lengkap dengan sepatunya.

Selama ananda dirawat di bawah pengawasan penuh dokter umum dan  spesialis, masing-masing memiliki waktu pemeriksaan yang berbeda. Perawat selalu siaga kapan pun diperlukan. Petugas yang mengantar makanan tiga kali sehari, begitu juga dengan petugas kebersihan ruangan, sedangkan petugas pembersihan kamar mandi hanya sekali sehari.

Setelah hasil pemeriksaan dokter menyatakan ananda sudah boleh pulang, kami sangat senang dan bahagia. Proses administrasi keluar juga cepat dan tepat. Penggunaan BPJS Kesehatan sangat membantu kami dalam biaya perawatan.

Dalam masa penyembuhan, kami selalu menghibur ananda dan membawanya jalan-jalan keliling di seputaran Kota Lampung naik Grab car, kemudian kami kembali ke tempat kosnya di Griya Drina Way Huwi untuk istirahat.

Setelah tiga hari istirahat, kami berkunjung ke rumah Nidar, adik sepupu saya yang berasal dari Jangka, Bireuen, di kediamannya, Sukamaju, Lampung Selatan. Di sini penduduknya rata-rata orang Jawa. Mayoritas bekerja sebagai pedagang kuliner dan petani kebun serta sawah. Mereka memotong padi pakai mobil pemotong padi. Alasannya, lebih cepat selesai dan hasilnya memuaskan.

Kami juga menyempatkan diri berkunjung ke rumah Lisa yang berasal dari Cot Keutapang, Bireuen, di Langkapura. Ia sudah tinggal ± 24 tahun di Lampung mengikuti suaminya yang asli orang Lampung. Mereka mendidik anaknya semua harus mampu hafal Qur’an. Luar biasa.

Karena waktu sudah malam. kami pun pamit, kembali ke kos. Beberapa hari kemudian, setelah kondisi Aulia benar-benar fit, barulah kami meninggalkan Lampung.  

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Adu Sakti

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved