Jurnalisme Warga
11 Tahun ISBI Aceh, Mau Dibawa ke Mana Lagi?
Sebelas tahun sudah ISBI Aceh tegak berdiri di Kota Jantho, ibu kota Kabupaten Aceh Besar, lalu mau dibawa ke mana (quo vadis) ISBI Aceh esok?
ICHSAN, M.Sn., Dosen Institut Seni Budaya Indoensaia (ISBI) Aceh, melaporkan dari Kota Jantho, Aceh Besar
Sebelas tahun silam, sebuah tonggak sejarah ditancapkan di Aceh. Pada 6 Oktober 2014, tepat di Tanah Rencong, lahirlah sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) yang unik dan langka, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh. Ia bukan sekadar institusi, melainkan simbol bahwa seni dan budaya mendapat ruang resmi dalam jagat akademik Aceh.
Kini, tahun 2025, usianya genap sebelas tahun. Usia yang mungkin belum matang, tetapi cukup dewasa untuk bertanya tentang arah. Sebelas tahun sudah ISBI Aceh tegak berdiri di Kota Jantho, ibu kota Kabupaten Aceh Besar, lalu mau dibawa ke mana (quo vadis) ISBI Aceh esok?
Pertanyaan ini bukanlah basa-basi seremonial ulang tahun. Ia merupakan cermin kegelisahan akademik, jeritan hati para dosen, keresahan mahasiswa, bahkan kebingungan pejabat di dalamnya.
Bila seorang anak lahir di tahun 2014, kini ia sudah duduk di kelas enam sekolah dasar, mampu membaca dunia dengan kritis. Akan tetapi, apakah ISBI Aceh juga demikian, sudah cukup kritis dan tangguhkah untuk menjawab tantangan zaman? Jika kita melihat ke belakang, kepemimpinan ISBI Aceh telah berganti tiga kali, masing-masing dengan ciri khas yang berbeda.
Pertama, era Dr Akmal. Beliau disebut perintis, menapaki jalan berliku untuk meletakkan dasar SDM dalam menumbuhkan semangat. Di bawah kepemimpinannya, banyak dosen bertahan dalam keterbatasan. Namun, tahun 2017 ISBI Aceh mencatat sejarah kelam, sebuah demo besar meletup, menandakan bahwa idealisme kerap berbenturan dengan realitas (Serambi, Juni 2017).
Kedua, era Prof Dr Mirza Irwansyah MBA. Beliau mewariskan fisik kampus. Gedung milik ISBI satu-satunya yang kini berdiri di ISBI Aceh adalah buah kerja di zamannya. SDM pun diperkuat, dengan fokus tetap pada infrastruktur.
Ketiga, era Prof Dr Wildan MPd yang masih berlangsung hari ini. Pada masa ini, prasarana dan sarana akademik serta praktikum meningkat tajam. Kongres Peradaban Aceh menjadi panggung besar untuk menegaskan eksistensi ISBI Aceh. Program studi baru lahir, mulai dari Kajian Sastra Budaya, Bahasa Aceh, hingga Desain Interior.
Semua ini patut diapresiasi. Namun, apakah cukup?
Pertanyaan mau dibawa ke mana ISBI Aceh, tentu bukan sekadar soal menambah prodi atau menambah bangunan. Mau diarahkan ke mana mahasiswa ISBI Aceh? Apakah hanya sekadar menjadi pengisi panggung seremoni atau intelektual seni yang mengguncang wacana kebudayaan nasional?
Lalu, mau dibentuk seperti apa dosen ISBI Aceh? Apakah puas dengan hanya menjadi birokrat akademik atau menjadi ilmuwan yang menulis di jurnal internasional dan sekaligus mencipta karya monumental? Mau ditarik ke mana arah kampus ini? Menjadi sekadar pelengkap sistem pendidikan tinggi atau menjadi mercusuar peradaban.
“Optimis aja, Bro!” Alasan ini sering dijadikan jawaban rekan-rekan. Optimisme tanpa arah hanyalah candu. Filsuf abad 19, Nietzsche, pernah berkata, “He who has a why to live can bear almost any how/Barang siapa memiliki alasan untuk hidup, ia akan mampu menanggung hampir segala cara untuk menjalaninya.”
Tanpa kata ‘mengapa’, ISBI Aceh hanya akan terjebak dalam rutinitas seremonial. Renstra ada, visi misi ada, tapi apakah benar-benar dapat menjadi kompas atau sekadar dokumen tebal yang tersimpan di lemari kantor?
Akhir tahun 2026, Prof Dr Wildan akan mengakhiri masa baktinya di ISBI. Pertanyaan baru pun muncul kembali, siapa penerusnya? Apakah ISBI akan dipimpin oleh rektor administratif yang piawai menandatangani berkas atau oleh rektor yang visioner seperti hari ini?
Sejarah menunjukkan, kampus seni tidak dapat dipimpin dengan logika pabrik. Seni bukan produksi massal. Ia adalah rahim peradaban. Karenanya, ISBI Aceh membutuhkan pemimpin yang bukan saja paham regulasi, tetapi juga mengerti estetika, berani berpikir filsafat, dan mampu menyalakan obor gagasan.
Sebelas tahun sudah ISBI Aceh berkarya, kini Indonesia pun tengah bermimpi menuju Indonesia Emas 2045. Bonus demografi disebut menjadi kunci. Jika ISBI Aceh ingin bermimpi juga menjadi ISBI Aceh Emas 2045 pada usia ISBI Aceh 31 tahun. Tentu dibutuhkan beberapa langkah konkret dalam 20 tahun ke depan.
Pertama, kejernihan arah akademik. ISBI tidak boleh puas menjadi kampus festival. Ia harus menjadi pusat riset seni, laboratorium kebudayaan, dan produsen gagasan global tentang estetika.
Kedua, kualitas sumber daya manusia. Dosen tidak boleh sekadar pelaksana tridarma perguruan tinggi. Mereka harus menjadi homo universalis, seniman yang juga ilmuwan, ilmuwan yang juga seniman. Mahasiswa harus ditempa bukan hanya untuk piawai menari atau melukis, tapi juga menulis, meneliti, dan menafsirkan kebudayaan.
Ketiga, kepemimpinan visius. Rektor masa depan harus mampu menciptakan ekosistem seni, ruang di mana mahasiswa, dosen, dan masyarakat merasa terhubung dalam satu lingkar peradaban.
Jika tiga hal ini terpenuhi, bukan mustahil ISBI Aceh suatu hari dapat melampaui PTN besar lainnya. Namun, berapa lama? Setidaknya butuh 15 s.d. 20 tahun konsistensi, bukan sekadar proyek lima tahunan.
Masalah lain yang tak kalah pentingnya adalah sikap pemerintah. Mari jujur, ISBI Aceh kerap merasa berjalan sendiri. Pemerintah pusat tampak sibuk dengan jargon, sedangkan pemerintah daerah masih gagap melihat seni sebagai investasi. Padahal, seni bukan sekadar hiburan. Ia adalah fondasi identitas bangsa.
Clifford Geertz, antropolog asal San Fransisco, pernah menulis bahwa kebudayaan adalah jaring makna yang manusia tenun sendiri, dan kita berada di dalamnya. Jika jaring itu robek, masyarakat pun akan kehilangan arah. Maka, pemerintah yang acuh pada ISBI Aceh sejatinya sedang merobek jaring makna peradaban Aceh dan sedang menggali kubur kebudayaan sendiri.
Sebelas tahun adalah usia remaja bagi ISBI Aceh. Remaja yang masih mencari jati diri, masih labil, masih rawan terpengaruh. Lalu, ho keu ISBI ukue? Mau dibawa ke mana ISBI kita? Apakah akan menjadi kampus besar yang melahirkan maestro dunia atau sekadar institusi yang hidup dengan seremoni tahunan? Apakah ia akan menjadi pusat pemikiran budaya atau hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah pendidikan Aceh?
Jawabannya bergantung pada kita semua, dosen, mahasiswa, pemimpin kampus, pemerintah, dan masyarakat. ISBI Aceh tidak boleh berjalan dengan setengah hati. Ia membutuhkan visi yang lebih besar daripada sekadar gedung baru atau sarana tambahan. Ia membutuhkan keberanian untuk bermimpi dan ketekunan untuk mewujudkan mimpi itu.
ISBI Aceh sudah sebelas tahun. Mari kita menoleh ke belakang, menghitung prestasi dan kekurangan. Dan kini waktunya menatap ke depan, menyiapkan masa depan. Jika benar ingin ISBI lebih hebat daripada hari ini, maka mimpi harus dihidupkan, bukan hanya diucapkan. Jika pertanyaan mau dibawa ke mana ISBI Aceh belum memiliki jawaban pada dies natalis tahun ini, maka ulang tahun ke-11 ini bukan perayaan, melainkan peringatan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.