Jurnalisme Warag

Coding Tanpa Layar: Cara Baru Memahami Biologi dan Kehidupan

Di ruang kelas, sains sering kali masih dipersepsi sekadar hafalan istilah dan gambar di buku teks. Inilah salah satu akar persoalan yang membuat

Editor: mufti
IST
DIAN MAYA PUTRI, S.Pd., Gr., Guru Biologi dan Wakil Kepala SMA Sukma Bangsa Lhokseumawe, melaporkan dari Lhokseumawe 

DIAN MAYA PUTRI, S.Pd., Gr., Guru Biologi dan Wakil Kepala SMA Sukma Bangsa Lhokseumawe, melaporkan dari Lhokseumawe

Hasil  Programme for International Student Assessmnet (PISA) 2022 kembali menyadarkan kita pada kenyataan pahit: literasi sains siswa Indonesia masih jauh tertinggal, berada di peringkat 71 dari 81 negara. Angka ini menunjukkan anak-anak kita masih kesulitan tidak hanya dalam mengingat fakta ilmiah, tetapi juga dalam memahami konsep, mengaitkan pengetahuan dengan kehidupan nyata, serta memecahkan masalah secara sistematis.

Di ruang kelas, sains sering kali masih dipersepsi sekadar hafalan istilah dan gambar di buku teks. Inilah salah satu akar persoalan yang membuat rapor pendidikan kita terus berwarna merah di mata dunia.

Aceh adalah tanah dengan sejarah panjang perjuangan dan kearifan. Isu penggunaan teknologi dalam pendidikan tak jarang menjadi bahan diskusi publik. Dari kota hingga pedalaman, masih tampak jurang antara siswa yang bisa mengakses teknologi dengan mudah dan yang masih bergelut dengan keterbatasan internet, listrik, serta perangkat digital. Maka, hadirnya metode ‘coding unplugged’ bagai embun penyejuk, menawarkan jalan tengah di tengah keterbatasan.

Biologi, ilmu tentang kehidupan yang sering terjebak hafalan, kerap kali dipersepsi sebatas tumpukan istilah dan gambar di buku teks. Siswa menghafal ciri-ciri makhluk hidup, pewarisan sifat, atau mekanisme tubuh, tannpa benar-benar merasakan denyut kehidupan di dalamnya.

Di ruang kelas, kesulitan ini diperparah oleh keterbatasan laboratorium, akses digital yang timpang, dan kebijakan anggaran pendidikan yang terkadang tak menyentuh akar masalah. Tak heran, motivasi belajar siswa pun sering meredup. Para elite, sayang sekali, belum sepenuhnya paham akan akar masalah ini.

Dari kegelisahan itulah lahir gagasan untuk mengintegrasikan ‘coding unplugged’ dalam pelajaran biologi. ‘Coding unplugged’ adalah pendekatan belajar konsep dasar pemrograman dan logika komputasi tanpa memerlukan komputer. Melalui permainan, simulasi, serta aktivitas instruksi sederhana, siswa tetap bisa berlatih pola pikir algoritmik dengan cara yang menyenangkan tanpa harus menggunakan komputer.

Di sinilah biologi bukan lagi sekadar hafalan, melainkan tarian kehidupan yang bisa dipetakan dalam langkah-langkah algoritmik. Metode ini bagaikan lentera yang menyala di tengah listrik yang kerap padam. Ia membuktikan bahwa keterampilan abad 21 tidak harus menunggu jaringan internet stabil atau perangkat mahal. Justru dengan kesederhanaan, siswa Aceh dapat berlatih berpikir sistematis, runtut, dan kreatif.

Kelas yang hidup

Mari kita lihat sejenak suasana kelas. Saya memberikan sebuah kasus sederhana: seorang siswa merasa haus. Dari rasa haus itu, lahirlah rangkaian instruksi—mengambil botol, membuka tutup, meminum air—hingga hausnya berkurang. Satu siswa menjadi “robot” yang hanya bisa bergerak sesuai perintah, sedangkan temannya berperan sebagai “programmer”. Tawa, kebingungan, dan rasa penasaran bercampur jadi satu. Namun, dari permainan itu siswa menemukan sesuatu yang lebih dalam: setiap proses biologis, sekecil apa pun, bisa dipetakan dalam algoritma. Haus bukan lagi sekadar rasa, melainkan kode kehidupan.

Usai permainan, saya buka ruang refleksi: Apa yang kalian pelajari hari ini? Bagaimana instruksi sederhana bisa membantu memahami biologi? Lalu, pola apa yang kalian temukan?

Pertanyaan-pertanyaan itu menyalakan bara kesadaran. Siswa belajar mengenali cara berpikirnya sendiri, yaitu langkah kecil menuju metakognisi. Dengan begitu, pembelajaran tidak berhenti di ruang kelas, tetapi ikut berdenyut dalam kehidupan sehari-hari.

Hasilnya jelas terasa. Siswa bukan hanya mampu menjelaskan proses pernapasan atau pencernaan dengan lebih runtut, tetapi juga belajar menyusun strategi, mengenali pola, dan membuat abstraksi. Mereka menemukan bahwa biologi bisa menyenangkan bahwa logika sains bisa berjalan seiring dengan logika komputasi.

Motivasi pun mekar. Mereka tak lagi pasif mendengarkan guru, tetapi aktif bergerak, berdiskusi, bahkan berdebat untuk memastikan instruksi berjalan sempurna.

Dalam suasana itu, tumbuhlah kolaborasi, komunikasi, sekaligus rasa percaya diri. Ada siswa yang semula enggan berbicara kini berani memimpin kelompok dan ada yang awalnya bingung, kini mampu menuntun temannya. Inilah buah manis: ilmu yang hidup bukan hanya di kertas ujian, melainkan di hati dan pikiran.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved