Jurnalisme Warag

Coding Tanpa Layar: Cara Baru Memahami Biologi dan Kehidupan

Di ruang kelas, sains sering kali masih dipersepsi sekadar hafalan istilah dan gambar di buku teks. Inilah salah satu akar persoalan yang membuat

Editor: mufti
IST
DIAN MAYA PUTRI, S.Pd., Gr., Guru Biologi dan Wakil Kepala SMA Sukma Bangsa Lhokseumawe, melaporkan dari Lhokseumawe 

Persoalan teknologi

Konteks Aceh memberi warna khusus bagi praktik ini. Di media lokal ramai diperbincangkan soal anggaran pendidikan dan dana otonomi khusus yang belum sepenuhnya menjawab kebutuhan nyata di sekolah. Ada sekolah yang menikmati fasilitas canggih, tetapi ada pula yang masih bergulat dengan papan tulis sederhana.

Di perkotaan, beberapa sekolah mulai mengenal pembelajaran berbasis digital, walau sering terhambat jaringan internet yang tak stabil. Sementara itu, di pedalaman Aceh, masih ada sekolah yang harus berbagi satu proyektor untuk beberapa kelas, bahkan ada yang mengandalkan lampu minyak ketika listrik padam. Gambaran ini menghadirkan pertanyaan besar: Adakah jalan tengah yang bisa menjembatani jurang digital ini?

Kesenjangan infrastruktur menimbulkan keresahan: Apakah pembelajaran berbasis teknologi akan makin memperlebar jarak? Dalam situasi demikian, ‘coding unplugged’ hadir sebagai jembatan.  Hal ini menegaskan bahwa inovasi tidak melulu soal teknologi tinggi, tetapi juga keberanian guru menemukan cara kreatif di tengah keterbatasan.

Tantangan dan solusi

Tentu, tidak semua berjalan mulus. Kegiatan ini membutuhkan waktu lebih panjang, sedangkan pemahaman awal siswa tentang algoritma masih rendah. Ada pula variasi kemampuan: sebagian cepat memahami, sebagian lain perlu bimbingan lebih sabar.

Namun, di sinilah seni mengajar diuji. Guru menyusun langkah bertahap, membagi peran agar semua terlibat, dan memberi asesmen reflektif untuk memastikan pemahaman. Lebih dari sekadar strategi, pendekatan ini menegaskan filosofi bahwa pendidikan adalah tentang memberi ruang bagi semua, tanpa terkecuali.

‘Coding unplugged’ dalam pembelajaran biologi bukan hanya praktik pedagogis, melainkan juga simbol harapan. Ia membuktikan bahwa di tengah isu teknologi pembelajaran di Aceh, ada jalan lain untuk menyalakan semangat belajar. Dari kelas yang sederhana, tumbuh generasi yang terbiasa berpikir sistematis, kolaboratif, dan kreatif. Mereka belajar bahwa keterbatasan bukan alasan untuk menyerah, melainkan alasan untuk berinovasi.

Praktik ini juga menjadi pesan bagi para pengambil kebijakan: bahwa inovasi pendidikan harus menyentuh semua siswa, tanpa membedakan yang berada di kota atau desa. Teknologi memang penting, tetapi kreativitas lebih penting lagi. ‘Coding unplugged’ adalah bukti nyata: dari langkah kecil bisa lahir perubahan besar.

Jika praktik baik ini terus dikembangkan, disebarluaskan, dan diiringi kebijakan yang berpihak pada kebutuhan nyata, maka pendidikan Aceh akan melahirkan generasi yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga tangguh menghadapi gelombang zaman. Generasi yang bisa membaca bukan hanya huruf, melainkan juga kode kehidupan; bukan hanya menghafal, melainkan memahami dan menghidupi ilmu pengetahuan.

Kinilah saatnya kita mengambil langkah. Inovasi seperti ‘coding unplugged’ menunjukkan bahwa pendidikan bermutu tidak selalu harus bergantung pada gawai mahal atau jaringan internet cepat. Yang lebih dibutuhkan adalah keberanian untuk mencari jalan kreatif, komitmen guru yang tak menyerah pada keterbatasan, serta kebijakan yang benar-benar berpihak pada kebutuhan nyata sekolah.

Masa depan anak-anak Aceh dan Indonesia terletak pada keputusan hari ini: apakah kita hanya akan meratap pada data PISA yang rendah atau mulai menyalakan cahaya harapan dari ruang-ruang kelas sederhana di sekolah masing-masing?

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved