Pojoh Humam Hamid

MSAKA21: Gender Aceh Abad 15, Ratu Nahrisyah dari Pasai – Bagian XIX

Keunikan Samudera Pasai terletak pada kemampuannya menerima dan menempatkan perempuan sebagai penguasa

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HO
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, 

Oleh Ahmad Humam Hamid*)

Di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara yang ramai oleh kapal Gujarat, Arab, dan Tiongkok, nama Pasai masih bergema sebagai negeri emas, tempat para ulama dan saudagar bertemu. 

Namun di balik kejayaan itu, arus perubahan mulai terasa--dunia sedang bergerak cepat, dan kerajaan ini bersiap menghadapi senjanya.

Ketika Sultan Ahmad Malik az-Zahir wafat, Pasai memasuki masa genting. 

Takhta kehilangan penjaganya, sementara perpecahan bangsawan mengintai. 

Di tengah pusaran itu, muncul seorang perempuan muda dari darah kerajaan: Putri Nahrisyah.

Nahrisyah dibesarkan dalam tradisi ilmu dan adab Islam. 

Di istana, ia belajar bahasa Arab, hukum syariat, dan sastra dari para ulama. 

Ia tumbuh bukan hanya sebagai bangsawan, tetapi juga murid yang tekun dan cerdas. 

Maka ketika dinobatkan menjadi penguasa, masyarakat Pasai menerima dengan hormat--bukan hanya karena keturunan, tetapi karena kecerdasan dan keluhurannya.

Tantangan Zaman dan Jalan Sunyi

Menjadi ratu di masa itu bukan perkara mudah. 

Dunia perdagangan bergeser ke Malaka, hubungan diplomatik mulai retak.

Di tengah tekanan itu, Ratu Nahrisyah memilih jalan sunyi tetapi terhormat: menjaga kesinambungan kerajaan, memperkuat kehidupan keagamaan, dan meneguhkan identitas Pasai sebagai pusat ilmu Islam.

Catatan sejarah tidak banyak menyinggung pemerintahannya. 

Namun batu nisannya di Kompleks Makam Kuta Krueng, Aceh Utara, berbicara lebih lantang. 

Di atas marmer putih berkaligrafi indah tertulis doa panjang: “Allahumma irham al-Malikat al-‘Alimah al-Mu’minah al-Hakimah, hakimah al-Bilad al-Pasai.” 

Terjemahan: “Ya Allah, rahmatilah Ratu yang berilmu, beriman, dan bijaksana, penguasa negeri Pasai.” 

Dari nisan itu, kita tahu: ia dihormati bukan hanya karena darahnya, tetapi karena ilmu dan kebajikannya.

Baca juga: Danrem Resmikan Meunasah Ratu Nahrisyah

Fenomena Kepemimpinan Perempuan

Ratu Nahrisyah menjadi simbol terakhir kemegahan Pasai--seorang pemimpin perempuan di tengah dunia yang dikuasai pria, yang menutup babak sejarah dengan ketenangan dan martabat.

Keunikan Samudera Pasai terletak pada kemampuannya menerima dan menempatkan perempuan sebagai penguasa--sebuah fenomena yang amat jarang ditemukan di dunia Islam abad ke-14. 

Ketika Ratu Nahrisyah naik takhta pada 1406, Pasai tidak hanya menegaskan stabilitas dinasti, tetapi juga menunjukkan kelenturan sosial dan politik.

Pasai mampu berkreasi dalam tradisi Islam Nusantara, yang mampu mengadaptasi nilai-nilai lokal mengenai kekerabatan dan kepemimpinan. 

Berbeda dengan banyak kerajaan Muslim lain pada masa itu--seperti Kesultanan Delhi atau Mamluk Mesir--yang hanya sesekali dipimpin perempuan dan seringkali menghadapi resistensi besar.

Sebaliknya, Pasai justru menempatkan pemimpin perempuannya dalam posisi yang dihormati, bahkan diakui oleh para ulama dan pedagang internasional. 

Bahkan di Asia Tenggara sendiri, tradisi ini baru terlihat secara kuat seabad kemudian di Kerajaan Patani yang dipimpin oleh empat ratu berturut-turut.

Sementara di Jawa, Majapahit memang pernah dipimpin oleh Tribhuwana Wijayatunggadewi, tetapi bukan sebagai kerajaan Islam.

Dengan demikian, naiknya Ratu Nahrisyah menandai sebuah momen sosiologis penting, bukti bahwa Islam di Pasai tidak berkembang secara rigid, melainkan berbaur dengan budaya lokal yang memberi ruang lebih besar bagi perempuan dalam struktur politik. 

Fenomena ini memperlihatkan bahwa masyarakat Pasai--sebagai pusat perdagangan dan pernah menjadi kosmopolitanisme Hindu-Buddha, yang kemudian berkembang hebat pada masa Islam.

Pasai memiliki kapasitas adaptif yang memungkinkan legitimasi perempuan bukan sebagai pengecualian, tetapi sebagai bagian dari norma politik lokal.

Untuk memahami konteks kepemimpinannya, kita perlu melihat Samudera Pasai bukan sekadar kerajaan Islam, tetapi pusat pragmatisme religius dan ekonomi maritim. 

Dalam sejarah Asia Tenggara, sebagaimana ditulis oleh Anthony Reid dalam Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680, Pasai menempati posisi penting sebagai pelabuhan pertama di dunia Melayu yang memeluk Islam. 

Reid menekankan bahwa penyebaran Islam di kawasan ini tidak terjadi karena penaklukan politik, melainkan karena proses pragmatis dan kosmopolitan yang tumbuh dari dunia perdagangan.

Menurut Reid, Islam di pelabuhan-pelabuhan seperti Pasai, Malaka, dan Aceh hadir sebagai “bahasa moral dan komersial baru”--sebuah sistem nilai yang memfasilitasi kepercayaan antar pedagang dari Gujarat, Arab, Pegu, dan Tiongkok. 

Islam di sini bukan semata doktrin spiritual, melainkan juga mekanisme sosial-ekonomi. 

Ia menyediakan etika transaksi, kejujuran dalam muamalah, dan jaringan solidaritas lintas etnis yang memperlancar arus niaga. 

Bergabung dalam komunitas Muslim berarti memperoleh jaminan kepercayaan, status sosial, dan akses ke pasar global.

Dalam konteks Pasai, pragmatisme Islam ini juga menjadi landasan legitimasi politik.

Baca juga: IAIN Lhokseumawe Resmi Jadi UIN Sultanah Nahrisyah, Kado Indah Milad ke-56, Buka Prodi Baru

Warisan Ratu Nahrisyah

Sultan-sultan Pasai, termasuk Ratu Nahrisyah, memahami bahwa kekuasaan tidak cukup didasarkan pada darah keturunan, tetapi juga pada kesalehan dan dukungan moral para ulama.

Pemerintahan yang adil, sesuai syariat, menciptakan kepercayaan publik di tengah masyarakat pelabuhan yang majemuk. 

Seperti diamati Reid, hubungan timbal balik antara agama, perdagangan, dan kekuasaan membentuk “the moral economy of the port” - ekonomi moral pelabuhan, di mana spiritualitas dan pragmatisme saling menopang.

Dalam sistem nilai itu, seorang penguasa tidak cukup kuat karena pasukannya, tetapi karena integritas moralnya. 

Pedagang dihormati karena kejujuran, dan pemimpin diukur dari kemurahan serta kesalehannya. 

Ratu Nahrisyah berdiri tepat di tengah orbit nilai tersebut: seorang perempuan yang menguasai adab dan ilmu agama, tetapi juga memahami realitas politik dan ekonomi zamannya. 

Ia menjaga kesinambungan kerajaan di masa ketika jalur rempah mulai bergeser ke Malaka, memastikan Pasai tetap menjadi pelabuhan yang bermartabat meski tak lagi dominan.

Sebagaimana disimpulkan Reid, kekuatan Islam di Asia Tenggara tidak lahir dari kekerasan, tetapi dari kemampuannya beradaptasi dengan kebutuhan praktis dunia dagang dan pemerintahan. 

Islam di Pasai bukan agama dogmatik, tetapi agama yang lentur, yang menyerap adat setempat dan memberi fondasi moral bagi dunia yang sedang berubah.

Tradisi sosial di wilayah ini--yang sejak pra-Islam sudah mengenal sistem bilateral dan peran penting perempuan--memberi ruang bagi munculnya pemimpin seperti Nahrisyah. 

Ia bukan anomali, melainkan kelanjutan dari nilai lokal yang bersenyawa dengan Islam. 

Maka, kepemimpinannya bukan sekadar kisah ratu salehah, melainkan cermin dari keunikan Aceh pada masa itu, di mana agama, ekonomi, dan gender berpadu dalam keseimbangan yang khas.

Melalui Nahrisyah, kita melihat wajah Islam yang manusiawi, lentur, dan penuh nalar. 

Ia menandai batas antara kejayaan dan senja Samudera Pasai--antara spiritualitas dan pragmatisme, antara tradisi lokal dan nilai universal. 

Batu nisannya bukan hanya simbol kematian, tetapi pernyataan hidup dari sebuah peradaban yang pernah menjadikan perempuan, iman, dan akal budi berdiri sejajar dalam sejarahnya.(*)

 

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Isi artikel dalam Pojok Humam Hamid menjadi tanggung jawab penulis

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved