Opini
Kasihan Aceh
AKSI rusuh di Kantor Gubernur Aceh di pengujung 2013 lalu, masih saja terngiang miris di benak sebagian masyarakat kita
Oleh Helmy N. Hakim
“Kasihan bangsa yang menjadikan orang bodoh sebagai pahlawan,
dan menganggap penindasan sebagai hadiah. Kasihan bangsa yang negarawannya serigala, falsafahnya karung nasi, dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru.”
(Bangsa Kasihan, Kahlil Gibran)
AKSI rusuh di Kantor Gubernur Aceh di pengujung 2013 lalu, masih saja terngiang miris di benak sebagian masyarakat kita. Kerusuhan kecil yang sempat membuat sudut Kantor Gubernur Aceh ‘berantakan’ itu disebabkan oleh massa yang menuntut dana proposal yang belum juga cair sebesar Rp 500 ribu. Mereka kecewa karena tak satu pun dari pihak pemerintah yang memberi penjelasan. Tak pelak, `zona hijau’ itu pun tembus oleh massa yang marah.
Faktor utama yang memicu hal ini adalah kesabaran yang habis, bukan hanya karena menunggu dana proposal yang cair, tapi kelesuan ekonomi Aceh selama 2013 yang diabaikan oleh pemerintahan Zaini-Mualim menjadi ‘bahan bakar’ beroktan tinggi, yang kemudian menghapus rasa takut masyarakat untuk bertindak anarkis.
Padahal, berbagai peringatan sudah sering dimunculkan oleh berbagai pihak bahkan oleh media-media lokal Aceh. Sinyal terakhir Bank Indonesia mencatat adanya kredit macet pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Aceh sebesar 10, 73%. Padahal mayoritas nasabahnya adalah para pedagang kecil dan UKM yang merupakan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Seorang karyawan satu BPR di Aceh menceritakan tentang seorang ibu pedagang sayur yang mengembalikan pinjaman sebesar Rp 25 ribu. Sambil menangis, si ibu tersebut mengungkapkan bahwa uang itu adalah modal hariannya dan tidak mendapat keuntungan karena pasar ramai orang, tapi sepi pembeli. Belum lagi tauke-tauke beraset besar, secara rela menawarkan aset yang dijadikan jaminan untuk dilelang dikarenakan ketidakmampuan untuk melunasi kredit.
Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 856 ribu penduduk miskin (Serambi, 4/1/2014) adalah potensi keresahan sosial. Seorang wartawan media online yang berdomisili di Bireuen menggambarkan mengenai kecemburuan sosial yang mulai muncul di kalangan masyarakat.
Tingginya harapan masyarakat terhadap janji-janji rezim, sementara kemampuan minimalis rezim untuk memenuhinya, bahkan cenderung menjalankan apa yang disebut Huntington sebagai rezim anti-demokrasi dan menjalankan pemerintahan secara oligarkhi, yang menjalankan kebijakan secara ketat dan menolak pasar. Sementara sistem ini tidak lagi cocok dalam masyarakat modern, akan memicu kesadaran masyarakat mengambil sikap sendiri.
Mencermati berbagai kondisi di Aceh mengingatkan saya pada sebuah puisi “Bangsa Kasihan” karya sastrawan dunia berasal dari Libanon, Kahlil Gibran: “Kasihan bangsa yang tidak pernah angkat suara// kecuali jika sedang berjalan diatas kuburan//tidak sesumbar kecuali jika sedang berjalan di reruntuhan//tidak memberontak kecuali ketika lehernya sudah berada di antara pedang dan landasan.”
Diakui atau tidak kebebasan bersuara memiliki ruang yang sempit lagi kecil di Aceh. Indeks Demokrasi Aceh dalam laporannya 2013 menempatkan Aceh dalam peringkat paling bawah yaitu sekitar 54,02% (vivanews.com). Sehingga masyarakat kemudian memilih menjawab kebijakan penguasa dengan bahasa kekerasan.
Kelompok politik yang kini berkuasa telah mendidik dengan baik bahasa intimidasi dan kekerasan sebagai pilihan utama menyelesaikan berbagai masalah. ‘Pendidikan’ ini terekam dengan baik oleh masyarakat dan kemudian digunakan pada kondisi yang kemudian dianggap perlu.
Turbulensi sosial
Yang menarik dari situasi Aceh sekarang adalah ketenangan yang mencemaskan. Situasi ini mengarah pada turbulensi sosial. Turbulensi menurut Michel Serres (1995, Piliang, 2003:11) adalah keadaan antara (transisi), sebuah tapal batas antara keadaan kacau (disorder) dengan keadaan teratur (order). Kita menemukan ketenangan dan keberaturan, tetapi secara tiba-tiba kita berhadapan dengan kekacauan.
Kasus mengamuknya masyarakat di Kantor Gubernur adalah contoh kecil dari kekacauan yang mungkin lebih besar di depan. Tekanan ekonomi yang kian berat, minimnya lapangan pekerjaan dan rendahnya perputaran uang, sedikit banyak sudah memberi sumbangan yang besar pada meningkatnya tingkat stress di masyarakat. Secara umum keadaan ini akan meningkatkan kriminalitas dan penyakit sosial yang bermotifkan memenuhi kebutuhan dasar hidup. Tentu saja kerja pihak kepolisian akan semakin besar ke depan.
Dengan meningkatnya kriminalitas, masyarakat dihantui oleh berbagai ancaman (teror, kekerasan, kejahatan, kerusuhan) tetapi tidak memiliki harapan lagi untuk mendapatkan perlindungan sosial. Masyarakat diselimuti oleh berbagai ketidakpastian menghadapi situasi ekonomi dan politik terutama menjelang Pemilu 2014, tetapi tidak punya harapan lagi untuk mendapatkan pengayoman. Meminjam istilah Rahmat Fadhil, Pemerintah Aceh sang na, sang tan.
Dengan demikian situasi Aceh berpotensi besar sudah mengarah pada chaos (kekacauan) dicirikan oleh adanya turbulensi, yang ditandai oleh ketidakstabilan, kekacauan, serta keacakan (randomness) proses sosial dalam berbagai dimensinya. Ada energi-energi tertentu yang menarik dan mengaduk-aduk masyarakat ke sana ke mari. Fluktuasi antara kedamaian dan kebencian, antara ketenangan dan kerusuhan, lenyapnya kemampuan prediksi sosial, lenyapnya kekuatan intelligency sosial.