‘Ashabul Kuphi’

ADA dua jamaah yang paling banyak “menghidupi” malam bulan puasa, yakni jamaah masjid dan jamaah warung kopi atau “ashabul kuphi”

Editor: bakri
Oleh Sehat Ihsan Shadiqin

ADA dua jamaah yang paling banyak “menghidupi” malam bulan puasa, yakni jamaah masjid dan jamaah warung kopi atau “ashabul kuphi”. Perbedaan paling prinsipil antara keduanya adalah, jamaah masjid selalu penuh di awal Ramadhan. Bahkan masjid-masjid hampir tidak cukup menampung jamaah yang membludak. Sebaliknya, “ashabul kuphi” semakin bertambah seiring jumlah hitungan hari puasa. Semakin lama puasa, semakin banyak pula jamaah yang datang ke sana. Bahkan pada sepuluh akhir puasa, warung kopi hampir tidak mampu menyediakan kursi tempat duduk karena begitu banyak jamaah yang datang, bahkan mulai setelah berbuka puasa.

Sepertinya ada perpindahan jamaah dari masjid ke warung kopi dalam bulan puasa. Jamaah, terutama laki-laki, yang sebelumnya memenuhi berbagai masjid untuk melaksanakan shalat dan ibadah lainnya, pelan-pelan memutar haluan ke warung kopi. Jadinya, jumlah jamaah di masjid semakin hari semakin sedikit. Yang tinggal hanya jamaah setia yang sebelum puasa memang menjadi jamaah tetap di masjid tersebut. Sementara jamaah dadakan yang muncul pada awal-awal bulan puasa, kembali ke “habitatnya” semula sebagai penghuni warung kopi.

Kenapa terjadi perpindahan dari masjid ke warung kopi? Ini pertanyaan menarik yang sulit dijawab. Kalau perspektif normatif agama kita bisa katakan karena orang tidak lagi benar-benar kuat menjalankan ibadah dan ajaran agama. Perintah-perintah sunnah dalam agama tidak lagi dijalankan serius. Manusia sudah sibuk dengan dunianya, tidak lagi mementingkan akhirat. Atau ekstrimnya umat Islam di Aceh yang mengaku menerapkan syariat Islam namun dalam perilakunya tidaklah seislami simbol dan klaimnya di atas kertas. Namun perspektif ini, meskipun bisa saja dipakai, tidak sepenuhnya dapat menjawab pertanyaan di atas. Sebab sebagai sebuah komunitas yang terbuka, plural, berubah dan berinteraksi dengan berbagai komunitas lain di dunia, masyarakat Aceh tidak bisa menutup diri dari pengaruh perubahan dan perkembangan apa yang ada di luar dirinya. 

Perspektif lain yang bisa kita gunakan melihat kenyataan ini adalah antropologis. Sangat menarik untuk mengetahui kenapa masyarakat dengan mengenakan kopiah, baju koko (yang sering diidentikkan dengan baju muslim meskipun sebenarnya lebih mirip dengan baju tradisional masyarakat Cina), atau pakai sarung, duduk di warung kopi beberapa saat setelah berbuka di rumahnya. Mereka keluar dari rumah dengan pakaian seolah-olah hendak menuju masjid, tetapi nyatanya bukan benar-benar ke sana, tapi malah membelokkan arah kenderaannya ke warung kopi. Di sana, mereka melaksanakan ritual-ritual khas warung kopi dalam beberapa jam, bahkan hingga menjelang sahur.

Dari perspektif ini ada beberapa kemungkinan hal ini bisa terjadi. Pertama, dibandingkan dengan masjid, warung kopi memberikan ruang ekspresi yang lebih bebas. Di masjid gerak dan laku harus mengikuti prosedur tertentu, sementara warung kopi menawarkan kebebasan yang lebih luas. Orang bisa duduk dengan gaya yang dia sukai, menggerakkan tangan ke mana yang ia mau, melihat apa yang ia inginkan, dan lain sebagainya. Kedua, warung kopi memberikan kebebasan bicara, mengemukakan pendapat, bersuara dan bercerita. Hal seperti ini tidak ada di masjid. Bacaan dalam ibadah, doa, pengajiaan, telah ditulis dan baku. Tidak ada perubahan dan memang dilarang untuk diubah kecuali beberapa hal dalam doa. Ketiga, warung kopi mempertemukan banyak orang yang berbeda lalu mereka berinteraksi. Meskipun hal ini bisa saja terjadi dalam jamaah shalat, namun ruangnya sangat terbatas. Baik karena waktu yang pendek atau karena fokus kegiatannya memang bukan tentang relasi antar manusia.

Tentu masih ada beberapa hal yang lain. Namun dari tiga hal di atas, tawaran paling “menggiurkan” yang diberikan warung kopi dibandingkan dengan masjid adalah kebebasan mengekspresikan dimensi-dimensi kemanusiaan tanpa simbol dan aturan baku. Apa yang ada di masjid dalam bulan Ramadhan adalah sebuah ritual yang baku dan tetap. Seseorang datang ke mesjid melaksanakan shalat yang sama, mendengar ceramah yang isinya juga hampir selalu sama, membaca doa yang sama berulang-ulang, membaca Alquran dengan ayat-ayat yang sama. Kemungkinan, bagi banyak orang hal ini akan menimbulkan kebosanan dan jenuh. Untuk mencari penyegaran mereka beralih ke warung kopi.

Lantas, apakah yang terjadi dalam masjid sesuatu yang keliru? Tentu saja tidak! Masjid sama sekali berbeda dengan warung kopi. Apa yang ada dan dilakukan di masjid sesuatu ritual yang tetap dan tidak perlu diubah. Sebab itu menyangkut dengan doktrin-doktrin agama yang bersifat tetap. Yang perlu berubah adalah orangnya. Bagaimana “ashabul kuphi” melakukan transformasi kebebasan dan kepuasannya di warung kopi dapat diperoleh juga di masjid. Bagaimana kenikmatan pecakapan di warung kopi bisa ditransformasikan menjadi kenikmatan “berbicara” dengan Allah. Bagaimana nikmatnya duduk di warung kopi menjadi nikmatnya iktikaf. Atau bagaimana keasyikan facebook-an menjadi kenikmatan tadarus hingga tengah malam. Hal-hal seperti ini tentu tidak mudah untuk dilaksanakan, kecuali dengan niat yang kuat, usaha yang keras, dan tentu saja, selalu berharap agar Allah menunjukkan jalan yang benar, sehingga muslim dengan predikat “ashabul kuphi” menjadi muslim yang meneladani Ashabul Kahfi. Insyaallah.

* Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved