Kupi Beungoh

Biaya Hidup Melonjak dan Krisis Pekerjaan di Indonesia: Sebuah Tinjauan Filsafat Ilmu

Jika ditelusuri lebih jauh, krisis biaya hidup dan pekerjaan ini sesungguhnya mencerminkan krisis filsafat ilmu itu sendiri.

Editor: Amirullah
For Serambinews.com
Teuku Alvinnur, S.Pd., lahir di Matangglumpang Dua, pada 18 Mei 2003. Saat ini ia menempuh pendidikan magister di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh. Ia memiliki ketertarikan pada isu-isu filsafat ilmu, pendidikan, dan keislaman. 

Oleh: Teuku Alvinnur, S.Pd., 

Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia hidup dalam ketegangan ekonomi yang semakin terasa nyata.

Kenaikan harga bahan pokok, keterbatasan lapangan kerja, dan ketidakpastian ekonomi menjadi topik utama di warung kopi, ruang keluarga, hingga sidang parlemen.

Fenomena ini bukan sekadar problem ekonomi ia merupakan potret krisis kemanusiaan dan krisis ilmu pengetahuan dalam memahami kesejahteraan manusia.

Kita sering mendengar istilah “pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat,” tetapi di sisi lain, masyarakat di lapisan bawah justru merasa hidupnya semakin berat. Maka, perlu refleksi yang lebih dalam: apakah ilmu ekonomi yang kita anut masih berpihak pada manusia, atau justru terjebak dalam logika pasar semata?

Melalui pendekatan filsafat ilmu, kita dapat menelusuri akar masalah ini secara lebih mendalam melihat hakikat realitasnya (ontologi), cara kita mengetahuinya (epistemologi), dan nilai yang seharusnya menuntun solusi (aksiologi).

Baca juga: 4 Amalan Sunnah Hari Jumat, Mudah Dikerjakan, Raih Pahala, Bisa Menghapus Dosa-dosa

Kajian Ontologis: Hakikat Krisis dan Realitas Manusia

Kajian ontologis berfokus pada pertanyaan: apa yang sebenarnya ada? Apa hakikat dari krisis ekonomi yang tengah melanda masyarakat Indonesia?

Secara ontologis, krisis biaya hidup dan sulitnya pekerjaan bukan hanya fenomena angka atau grafik ekonomi, melainkan fenomena kemanusiaan.

Di balik data inflasi dan statistik pengangguran, terdapat manusia-manusia nyata yang berjuang mempertahankan martabat hidupnya para ibu rumah tangga yang mengatur uang belanja yang tak cukup, para pemuda yang kehilangan semangat mencari kerja, dan para pekerja yang upahnya tak sebanding dengan harga beras yang terus naik.

Realitas seperti ini menegaskan bahwa ilmu ekonomi tidak boleh dipahami hanya sebagai sistem mekanis yang tunduk pada hukum pasar. Secara ontologis, ilmu ekonomi adalah ilmu tentang manusia dan kesejahteraannya, bukan sekadar tentang angka, modal, dan laba.

Sayangnya, paradigma pembangunan yang dominan di Indonesia cenderung positivistik dan materialistik. Manusia ditempatkan sebagai objek produksi, bukan subjek kehidupan. Orientasi pembangunan hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, bukan dari pertumbuhan nilai dan kebahagiaan manusia.

Padahal, menurut pandangan filsafat ilmu, realitas sosial-ekonomi memiliki dimensi materi dan makna. Kenaikan harga beras bukan hanya peristiwa pasar, melainkan cerminan hilangnya keseimbangan antara sistem ekonomi dan moralitas publik.

Maka, memahami krisis ekonomi harus berangkat dari pemahaman bahwa realitas manusia bersifat multidimensional: ekonomi, sosial, etis, dan spiritual.

Dengan kata lain, ontologi kesejahteraan tidak bisa dilepaskan dari hakikat kemanusiaan itu sendiri.

Baca juga: Dari Soekarno ke Prabowo, Dubes Kanada Kenang Panjangnya Persahabatan Indonesia–Kanada di USK

Kajian Epistemologis: Krisis Pengetahuan dan Kebenaran Sosial

Dimensi epistemologi bertanya: bagaimana kita mengetahui bahwa krisis ini benar-benar terjadi? Apa sumber pengetahuan yang kita gunakan untuk memahami realitas sosial ini?

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved