Bahasa, Daya Tarik Wisata
ADA beberapa penyebab utama kepunahan bahasa di berbagai penjuru dunia. Yang pertama merupakan konsistensi penutur sen
ADA beberapa penyebab utama kepunahan bahasa di berbagai penjuru dunia. Yang pertama merupakan konsistensi penutur sendiri, kedua tren modernisasi atau globalisasi, ketiga bencana alam, dan terakhir politik. Keempat faktor ini semakin berkembang, seiring dengan berkembangnya keterbukaan masyarakat terhadap hal-hal baru yang menjanjikan kesejahteraan.
Saat ini secara tidak langsung masyarakat Aceh juga sedang mengalami ancaman kepunahan bahasa, khususnya bahasa daerah. Salah satu ancaman yang paling besar adalah tren globalisasi wisata dalam momentum pesta wisata baik itu Visit Banda Aceh Years 2011, terlebih lagi Visit Aceh Years 2013 yang akan menyeluruh di 23 kabupaten/kota. Momentum tersebut melahirkan tuntutan baru bagi seluruh masyarakat, khususnya anak-anak muda untuk mempelajari Bahasa Inggris. Ada anggapan Bahasa Inggris bisa menciptakan peluang kerja.
Tentu saja tak dipungkiri Bahasa Inggris sebagai alat resmi komunikasi internasional merupakan sebuah kewajiban, yang harus dikuasai anak muda Aceh untuk berpartisipasi di ruang-ruang profesional, nasional dan internasional. Akan tetapi penting menggaris bawahi ungkapan menempatkan sesuatu tepat pada tempatnya difahami dengan baik. Kita tak ingin tuntutan keharusan menguasai Bahasa Inggris justru memunahkan bahasa-bahasa daerah, begitu juga Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa persatuan di Indonesia.
Sesungguhnya bangsa yang besar merupakan bangsa yang memiliki masyarakat dengan tingkat kreativitas dan inovasi tertinggi. Bangsa tersebut takkan terpengaruh dengan revolusi yang dibuat oleh bangsa lain. Melainkan mereka berupaya menemukan jati dirinya sendiri untuk memulai revolusinya sendiri. Dengan begitu, dia akan memiliki karakter tersendiri sebagai sebuah kekuatan yang besar, berbeda, dan menjadi pemicu untuk berlomba-lomba dengan bangsa-bangsa lainnya.
Acap kali masyarakat melupakan sisi terkecil dari kekayaan budaya bangsanya karena pesatnya perkembangan teknologi di berbagai negara maju. Akibatnya mereka menghambakan diri pada kemajuan tersebut. Misalnya karena begitu kreatifnya Apple, semua orang begitu memuja Steve. Steve mendapatkan tempat yang istimewa di hati masyarakat dunia pecinta Apple sehingga, muncul klaim-klaim yang akan mendewakan sesuatu yang mengikuti Steve.
Apa itu? Salah satunya merupakan bahasa. Secara tidak langsung, masyarakat dari berbagai daerah dan negara melakukan “akulturasi bahasa” karena pengaruh alat komunikasi. Jika di Indonesia, terjadi perpaduan bahasa yang saya sebut dengan istilah Indogris atau Indonesia Inggris. Di mana sejumlah unsur kata dan kalimat dalam Bahasa Inggris diserap menjadi bahasa lokal atau Bahasa Indonesia.
Misal acap kali kita mendengar pengucapan,”Peu haba bro?” atau “Peu haba mamen (My Man)?” yang berarti apa kabar teman atau sobat. Bisa jadi ini adalah contoh yang paling sederhana dan dianggap sepele apalagi dalam pengucapan sehari-hari. Namun yakinlah bila dilakukan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi, mungkin suatu saat Bahasa Aceh yang benar-benar murni tiada akan ditemukan lagi.
Geliat nama bisnis
Jauh sebelum geliat wisata pariwisata di Aceh diluncurkan dan berkembang, masyarakat Aceh juga sudah dituba dengan penamaan bisnis tertentu dengan menggunakan Bahasa Inggris. Wabah pesta wisata memperparah kondisi ini karena asumsi akan banyak turis mancanegara yang bakal datang ke Aceh. Bisa jadi hal itu untuk menarik konsumen internasional. Selain itu, ada klaim sensasi tersendiri ketika memilih Bahasa Inggris sebagai nama usaha yang ditekuninya. Kita pun dapat menyaksikannya baik itu nama sejumlah travel, warung kopi, butik, toko, dan sektor-sektor usaha lainnya.
Pada dasarnya nama memang memiliki pengaruh yang besar di semua hal, tak terkecuali dalam dunia bisnis. Nama yang baik dan dekat dengan konsumen akan melahirkan daya tarik tersendiri. Akan halnya serapan sejumlah kata atau frasa Bahasa Inggris yang digunakan sebagai nama sebuah bisnis yang digunakan di Aceh, bisa jadi ini salah satu alasannya.
Namun jika dianalisis lebih jauh, akan sangat berlebihan jika kita mengerdilkan istilah Bahasa Aceh atau Bahasa Indonesia dibandingkan dengan Bahasa Inggris. Pada faktanya penggunaan Bahasa Aceh atau Bahasa Indonesia sebagai nama sebuah bisnis juga mendapatkan tempat di hati konsumen. Entah karena keunikan bahasa itu sendiri, atau sebenarnya penamaan sebuah bisnis tidak terlalu dipengaruhi oleh bahasa. Mau bahasa apa pun yang digunakan, bisnisnya akan berkembang pesat jika pelayanannya baik, harganya “merakyat”, produknya unik, kualitasnya standar punya, dan tentunya tempat pemasarannya strategis serta bersih sehingga indah dipandang mata.
Sebut saja sejumlah nama warung kopi yang dilebeli dengan Bahasa Aceh atau ladang usaha kuliner yang digunakan dengan Bahasa Indonesia. Dikarenakan pelayanan dan minuman serta makanannya yang baik, jumlah konsumenpun tak pernah kurang. Lantas, kenapa harus takut menamakan usaha apa pun dengan bahasa kita sendiri?
Perlu menjadi catatan, saat ini Pemerintah Indonesia telah memberikan nilai tersendiri untuk sektor ini. Pemerintah baru saja mengesahkan peraturan istimewa untuk mengapresiasi bahasa di nusantara, khususnya Bahasa Indonesia sebagai khazanah bangsa. Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2009, khususnya pada pasal 36, Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai merek dagang, lembaga usaha dan penamaan geografis lainnya. Pelanggaran terhadap pasal ini mendapatkan sanksi tersendiri. Hanya saja karena sosialisasi bahasa masih berkutat di tatanan nilai moral, realisasi ini belum tegas.
Apapun cerita, kita menyadari bahwa bahasa ibu kita baik Bahasa Indonesia, terlebih lagi Bahasa daerah di Aceh (Bahasa Aceh, Gayo, Kluet, dan lainnya) memiliki nilai ekonomi tersendiri. Hanya saja kita belum sepenuhnya sadar dan menggunakannya dengan baik dan benar di semua sektor kehidupan. Jika saja hari ini ada tren penciptaan bahasa gaul yang diserap dari Bahasa Inggris atau Bahasa Indonesia, kenapa kita tidak mencoba kreatif dengan menggaulkan Bahasa Aceh? Jadi jika kelak dengan makin majunya program wisata baik Visit Banda Aceh 2011 maupun Visit Aceh 2013, turis pun dengan sendirinya akan memahami bahasa lokal Aceh sebagai daya tarik wisata. Kenapa tidak?
* Penulis merupakan Duta Bahasa Balai Bahasa Banda Aceh 2010. Mahasiswa Fakultas Teknis, Unsyiah.