Pemuda, Ngajilah!
LEWAT sisi tes baca Alquran bagi kandidat gubernur dan wakilnya di Masjid Raya Baiturrahman (26/10/2011), rakyat dipermaklumkan akan kaidah
LEWAT sisi tes baca Alquran bagi kandidat gubernur dan wakilnya di Masjid Raya Baiturrahman (26/10/2011), rakyat dipermaklumkan akan kaidah dan penilaian mengaji orang kita, cara pemimpin kita baca Kitab Suci, dan tentunya pendidikan politik.
Tgk Akmal Abzal, Komisioner KIP Aceh, mengulangi pada kita pembaca dan pemirsa, bahwa standar “mampu” yang dinyatakan “lulus” oleh aturan pemilu kita, sampai 2011 ini, ialah asal bisa baca saja. Walaupun hanya mengantongi total poin minimal 50. Bobot nilai maksimal memang 100: tajwid 50, fasahah 30, dan adab 20 (Gema Baiturrahman, 14/10/2011). Jadi masalah tajwid (cara baca Alquran yang benar) yang mungkin rusak di sana-sini, mad (panjang pendek bacaan) yang tertukar ke sana ke mari, fasahah yang belum pas halus dan kasar, itu soal nanti.
Rumitnya ilmu tajwid, itu problem anak ngaji dengan guru tajwid di balai pengajian, dan TPQ. Urgennya izhar, ikhfa’, idgham, iqlab, qalqalah, waqaf, shifatul huruf, makharijul huruf, nun (tanwin), dan mim mati saat ngaji, itu masalah di ajang musabaqah antara qari-qariah dengan dewa juri. Asal dalam seleksi kali ini, jelang kampanye awal Desember nanti, kandidat bisa diumumkan mampu baca, maka memadailah, legalah, dan syukurlah. Alhamdulillah ya, sore diumumkan KIP Aceh, semua lulus, terus siap kampanye.
Remaja dan pemuda Aceh, calon pemimpin, belajarlah ngaji. Ini wasiat leluhur, juga semangat Sumpah Pemuda. Aneh dan aib bagi Aceh, jika sudah besar, mengaji saja masih seperti kambing jalan di bebatuan, “lagee kameng jak lam batee.” Tes ngaji yang terus diberitakan dari kabupaten pekan ini, untuk cagub/cawagub bahkan diulang-ulang oleh TV Aceh, ada yang salah mad, salah waqaf dan seterusnya. Moga Allah mencatat dua pahala bagi kandidat penguasa kita: satu pahala mengaji, satu lagi pahala susahnya ngaji.
Usai mengaji, kita ingatkan pemilih, jangan alpa pada nilai, kemahiran mengaji kandidat pada Oktober ini. Sebagaimana juga kita tidak segera lupa pada kisruh pemilu sesama tim suksesnya. Termasuk kita mesti ingat, kisruh antara ambisi segelintir kita yang ingin tunda pilkada dan segelintir syahwat kita yang ingin teruskan pilkada. Walaupun rakyat tak banyak tahu. Wajar jika praktisi hukum, Mukhlis Mukhtar--mantan anggota DPRA--bilang, pemilu kita milik penguasa (Waspada, 26/10/2011). Rakyat mesti catat rapi, seperti kita juga masih melipat ‘catatan dosa’ bakal calon, sebelum jadi calon, saat mencalonkan, dan ‘noda-noda hitam’ di malam-malam pemilihan. Semua pemimpin mungkin banyak dosa, tapi pilihlah yang sedikit kesalahannya. Asal kita tidak senang menghujat, menfitnah, dan mencela sesama, di kedai.
Sesi kampanye dan pemilihan nanti moga aman, amin. Walaupun kisruh antara legislatif dan eksekutif di atas, bergulir hingga ke meja MK, dan belum reda. Kelak, siang pencoblosan di hari H itu juga, rakyat dan pemenang biasa akan diumumkan informasi siapa gubernur dan bupati barunya, juga walikota dan wakilnya. Namun kita mesti ingat, dua hari usai pencontrengan, setelah kelingking kiri kita dicelup ke tinta hitam, dan pamit tinggalkan TPS, maka pemilih, yang kalah, dan pemenang, serta siapa pun, akan mengenang musibah gempa-tsunami ke 7. Jadi tak perlu eforia sekali bagi juara, dan tak ada alasan berduka sekali bagi yang kalah.
Dari tes cabup (cabup), calon waki bupati (cawabup), calon walikota (calwalkot), calon wakil walikota (calwawalkot), dan calon anggota legislatif (caleg) yang sudah dua musim itu, rakyat sepertinya tambah cerdas. Biasa ‘warna baju’ rakyat tak jauh juga beda --taat atau durhaka, patuh atau batat-- dengan warna pemimpinnya. Peliput dan pendengar boleh menyindir, mengejek kefasihan ngaji cagub dan cawagub, cabup/cawabup, yang pas-pasan. Namun tidak jarang, kita yang menyindir, lebih kurang sama parah mutu mengaji kita, dengan mereka yang dinilai oleh tim juri dari Kementrian Agama (Kemenag), MPU, dan Lembaga Pembinaan Tilawatil Quran (LPTQ) itu.
Pemuda pemimpin masa depan
Pemimpin dan calon penguasa hari ini, itulah pemuda masa silam. Pemuda hari ini, pemimpin hari esok. Anak-anak hari ini, menjadi ayah anak-anak har esok. Merenungi hari Pemuda ke-83, wahai pemuda Aceh, mengaji dan shalatlah. Jangan sampai bodoh, dungu, tak tahu huruf Arab saat disuruh tadarus dan nikah di kampung orang; jangan sampai orang tua, dan mertua, dan tetangga, menyindir begini, “Geuyue jak beuet, dilob lam `puep,” disuruh mengaji, sembunyi di kolong jembatan. Padahal kita linto baro.
Walaupun calon mertua yang berputra dan putri dua atau lebih, kini masih saja suka dan iseng menanyakan calon menantu: kerja di mana dan tamatan apa, bukannya menanyakan apakah ‘kawan’ anaknya itu taat beragama, sudah shalat, atau antum mengaji sama siapa dan kitab apa, juz berapa, surat apa. Namun yakinlah usai kita menjadi kepala keluarga, sebagian akan rangkap menjadi kepala lorong, kepala dusun, kepala pemuda, ketua PKK, geuchik, imam, pegawai, pejabat, dan minimal ketua panitia dan katua regu jaga malam, saat pemilu. Kini, masuk sekolah, mau kuliah, mesti bisa mengaji, walaupun ukuran mampu kayak standar KIP kita itu. Qanun sekarang, mau melamar di instansi, institusi, dinas, dan badan, akan ada tes mengaji. Biasanya yang bakal lulus, dan tahan lama bekerja, yang lapang dada, luas wawasan dan pergaulan, pintar mengaji, dan piawai menakar gaji.
Tak lazim seorang pemuda, siswa dan mahasiswa misalnya, hanya paham dan rekam silabus dan roster ujian. Juga hafal kapan libur dan minggu tenang, juga lebaran. Tapi yang diberi tabik dan tepuk tangan warga adalah buat pemuda yang dia mahasiswa, dia juga yang rajin gotongroyong. Senang jaga malam, ikut ta’ziah, dan azan.
Wahai pemuda, siapa pun panggilan muda anda, asal dari mana, profesi apa pun, apa saja karya, karsa, dan kreativitas kita, iringilah dengan nama Allah. Supaya berbobot, tautkan hati dengan masjid; seringlah ke masjid, melawan setan; kurangi ke cafe yang ramai dengan setan, dan setan itu anti orang mengaji. Jangan kayak sebagian pemimpin kita yang jarang ngaji, cuma ngaji musim pilkada, tapi asyik dengan draf gaji, asyik dengan ayat-ayat dan pasal-pasal di qanun itu, lupa pada ayat-ayat Alquran.
Pemuda Aceh, menunda adalah penyakit akut yang menimpa si pemalas. “Hari kerja pemalas adalah besok, hari ini libur.” Hadapi dan terima kenyataan, bahwa kita lemah dan berkekurangan. Maka nilai rendah, boleh perbaiki, kecuali nilai tes ngaji. “Kesempurnaan adalah penyakit yang mematikan,” ejek orang besar yang pernah jadi anak muda. Tipologi orang begini, perfeksionis, itu sulit maju, karena selalu takut gagal. Pemuda di nusantara era 1908, 1928, 1945, 1966, atau 1998 juga penuh kekurangan, jatuh lagi bangun lagi, jatuh dan bangun. “Orang jatuh karena berjalan, kita tak melihat orang tersandung karena duduk,” pekik satu pribahasa lain. Perbaharui rasa ingin tahu, remaja dan pemudaku. Terus kepak sayap untuk hal baru, sumpah suci baru, anak mudaku. Supaya guru dan abu bisa senyum selalu. Begitulah sekelumit pesan Hari Pemuda, jelang musim pemilu.
* Penulis adalah staf Kanwil Kemenag Aceh. Direktur TPQ Plus Baiturrahman.