Baliho

SEMUA hal tercipta melewati dua tahap, tahap pertama terjadi melalui imajinasi dan selanjutnya dibentuk menjadi kejadian yang nyata

Editor: bakri
Oleh Nadiya Putri Rusjdi

SEMUA hal tercipta melewati dua tahap, tahap pertama terjadi melalui imajinasi dan selanjutnya dibentuk menjadi kejadian yang nyata. Seperti misalnya gambar sebuah gedung adalah berasal dari imajinasi, direalisasikan menjadi sebuah gedung kokoh yang nyata.  Jadi, kota-kota yang besar, gedung-gedung pencakar langit, jalan-jalan yang mulus tanpa hambatan, pertokoan mewah, dan lain-lain, semua terjadi diawali dari imajinasi. Karenanya, bila imajinasi anda berkualitas, maka berkualitas pula yang tercipta. Pembangunan lahir yang berkualitas, pasti berasal dari batiniah seseorang yang berkualitas.

Mari kita amati pembangunan fisik dari kota kita tercinta ini,  ruang-ruang publik yang mulai dipadati kotak-kotak iklan yang luar biasa memenuhi ruang-ruang pribadi. Setiap celah kota bisa ditafsirkan hanya dengan satu kemungkinan bernama baliho. Tidak masalah dengan kehadiran baliho atau papan iklan tersebut, mudah saja menyingkirkannya. Yang menjadi pikiran adalah apa alasannya hingga ditempatkan di ruang-ruang publik seperti itu. Mari merujuk kepada kota yang baik sesuai dengan prinsip good governance.

Friedman (1999) mengatakan salah satu ciri kota yang baik adalah kota yang memiliki pemerintahan yang baik. Dengan kata lain, kota yang baik tercipta dari jiwa kepemimpinan yang baik. Sebuah kota yang dibangun oleh pemerintah yang keliru, maka hasil pembangunannya akan keliru atau tidak tepat sasaran.

Tidak perlu gelar tinggi untuk merasakan sebuah tata kota yang dibangun dengan keliru, cukup menjadi seorang awam seperti saya untuk merasakan hal tersebut. Lihat saja prinsipnya dari lingkungan sekitar kita, orang tua yang baik akan menciptakan anak-anak yang berkualitas, rumah tangga yang diayomi oleh imam sejati yang bertanggungjawab menghasilkan keluarga yang sakinah dan berbahagia. Jadi, jika kota yang dijalankan oleh pemerintah yang baik, entah bagaimana penjelasannya, kriminalitas akan merendah, penduduknya akan berbahagia, merasa aman dan tentram walaupun hidup tidak berkelebihan.

Kalau mau memandang ke atas, lihatlah negara Denmark di Eropa Barat. Perlu sedikit berimajinasi untuk bisa menjadi bangsa yang berbahagia seperti rakyat Denmark. Negara ini menurut survei yang diadakan oleh Universitas Leicester di Inggris disebut sebagai negara dengan penduduk terbahagia di seluruh dunia. Padahal ternyata kehidupan keluarga kebanyakan di ibukota Denmark, Kopenhagen, tidak bisa dikatakan mewah, mereka tidak berkekurangan namun tidak pula berkelebihan. Rumah penduduknya tidak luas, namun tidak ada tunawisma. Denmark adalah negara Demokrasi yang cenderung mengikutt paham sosialis, yang menurut penduduknya, sosialis yang beradab. Tidak perlu memiliki mobil berkelas, bila sepeda sudah cukup dipakai untuk bekerja. Tidak perlu rumah mewah asal ada kesempatan bertemu dengan anggota keluarga setelah bekerja. Itulah yang membuat sebuah negara disebut beradab. Hak-hak dasar masyarakat dijamin oleh pemerintahannya. Sehingga yang dihasilkan adalah masyarakat yang sehat dan terdidik. Di samping besarnya kepercayaan kepada pemerintah dengan membayar pajak hampir setengah dari penghasilannya. Tidak ada kekhawatiran untuk dikorupsi. Tidak perlu menjadi negara superkaya seperti Amerika Serikat, yang walaupun memiliki pendapatan domestik bruto tertinggi di dunia, namun kurang memiliki perasaan positif akan terpenuhinya kepuasan hidup. Tentunya faktor kebahagiaan suatu bangsa tidak bisa dibandingkan dengan bangsa lainnya. Akan banyak melibatkan indikator sosial dan psikologis.    

Maka hasil pembangunan sebuah kota sesungguhnya adalah hasil imajinasi dari kerohaniaan pemimpinnya. Sepertinya pembangunan yang merohani itu makin sulit dicari. Hal tersebut tidak bisa dimanipulasi dari banyaknya gedung-gedung megah, ataupun pusat perbelanjaan mewah. Boleh saja membangun pusat pembelanjaan mewah, sepanjang masih ada kaki-kaki lima yang rapi, atau taman-taman kota yang hijau. Pembangunan yang menonjol kini adalah adanya tabrakan ruang kepentingan yang tidak terkendali. Karena yang paling berhasil saat ini mengacu kepada ukuran persegi panjang. Siapa yang terlebar, terpanjang dan tertinggilah yang menjadi pemenangnya.

Begitu maraknya pemasangan baliho-baliho raksasa bergambar pas foto tersebut. Silahkan saja memecahkan rekor baliho terbesar, karena untuk itu pun sudah ada lembaga rekor sendiri. Jika baliho tersebut hanya dianggap sebagai gambar, maka tidak terlalu bermasalah. Akan tetapi jika itu bermakna gambaran betapa banyaknya orang yang ingin menjadi tokoh, Itulah persoalan utamanya. Sebagian kecil di antaranya adalah tokoh sungguhan, yang meredam ego pribadi demi kepentingan hidup bersama. Malangnya, kebanyakan adalah orang yang ditokoh-tokohkan, atau bahkan menokoh-nokohkan diri. Maka bila itu yang terjadi, sesungguhnya baliho-baliho bergambar tersebut, walaupun semuanya mengumbar kebaikan, nyatanya tidak mengabarkan apa pun kecuali ego kepentingannya sendiri dengan berbagai macam pamrih.

Ketokohan seseorang bukanlah sekadar pencitraan diri yang bersifat  rekayasa. Ketokohan itu ada dalam kehidupan nyata. Seberapa jauh kedudukan kebaikan seseorang di dalam kehidupan nyata, dan kebermanfaatannya kepada umat, itulah ukuran sebenarnya ketokohan seseorang.

* Penulis adalah alumnus IAIN Ar Raniry. S2 dari Leipzig University, Germany.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved