Opini
Pendidikan dan Transformasi Sosial sebagai Pilar Perdamaian
PENANDATANGANAN Memorandum of Understanding (MoU) di Helsinki tidak hanya menandai berakhirnya konflik bersenjata
Prof Dr Ir Marwan, Rektor Universitas Syiah Kuala
PENANDATANGANAN Memorandum of Understanding (MoU) di Helsinki tidak hanya menandai berakhirnya konflik bersenjata yang telah berlangsung selama hampir tiga dekade. Tetapi juga menjadi awal baru bagi Aceh untuk membangun masa depan yang damai, adil, dan sejahtera. Kesepakatan ini membuka ruang bagi otonomi khusus, pengakuan hak-hak politik dan ekonomi masyarakat Aceh, serta kesempatan untuk memperkuat pembangunan melalui jalur damai dan berkelanjutan.
MoU Helsinki melahirkan sejumlah konsesi politik terbesar dalam sejarah Indonesia pasca-Reformasi, termasuk pemberian otonomi khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sebab perdamaian ini pada hakikatnya adalah proses panjang transformasi sosial. Kita tentu memahami bahwa konflik Aceh telah meninggalkan luka sosial yang mendalam. Banyak sekolah hancur, akses pendidikan terputus, dan ribuan anak kehilangan masa belajar emas. Trauma psikologis yang dialami oleh anak-anak, guru, dan keluarga menjadi hambatan besar dalam proses pendidikan, yang berimbas pada proses pembangunan pasca-konflik secara menyeluruh.
Sayangnya, sistem pendidikan Aceh belum sepenuhnya menjadi ruang penyembuhan. Dominasi kurikulum nasional dan minimnya muatan lokal menjadikan pendidikan tidak kontekstual dan kurang menyentuh akar sejarah serta pengalaman masyarakat. Padahal, pengalaman global seperti di Rwanda dan Bosnia menunjukkan bahwa pendidikan yang mengintegrasikan sejarah konflik dan nilai rekonsiliasi dapat membangun “peace literacy” - kemampuan memahami dan merespons konflik secara adil dan empatik.
Di Aceh, ruang ini masih terbuka lebar. Kurikulum lokal yang memuat sejarah perjuangan Aceh, nilai-nilai keislaman, dan budaya lokal perlu diperkuat, bukan hanya sebagai proyek simbolik, tetapi sebagai bagian integral dari pembelajaran utama. Dengan kewenangan khusus yang dimiliki Aceh, pemerintah daerah memiliki ruang luas untuk merancang sistem pendidikan yang relevan dan kontekstual. Pergub No. 07 Tahun 2022 telah menetapkan Kurikulum Muatan Lokal untuk jenjang SMA dan SMK, mencakup Aqidah Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, dan nilai-nilai keacehan.
Di tingkat perguruan tinggi, seperti Universitas Syiah Kuala (USK) telah mengintegrasikan nilai-nilai perdamaian ke dalam mata kuliah wajib kurikulum (MKWK) dengan pendekatan project-based learning.
Tahun ini USK akan memulai Program Magister Damai dan Resolusi Konflik untuk terus meningkatkan literasi damai di Aceh dan berkontribusi pada perdamaian global. Namun, tantangan struktural masih besar. Hasil Asesmen Nasional menunjukkan capaian literasi dan numerasi siswa Aceh berada di bawah rata-rata nasional. Transisi dari SMP ke SMA berjalan lambat akibat faktor ekonomi, perkawinan dini, dan akses geografis yang sulit. Distribusi guru berkualifikasi belum merata, dan angka putus sekolah di pedesaan masih tinggi.
Dana otonomi khusus telah menjadi sumber penting dalam pembangunan pendidikan Aceh. Qanun Aceh No. 5 Tahun 2008 dan revisinya mengatur alokasi dana pendidikan, termasuk dana abadi pengembangan SDM.
Meski demikian, efektivitas pengelolaan dana ini masih menjadi tantangan.
Investasi besar dalam infrastruktur belum sepenuhnya menyentuh akar masalah, seperti peningkatan kapasitas guru, pengembangan kurikulum berbasis sejarah lokal, dan dukungan untuk pendidikan komunitas seperti dayah dan sekolah non-formal.
Transformasi digital
Dalam dua dekade pasca-konflik, transformasi digital telah muncul sebagai salah satu elemen penting dalam memperkuat pembangunan pendidikan dan rekonsiliasi sosial di Aceh. Di tengah upaya membangun perdamaian yang berkelanjutan, teknologi digital menawarkan peluang baru untuk memperluas akses, meningkatkan kualitas pembelajaran, dan menciptakan ruang dialog yang inklusif lintas generasi. Digitalisasi pendidikan di Aceh bukan sekadar adaptasi terhadap perkembangan zaman, melainkan harus menjadi bagian dari strategi untuk menjawab tantangan struktural yang selama ini menghambat pemerataan pendidikan.
Melalui pemanfaatan teknologi, proses pembelajaran akan dapat menjangkau wilayah-wilayah yang sebelumnya sulit diakses, termasuk daerah pedalaman dan pesisir yang terdampak konflik. Platform pembelajaran daring, aplikasi edukatif lokal, dan konten digital berbasis budaya Aceh seharusnya bisa hadir dan mulai digunakan untuk memperkaya pengalaman belajar siswa dan mendukung guru dalam proses pengajaran.
Namun, transformasi digital juga menghadapi tantangan yang tidak ringan. Keterbatasan infrastruktur internet di sejumlah wilayah, rendahnya literasi digital di kalangan tenaga pendidik, serta minimnya perangkat teknologi di sekolah-sekolah terpencil menjadi hambatan nyata yang harus diatasi secara sistemik.
Tanpa intervensi yang tepat, digitalisasi berisiko memperlebar kesenjangan pendidikan antara kota dan desa, antara mereka yang terhubung dan yang tertinggal.
Transformasi digital juga membuka peluang baru bagi pendidikan vokasi dan pelatihan keterampilan. Melalui platform daring, pelatihan teknis kini dapat diakses secara fleksibel, sertifikasi kompetensi dapat dilakukan secara digital, dan koneksi antara lulusan dengan dunia kerja menjadi lebih efisien.
Lebih dari itu, teknologi digital memiliki potensi besar sebagai medium rekonsiliasi sosial. Dengan konten yang inklusif dan narasi yang arif, platform digital dapat menyebarkan kisah-kisah perdamaian, memperkuat empati, dan membangun solidaritas di tengah keberagaman. Pendidikan digital yang dirancang dengan empati terhadap sejarah dan budaya lokal dapat menjadi ruang penyembuhan kolektif, tempat generasi muda belajar untuk memahami, memaafkan, dan membangun masa depan bersama.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.