Selamat Jalan Abu Muhibuddin Waly
Aceh kehilangan lagi seorang ulama kharismatik dan menjadi panutan umat. Abuya Prof. Dr. Tgk. H. Muhibuddin Wali Al Khalidy.
Penyakit gula darah atau diabetes melitus yang menggerogoti tubuh membuatnya harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Begitu pun, beliau tidak pernah berhenti dan selalu menyempatkan diri menghadiri sejumlah acara sosial kemasyarakatan hingga akhir hayatnya.
Pada 6 Februari lalu, misalnya, dengan kondisi dipapah, Abuya melantik pengurus Majelis Taklim Assuniah Ahlussnah Waljamah Aceh di Masjid Jamik Kutablang, Aceh Utara. Sepekan kemudian, saat deklarasi kandidat calon kepala daerah dari Partai Aceh pada 12 Februari lalu, Abuya menyempatkan diri hadir dan mempesijuek mereka di atas panggung. Abuya wafat sekitar pukul 22.00 wib di Rumah Sakit Fakinah, Banda Aceh. Abuya meninggal setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit tersebut.
Abuya, sapaan ta’zim terhadap Muhibbuddin Waly sebagai pewaris mahkota spiritual di Aceh karena beliau ulama keturunan Syekh Mudo Waly, ulama besar Minangkabau masa lalu. Dia adalah guru Tarekat Naqsyabandiyah. Ia menerima ijazah tarekat dari beberapa mursyid, termasuk dari Syekh Alawy Al-Maliky.
Wajahnya yang teduh dan tenang setiap kali memandang mencerminkan kefahamannya dan jalan tasawuf yang dimiliki ulama ini. Dan Abuya Muhibbuddin belajar Tarekat Naqsyabandiyah kepada ayahandanya.
Belakangan Abuya Muhibbuddin juga mendapat ijazah irsyad (sebagai guru mursyid) Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dari ulama karismatik K.H. Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin, alias Abah Anom, pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya; dan Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah dari Syekh Muhammad Nadzim Al-Haqqany.
Abu Muhibuddin Wali pada suatu ceramah menyampaikan pesan ayahannda teringat wasiat ayahandanya, Syekh Mudo Waly, “Jika engkau bertemu dengan orang alim, janganlah pernah mendebat. Cukup dengarkan nasihatnya, bertanya seperlunya, minta doa dan ijazahnya, lalu cium tangannya.”
Syekh Muhibbuddin Waly mengambil gelar doktor di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo, dengan disertasi tentang Pengantar Ilmu Hukum Islam. Lulus 1971. Di Al-Azhar, teman satu angkatannya antara lain mantan Presiden RI K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. “Wah, Gus Dur itu sehari-hari kerjaannya cuma membaca bermacam-macam koran,” kenangnya sambil terkekeh.
Beliau pernah menjadi anggota DPR RI berakhir 2004 lalu. Namun selama itu Abuya lebih banyak mengisi waktunya dengan mengajar tarekat dan menulis. Ada beberapa buku tentang tasawuf dan pengantar hukum Islam yang ditulisnya, sambil menyempurnakan buku ensiklopedi tarekat yang diberinya judul Capita Selecta Tarekat Shufiyah.
Waktu senggangnya juga dimanfaatkan untuk “meramu” tiga kitab yang diharapkannya akan menjadi pegangan para murid dan umat Islam pada umumnya, yaitu Tafsir Waly (Tafsir Al-Quran), Fathul Waly (Komentar atas Kitab Jauharatut Tauhid), dan Nahjatun Nadiyah ila Martabatis Shufiyah (sebuah kitab tentang ilmu tasawuf).
Abuya ternyata ia juga mewarisi darah para pujangga. Terbukti dari kemahirannya menulis syair. Belum lama ini ia mengijazahkan Syair Tawasul Tarekat yang digubahnya dalam dua bahasa, Arab dan Melayu, kepada murid-murid tarekatnya. Syair yang cukup panjang ini menceritakan proses perjalanan suluknya, diselingi doa tawasul kepada para pendiri beberapa tarekat besar dan guru-guru yang dimuliakannya.
Abuya hingga akhir hayatnya tidak berhenti berkhidmat kepada agama, nusa, dan bangsa. Itu sebabnya beliau selalu menyempat diri melayani umat, meskipun harus dipapah.
Berkait dengan tarikat, Abuya pernah melansir dalam suatu forum dengan menyatakan “Saat ini ada pergeseran nilai (bertambahnya fungsi tarekat – Red.) di kalangan pengikut tarekat. Jika di masa lampau tarekat diikuti oleh orang yang benar-benar hendak mencapai makrifatullah, kedekatan dengan Allah, sekarang ini tarekat malah sering jadi tempat pelarian bagi orang-orang yang menemukan kebuntuan dalam hidup.”
Abuya Muhibuddin mudah memberikan hidangan ilmu dari ceramah-ceramahnya. Sebagai ulama beliau telah mendedikasikan hidupnya dalam dunia dakwah keagamaan. Beliau mampu menyejukkan ketika dewasa ini munculnya dakwah-dakwah keagamaan yang cenderung “memprovokasi”, yang kerap kali membangkitkan gairah umat untuk menebarkan kekerasan, sebagaimana tercermin di berbagai mimbar keagamaan.
Itulah yang jarang dimiliki para ulama lain sehingga kita kehilangan orang yang diguguh yang selalu mengajak umat berfikir dan berzikir, sehingga umat tidak terjerembap dalam paham keagamaan yang sempit, rigid dan keras.
Aceh kehilangan seorang ulama sebagaimana telah disebutkan dalam sebuah hadis Nabi Muhammad SAW, para ulama hakikinya adalah pewaris para Nabi. Maka, misi yang diemban oleh para ulama, yaitu menyebarkan nilai-nilai profetis kenabian, khususnya dalam rangka menebarkan tali-kasih di tengah-tengah umat, serta membangkitkan umat dari keputusasaan dan hilangnya harapan.
Abuya Muhibuddin Waly, telah berjasa besar dalam menjaga watak Islam rahmatan lil ‘alamin di negeri ini. Karenanya kepergian Abuya menghadap Sang Khlaiq, umat di Aceh kehilangan lagi satu sosok “Patok” yang mencegah limbung iman.