Opini
Pendidikan Aceh Mau Kemana?
MASALAH pendidikan di Aceh merupakan satu urusan wajib Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota, yang harus menjadi prioritas
MASALAH pendidikan di Aceh merupakan satu urusan wajib Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota, yang harus menjadi prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten/Kota (RPJMK). Untuk Aceh dan kabupaten/kota urusan pendidikan merupakan satu prioritas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, di mana 20% APBA dan APBK termasuk Dana Otonomi Khusus (Otsus) harus dialokasikan untuk pendidikan. RPJMA dan RPJMK periode ini sangat stretegis karena periode Gubernur 2012-2017 juga diikuti dengan periode kepemimpinan sejumlah Bupati/Wali Kota di Aceh.
Bagaimana capaian pendidikan Aceh saat ini? Banyak hal yang menggembirakan, di samping banyak pula masalah yang masih memerlukan perhatian lebih serius dari pemerintah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Pembangunan akses pendidikan di Aceh sudah sangat baik, ini terlihat dari angka partisipasi pendidikan SMA/MA/SMK pada 2011 yang telah mencapai 84,11% dan sudah melampaui target nasional 2014 sebesar 79%, APK SLTP Aceh yang sudah mencapai 102,82% dan APM 72,81%. Demikian juga dengan APK SD/MI mencapai 113,27%, APM SD/MI 94.67%. Sisa masalah hanya pada angka partisipasi kasar TK/RA yang baru mencapai 27,63% dari target 45%.
Di samping itu, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan pada akses, yaitu: Pertama, perhatian kepada keluarga miskin untuk pendidikan menengah masih sulit; Kedua, akses untuk anak berkebutuhan dan layanan khusus masih sangat kurang. Masih banyak kabupaten/kota yang belum mempunyai SLB, belum mempunyai program pendidikan inklusi, belum ada dana khusus untuk SLB, belum mempunyai program khusus untuk daerah terpencil dan terpencar, dan; Ketiga, akses dan mutu SMK memerlukan perhatian khusus oleh kabupaten/kota, karena target perbandingan antara murid SMA dan SMK 60:40, baru tercapai 87:13, padahal SMK menjadi harapan untuk memperoleh tenaga skill yang dapat mengisi berbagai lapangan kerja.
Bagaimana aspek mutu?
Bagaimana dengan aspek mutu? Aceh telah banyak mendapatkan mendali dari olimpiade dan kejuaraan lainnya, namun masih terbatas pada sekolah tertentu, khususnya untuk mata pelajaran. Hampir semua prestasi yang diperoleh dalam bidang mata pelajaran diraih oleh sekolah berasrama atau sekolah/madrasah unggulan kabupaten/kota, hanya bidang olahraga yang dapat diraih oleh sekolah di luar sekolah tersebut.
Capaian hasil belajar siswa, bila diukur dari kelulusan Ujian Nasional (UN) sudah sangat menggembirakan. Pada 2011 lalu, misalnya, kelulusan SMP/MTs mencapai 99,38%, SMA/MA IPA 99,76% dengan rangking nilai 22% dari 34% dan SMA/MA IPA mencapai 98,89% dengan rangking 21 dari 34 provinsi. Namun bila kita bandingkan dengan daya saing lulusan terjadi kontradiksi. Rangking nilai yang diperoleh SMA/MA/SMK yang mengikuti SMPTN di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia pada 2011 untuk IPA menduduki rangking 31, (di bawah Papua) IPS lebih baik yaitu rangking 25.
Di samping terjadi kontradiksi antara nilai UN, ternyata ada hubungan antara prestasi dan daya saing lulusan SLTA Aceh dengan kemampuan guru di Aceh. Ternyata hasil Uji Kompetensi Awal (UKA) guru di Aceh. Guru TK mencapai nilai nilai rata-rata 36,26 ranking 32, guru SD nilai rata-rata 35,95 rangking 32, guru SMA rangking 31, dan guru SMK rangking 29 dari 34 provinsi. Dengan data ini menggambarkan bahwa ada hubungan antara kemampuan guru dengan hasil belajar siswa. Karena rata-rata kemampuan guru berkisar rangking 30, maka hasil belajar siswa juga berkisar pada wilayah tersebut.
Mencermati data ini patut dipertanyakan ada apa dengan guru di Aceh? Begitu lemahkah mereka? Kalau ya mengapa? Bila data ini benar, maka harus menjadi perhatian utama Pemprov dan Pemkab/Pemko, karena kalau guru tidak profesional belum tentu seluruhnya penyebabnya dari guru, tetapi dapat berasal dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Contoh yang sangat konkret adalah saat ini sangat sedikit program untuk peningkatan kemampuan guru dalam bentuk in-service, seperti penataran.
Program pembangunan pendidikan lebih banyak kepada pembangunan fisik. Pembangunan pagar sekolah dianggap lebih penting, walaupun sebenarnya dapat saja diganti dengan pagar sederhana. Entah mengapa program fisik lebih menarik bagi pejabat di daerah, padahal disadari, pagar yang bagus tidak akan dapat meningkatkan mutu pendidikan.
UUPA mengamanatkan bahwa 20% APBA/APBK harus diperuntukkan untuk pendidikan. Hampir semua kabupaten/kota dalam tahun terakhir menempatkan dana melebihi 20% dari APBK untuk pendidikan. Namun kalau dirinci lebih lanjut yang patut diperhatikan adalah semua daerah menghabiskan sebagian besar dana untuk gaji guru. Rata-rata kabupaten/kota menggunakan 67% anggaran pendidikan untuk gaji guru, malah ada kabupaten/kota yang menghabiskan dana pendidikan melebihi dari 85% untuk gaji guru, sebaliknya sangat minim untuk peningkatan kualitas.
Guru sendiri bagaimana? Adakah upaya untuk meningkatkan kompetensinya? Dalam keputusan Mendikbud diarahkan bahwa sebagian dana sertifikasi yang diperoleh guru harus diperuntukkan bagi peningkatan profesionalisme dan kemampuan guru. Ada berapa buah buku yang pernah dibeli guru dengan dana sertifikasi yang dapat mendukung peningkatan profesionalismenya? Patut dijadikan pelajaran dari Kabupaten Gorontalo yang membuat Perda pemanfaatan sebagian dana sertifikasi guru untuk peningkatan kemampuan profesionalisme guru itu sendiri.
Kualitas dan daya saing
Di masa mendatang Pemerintah Aceh harus memberikan prioritas kepada upaya peningkatan kulitas dan daya saing pendidikan. Untuk aspek akses pendidikan, perhatian harus diberikan kepada peningkatan partisipasi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), anak berkebutuhan khusus dan pengembangan sekolah kejuruan (vocational). Pendidikan tinggi juga harus lebih banyak mengembangkan program keahlian dan vokasional sejenis Politeknik, baik Diploma I maupun Diploma III.
Untuk mendukung upaya peningkatan kualitas dan daya saing pendidikan maka ada beberapa kebijakan yang harus ditempuh, di antaranya: Pemerintah Aceh mewajibkan alokasi dana untuk in-service dalam rangka peningkatan mutu guru dari APBA dan APBK, meningkatkan kulifikasi guru, melengkapi laboratorium, buku dan perpustakaan sekolah, menata kembali kurikulum sesuai dengan perkembangan iptek, dan pengembangan sekolah model yang dapat menjadi contoh dan model bagi sekolah lain. Sesuai pula dengan permasalahan yang dihadapi saat ini, maka pengembangan dan peningkatan mutu SMK harus menjadi prioritas.
Mengingat jumlah guru yang banyak, tentu sangat sulit bila dilaksanakan pelatihan dengan model reguler sebagaimana telah dilaksanakan selama ini. Untuk itu Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG) harus diberdayakan agar dapat mempercepat upaya peningkatan kualitas guru. Sebelum bertugas, guru dididik oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) seperti FKIP dan Fakultas Tarbiyah, dengan demikian maka mutu guru juga dipengaruhi oleh proses pre-service, untuk itu peningkatan mutu proses pendidikan calon guru di LPTK harus ditingkatkan.
Aceh telah mulai menerapkan kurikulum khusus sesuai dengan kekhususan daerah, sedangkan kurikulum LPTK masih menerapkan standar nasional, sudah saatnya LPTK menyesuaikan kurikulumnya sesuai dengan kebutuhan pendidikan di Aceh. Supaya mutu proses belajar mahasiswa lebih bermutu, maka proses pendidikan dengan membuka kelas jauh sudah sepantasnya ditutup. Apalagi dari segi jumlah calon guru sudah sangat berlebih, lulusan LPTK saat ini masih cukup untuk mengisi kebutuhan 20 tahun mendatang.
* Anas M. Adam, Widyaiswara Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Aceh, dan Wakil Ketua Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh. Email: anasdpk@yahoo.com