Breaking News

Opini

Menyelamatkan Polri

JUDUL tulisan ini berada di luar pakem dan tidak populer. Sebab di tengah maraknya kata Save KPK (selamatkan KPK-Komisi Pemberantasan

Editor: bakri

JUDUL tulisan ini berada di luar pakem dan tidak populer. Sebab di tengah maraknya kata Save KPK (selamatkan KPK-Komisi Pemberantasan Korupsi), maka mengapa pula saya harus menggelorakan Save the Police (Selamatkan Polisi)? Jawabannya sebenarnya sangat sederhana; Negeri ini butuh polisi yang jujur dan kuat. Jika mereka kemudian menyimpang, maka harus dikembalikan ke jalan yang benar, harus diselamatkan!

Sejatinya, menyelamatkan polisi adalah tugas yang mesti dilakukan sejak polisi Republik Indonesia (Polri) lahir dari kandungan Ibu Pertiwi. Menyelamatkan polisi, apa pun makna yang ingin kita berikan kepadanya, adalah proses yang tak bisa berhenti, belum selesai dan jauh dari selesai. Sudah sekian lama terjadi, Polri dikritik dalam kasus penyalahgunaan kewenangan dalam melakukan penyidikan, dalam menangani kasus-kasus unjuk rasa, dan kasus-kasus korupsi (baik dalam penanganan kasusnya maupun dalam hal keterlibatan anggotanya dalam tindak pidana korupsi).

Dalam kasus korupsi, beberapa waktu lalu Soegeng Suryadi Sindikat (SSS) mengeluarkan hasil survei, di dalam mana disebutkan Polri berada pada nomor tiga sebagai lembaga terkorup di Indonesia setelah DPR dan kantor pajak. Salah satu kasus yang dikuliti habis oleh media adalah kasus rekening gendut di tubuh kepolisian, yang kemudian menguap begitu saja.

Terhadap hasil survei SSS, Polri sendiri meragukannya, misalnya dengan mempertanyakan metode dan parameter yang digunakan dalam survei. Sayangnya, bantahan itu tak pula dilakukan dengan metode yang ilmiah. Polri sering defensif dan kemudian melakukan beberapa serangan balik. Dalam perseturuan dengan KPK, Polri memakai pengacara untuk minta fatwa Mahkamah Agung mengenai “dualisme” (tanda kutip dari penulis) kewenangan penyidikan korupsi oleh Kepolisian dan KPK.

Polri juga mencoba menangkap Penyidik KPK (Novel Baswedan yang berprofesi sebagai polisi) di Gedung KPK hanya beberapa jam setelah Novel memeriksa Irjen DS dalam perkara korupsi Simulator SIM. Sebelumnya, Polri juga berusaha menarik 20 penyidik Polri dari KPK dengan alasan untuk pembinaan jenjang karir. Pepatah mengatakan, “ketika Anda melakukan sesuatu pada saat tak tepat, dengan cara yang tidak tepat, dengan motif yang tidak jujur, maka segalanya akan menjadi salah.”

 Hukuman keras
Polri harus membayar sangat mahal. Wajah Polri tercoreng. Keberhasilan Polri membongkar kasus-kasus terorisme dan perdagangan narkotika dan barang-barang haram yang sejenis dengan itu, menjadi seperti tidak ada artinya. Ada lebih 400.000 anggota polisi, yang sekian ribu diantara mereka berperilaku buruk, tetapi masyarakat mungkin beranggapan semua berperilaku buruk. Ibarat kata, gara-gara nila setitik merusak susu sebelanga.

Kita kemudian melihat kondisi sosiopsikologis massa. Manakala anggota Polri berlaku korup, maka masyarakat bereaksi sangat keras. Reaksi ini tak lain karena masyarakat merasa “tak terima” mengapa Polri yang merupakan jajaran terdepan dalam penegakan hukum, malah terlibat dalam pelanggaran hukum. Di sini, masyarakat melihat sisi moral kepolisian; perilaku korup polisi tak semata persoalan hukum, melainkan juga persoalan moral.  

“Hukuman” masyarakat yang berat itu juga ditujukan kepada jaksa dan hakim yang terlibat dalam kasus korupsi dan kasus-kasus amoral lainnya. Reaksi semacam itu, bukan khas Indonesia saja, melainkan bersifat universal. Di belahan mana pun di dunia ini, meskipun kita mengatakan “penegak hukum adalah manusia juga” (yang terkesan untuk menjustifikasi kesalahan yang dilakukan penegak hukum), tetap sukar diterima jika mereka berbuat salah.

Aparat penegak hukum adalah orang-orang terlatih, bukan orang biasa. Mereka bukan gerombolan, melainkan orang yang sudah menjalani beragam pendidikan dan pelatihan untuk membuat mereka menjadi kelompok yang membanggakan. Dengan kualifikasi yang demikian, pelanggaran hukum oleh penegak hukum, sukar untuk ditolerir.

Dalam kasus perseturuan Polri vs KPK seperti saat ini, Polri dapat merasakan betapa “kerasnya” sanksi masyarakat itu. Polri kelihatannya seperti mencoba melawan sanksi masyarakat. Ketika Mabes Polri menjelaskan bahwa upaya penangkapan penyidik KPK Novel Baswedan, sebagai upaya yang sesuai dengan hukum, bumi dan langit seperti tak percaya. Kehadiran Polri ke Gedung KPK pada Jumat (5/10) malam lalu, bahkan dianggap sebagai penggerudukan, penyatronan, alih-alih upaya penegakan hukum.

“Penggerudukan” KPK menjadi sebuah antiklimaks, menjadi semacam blunder. Blunder itu berbuah dahsyat; distrust (ketidakpercayaan) masyarakat terhadap Polri meningkat tajam. Akal sehat masyarakat sukar untuk menerima bahwa Novel Baswedan akan ditangkap setelah delapan tahun kasus tersebut terjadi. Adalah Polri sendiri yang mengirimkan Novel ke KPK menjadi penyidik. Prestasi Novel pun tergelar jelas dalam menangani beberapa perkara korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh penting. Inspektur Jenderal DS yang diduga terlibat dalam kasus Simulator SIM, juga disidik oleh Novel.

Mengapa bisa kemudian Polri ingin menangkap Novel? Polri memang mengatakan ada bukti sahih, namun keluarga korban dalam kasus tersebut menyatakan bahwa mereka tak pernah melaporkan kasus itu dalam beberapa bulan belakangan ini. Tegakkan hukum meskipun langit akan runtuh, mungkin motto Polri, juga tak dapat diterima oleh masyarakat. Perasaan masyarakat mengatakan bahwa Polri mengkriminalisasi Novel karena terlalu berani dalam memeroses kasus yang melibatkan jenderal itu.

 Proses penyelamatan
Kritik masyarakat dan pidato Presiden SBY, mungkin membuat Polri tidak gembira. Tapi, alih-alih memikirkan serangan balik tahap berikutnya, atau daripada mengenyampingkan apa yang diperintahkan oleh SBY, atau dibanding mempertahankan terus ketegangan dengan KPK, lebih baik Polri memikirkan bagaimana membangun kembali kepercayaan publik kepada Polri. Petinggi Polri jangan sampai berpikir menyelamatkan orang, melainkan menyelamatkan organisasi. Dengan kata lain, mereka jangan sampai fokus kepada kekuasaan (dan kemudian mempertahankannya dengan segala cara, atau melakukan segala cara untuk meraih kekuasaan, yang berimplikasi kepada kuasa material), melainkan harus berpikir kepada bagaimana menyelamatkan kepolisian sebagai sebuah institusi.

Bagi publik sendiri, perubahan di tubuh Polri itu menjadi penting mengingat besarnya kekuasaan dan kewenangan yang diberikan oleh UU kepada Polri. Sedikit saja kewenangan itu disalahgunakan, maka muncul implikasi yang sangat besar kepada penegakan hak asasi manusia dalam arti luas. Korupsi sendiri sudah disebut sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), dan begitu polisi juga terlibat di dalamnya, maka rusak pula seluruh sistem penegakan hukum yang ada. Korupsi oleh polisi ibarat pagar makan tanaman.  

Perseteruan babak kedua antara Polri vs KPK ini, mesti menjadi pembelajaran penting. Kasus ini harus dijadikan semacam terminal keberangkatan menuju ke keterminal ketibaan dalam pembangunan negeri ini; kepolisian yang transparan dan akuntabel, yang bertindak atas dasar legalitas dan berlaku professional. Secara normatif, UU No.2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia relatif sudah memadai. Saat ini, tak perlu ada revisi atas UU tersebut untuk membuat polisi berubah. Penyelamatan harus difokuskan pada aspek nonhukum, yaitu aspek sumber daya manusia di dalam institusi Polri, pada proses, bukan semata pada hasil.  

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved