Opini

Runtuhnya Modal Sosial di Aceh

KEHIDUPAN sosial pascatsunami dan konflik di Aceh sudah mengkhawatirkan. Kehidupan sosial di Aceh saat ini bisa dikatakan sedang

Editor: bakri

KEHIDUPAN sosial pascatsunami dan konflik di Aceh sudah mengkhawatirkan. Kehidupan sosial di Aceh saat ini bisa dikatakan sedang mengalami sejumlah permasalasahan sosial. Mulai dari degradasi moral siswa, sampai runtuhnya nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan toleransi antar orang dewasa.

Sebelumnya, dalam banyak literatur sejarah Aceh disebutkan bahwa Aceh memiliki ciri khas dengan modal sosial yang hebat dalam bidang adat istiadat, pendidikan dan agama. Karena modal sosial yang hebat itu pula, Aceh selalu berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Pemerintah Indonesia “memayungi” modal sosial Aceh itu dengan sejumlah perundangan.

Awalnya konsep modal sosial ini dipopulerkan oleh Puyyman dan Fukuyama yang menaruh perhatian besar terhadap pembangunan masyarakat. Di Indonesia konsep yang aslinya social capital diterjemahkan oleh sebagian ahli sebagai modal sosial.

Menurut Hasbullah (2006 : 9-16), unsur-unsur pokok dari modal sosial adalah: Pertama, partisipasi dalam suatu jaringan masyarakat; Kedua, hubungan timbal balik (reciprocity); Ketiga, kepercayaan (trust); Keempat, norma-norma sosial; Kelima, nilai-nilai yang tertanam dalam masyarakat, dan; Keenam, tindakan yang proaktif.

Karena posisi Aceh yang hebat dengan modal sosial (social capital), ditambah dengan sikap “harga diri yang tinggi”. Menjadikan modal sosial sebagai salah satu senjata “memberontak” melawan ketidakadilan pemerintah pusat. Namun kondisi Aceh saat ini, bagi pemerintah pusat tidak memiliki hubungan yang timbal balik (reciprocity) dengan Aceh. Karena Aceh telah damai, dan kekuasaan hari ini berada pada diri orang Aceh.

 Bangsa teuleubeeh

Makanya, masyarakat Aceh dalam segala kelebihannya, selalu menganggap dirinya sebagai sebuah bangsa teuleubeeh, baik dari segi pemikiran, pendidikan dan nilai-nilai sosial. Dan modal sosial ditata dalam pengelolaan masyarakat yang bernilai tinggi.

Di Aceh dulunya, modal sosial menjadi perekat dalam bertoleransi. Norma agama, sosial dan pendidikan menjadi aspek penting dalam segala kebijakan warga desa. Jika sebuah keluarga membuat aksi yang melanggar norma agama di sebuah desa. Pasti akan ada modal sosial yang berperan untuk kemudian menjadi efek jera dan dipatuhi oleh semua warga. Dari setiap keputusan yang diambil para pemimpin desa.

Saat ini, beranjak dari berbagai fenomena sosial dari segi agama, adat istiadat dan pendidikan yang pernah dan sedang terjadi di Aceh. Terasa modal sosial (social capital) di Aceh sudah runtuh berkeping-keping dalam gilasan gelombang tsunami dan konflik.

Sejatinya, menurut Ife dan Tesoriero (2003:3) modal sosial berfungsi sebagai ‘perekat’ yang dapat menyatukan masyarakat dalam berhubungan antarmanusia, kewajiban sosial sesamanya, dan solidaritas sosial antarwarga.

Menurut Ife dan Tesoriero dengan adanya modal sosial dapat mengarahkan orang-orang untuk berbagi kekuasaan (power sharing) yang dilandasi oleh nilai-nilai dan norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat. Inilah yang menyakitkan bagi kita di Aceh hari ini. Seakan-akan kehidupan bermasyarakat di Aceh hari ini, sudah terlepas dari modal sosial.

Rasa solidaritas sesama warga, rasa empati dan rasa kepedulian sesama warga sudah diganti dengan rasa keangkuhan dengan basis ekonomi. Kehidupan di Aceh hari ini, akan dihormati, disegani dan dimuliakan bila kita memiliki modal ekonomi yang mapan/tinggi. Tidak lagi berpedoman pada modal sosial dengan prinsip, saling berbagi dan saling peduli.

 Degradasi moral
Sikap dan kecintaan orang Aceh terhadap ilmu sangat tinggi dari masa ke masa. Salah satu modal sosial dalam sektor pendidikan adalah sikap elegan untuk mewakafkan sebagian harta masyarakat di Aceh untuk bidang pendidikan. Makanya tak heran, karena kuatnya modal sosial dalam sektor pendidikan, banyak dayah dan sekolah di Aceh yang asal muasalnya adalah dibangun di atas tanah dari wakaf warga.

Namun yang terjadi hari ini, makin langka kita mendengar di Aceh ada wakaf untuk kepentingan pendidikan. Malah yang terjadi adalah sejumlah praktik penyengelan sekolah, tawuran dan degradasi moral peserta didik yang mulai terancam eksistensi tujuan pendidikan yang sebenarnya.

Hari ini, yang terjadi adalah pemimpin saja tidak diikuti seruannya oleh perserta didik dan warga. Bahkan bila ada isu yang negatif terhadap pemimpin langsung disulut oleh warga lainnya. Sehingga bermuara kepada sikap anarkis para pihak. Setiap muncul pencerahan atau ada gagasan baru di Aceh yang dimunculkan seorang pemimpin. Selalu yang duluan direspons adalah sikap saling curiga mencurigai.

Pada sisi yang lain, kondisi generasi masa depan Aceh yang mengalami degredasi moral semakin tajam. Membuat sendi-sendi kehidupan yang baik semakin sirna (modal sosial). Tatanan kehidupan yang semakin merosot ini dapat juga diartikan sebagai bentuk kegagalan kepemimpinan warga desa. Dalam membentuk keharmonisan kehidupan yang baik sesama warga dan elit.

Pemerintah ikut andil besar, dalam degredasi moral generasi bangsa. Hal ini bisa dilihat dalam implimentasi pendidikan nasional, hampir tidak memiliki karakter yang jelas untuk melahirkan kualitas generasi yang berbasis keilmuan dan moralitas.

 Reformasi kebablasan

Tidak heran kalau di era reformasi ini kita semua membiarkan perkembangan kebebasan dapat diterjemahkan masing-masing untuk kepentingan golongan masing-masing pula. Tidak ada lembaga yang bisa mengarahkan dan membimbing kepada kemaslahatan umat secara massif dan holistik. Justeru yang terjadi adalah reformasi kebablasan.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved