Opini

'Kangkang Style' Mengapa Dilarang

SEJUMLAH kebijakan pemerintah di Aceh kerap menarik perhatian dan mengundang sorotan masyarakat, baik di level lokal, nasional, bahkan dunia

Editor: bakri

SEJUMLAH kebijakan pemerintah di Aceh kerap menarik perhatian dan mengundang sorotan masyarakat, baik di level lokal, nasional, bahkan dunia internasional. Setelah kebijakan wajib mengenakan rok bagi perempuan, yang digagas dan diberlakukan oleh Pemkab Aceh Barat, tahun lalu. Belum lama ini, Pemko Lhokseumawe juga mengeluarkan satu aturan yang sasarannya lagi-lagi ditujukan untuk perempuan, yakni tidak boleh duduk mengangkang (kangkang style) atau duek pheng di atas sepeda motor. Mengapa?  

Idealnya sebuah kebijakan publik, menurut saya, sebuah produk regulasi (peraturan daerah) harus sesuai kebutuhan dan bisa diterima masyarakat, serta mampu memperbaiki kepentingan publik yang lebih holistik. Namun, dalam kesempatan ini saya ingin fokus dan hanya mencoba mencermati peraturan atau kebijakan yang melarang duduk mengangkang bagi perempuan yang berboncengan di atas sepeda motor oleh Pemko Lhokseumawe itu.

 Partisipatif
Kunci rasa kepemilikan dari sebuah produk peraturan, ketika masyarakat dilibatkan sepenuhnya mulai dari penjaringan aspirasi, perumusan, hingga melihat langsung proses pengesahan produk peraturan yang dibuat pelaksana negara yakni pemerintah melalui perwakilannya di pemerintahan. Intinya harus membuat mekanisme bottom up yang jelas melelahkan itu melibatkan partisipatif dari masyarakat banyak.

Direlasikan pada peraturan pelarangan duduk kangkang bagi kaum perempuan di atas sepeda motor memunculkan tanda tanya di benak penulis; Apakah lahirnya peraturan tersebut sudah melalui serangkaian ketentuan di atas? Jika tidak, maka nilai-nilai partisipatif tidak berjalan di Kota Lhokseumawe dalam melibatkan masyarakat untuk merumuskan sebuah peraturan.  

Memang tidak mudah mengklaim dan menghakimi, apakah peraturan larangan ngangkang itu sudah mempraktekan ketentuan partisipatif. Untuk itu harus jelas perangkat mengukur dan memahami lahirnya proses kebijakan itu sendiri dengan baik. Harus diingat partisipasi jangan dijadikan formalitas saja, tanpa berkomitmen serius memasukkan semua aspirasi masyarakat. Jangan sampai nanti dilabelisasikan peraturan larangan duek pheng di atas sepeda motor sudah melalui keterlibatan publik.

Menurut Surya Fermana dalam bukunya Kebijakan Publik (2009:38), semangat meng-input tuntutan masyarakat syarat mutlak membuat peraturan. Tidak berjalannya partisipasi dalam menjaring aspirasi masyarakat terhadap peraturan duduk kangkang, dikarenakan masih menganggap ancaman masukan serta kritikan yang konstruktif terhadap status quo kekuasaan serta kepentingannya di balik peraturan tersebut.

 Personal behavior
Teori kaum behavioris memiliki prinsip negara tidak boleh mengatur hal yang terkait dengan urusan personal masyarakatnya. Personal behavior hanya diatur oleh negara, bilamana menyangkut urusan keselamatan diri banyak orang dan publik pada umumnya. Kepentingan umum menurut pemikiran Plato, negara diposisikan sebagai lembaga yang dipercaya mengurus dan mengatur moralitas manusia (Schmid. 1965, hh. 26-31).

Logika dibangun Plato menganggap individu akan menjadi liar, bilamana tidak dikendalikan. Sejalan dengan pemikiran gurunya, Aristoteles. Ia mengatakan, pada dasarnya berpendapat sama mengenai kekuasaan negara atas individu. Bagi keduanya, kekuasaan negara atas individu diperlukan untuk menegakan moral. Disinilah negara mendidik warganya.

Disinilah terjadi perdebatan antara setuju dan tidak setuju negara melakukan intervensi urusan perilaku warganya/masyarakatnya. Menurut penulis, negara bisa melakukan intervensi, apabila nilai-nilai penjaringan partisipasi menjadi pertimbangan logis dalam merumuskan serta mengambil keputusan. Sehingga keputusan lahir menjadi rasa kepemilikan dan sepenuhnya dijalankan dengan penuh tanggung jawab.

Oleh karena itu kaum behavior pasti bertanya apakah peraturan duduk ngangkang di sepeda motor menjadi kebutuhan publik? Jika benar, justifikasinya berlandaskan apa? Selanjutnya apakah telah mempertimbangkan reaksi publik. Ketika tidak dipertimbangkan reaksi publik membuat peraturan, maka berpotensi stabilitas sosial akan membuat bagaikan bola salju yang tak terkontrol jalannya, manakala tetap diberlakukan peraturan tersebut. Jangan sampai publik menilai pemberlakuan peraturan dilarang duduk kangkang cara berkelit dari ketidakmampuan menyediakan pelayanan publik (dasar).

Ketika ditanyakan posisi pemikiran penulis menyikapi peraturan tentang duduk mengangkang yang dibuat Pemko Lhokseumawe setuju saja diterapkan, tetapi harus menjadi kebutuhan dasar dari perempuan di Lhokseumawe. Jika tidak, maka pemerintah sengaja memaksakan keinginan di atas sebuah pembenaran yang menurut mereka benar.

Sejalan dengan pemikiran Purwo Santoso di atas, Puspa Dewi (Koordinator Program Solidaritas Perempuan) mengatakan, jangan selalu menjual atas nama kepentingan perempuan padahal mendiskriminasikannya, seharusnya ditanyakan kedua belah pihak yakni perempuan itu sendiri (wawancara, 6/1/2013).

 Keamanan personal
Hal yang harus diperhatikan peraturan duduk kangkang dibuat Pemko Lhokseumawe perlu menilai kemaslahatan dari segi keamanan personal, begitu menurut Imam Syuja’. Ia menambahkan, “Peraturan itu bukan syariah, tetapi terkait urusan etika atau karakter manusia” (wawancara, 6/1/2013). Diperkuat lagi dari hasil diskusi penulis dengan Al Yasa’ Abubakar mantan Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh (wawancara, 6/1/2013), ia mengatakan peraturan itu terkait bagaimana bernegara, jika dikaitkan dengan syariah terlalu jauh.

Al Yasa’ Abubakar menegaskan, peraturan itu apakah bertentangan atau tidak harus dikaji ulang lagi. Dari sisi lain peraturan harus humanis jangan sebaliknya memarginalkan. Penulis sepakat pada pemikiran Imam Syuja’ lainnya, kalau lebih banyak kebaikannya silakan saja, tetapi ketika lebih banyak keburukannya jangan diimplementasikan.

Penjelasannya secara logika keamanan, ketika menggunakan rok harus ekstra berhati-hati, bahkan banyak kasus kejadian jatuh perempuan disebabkan tersangkut rantai dan robek. Tidak sampai disitu saja, bahkan membuka aurat perempuan ketika tersangkut di rantai. Secara penggunaan kendaraan tidak mungkin kaum perempuan duduk menyamping ketika berkendara sepeda motor. Lantas, bagaimana cara perempuan ketika melakukan mobile (aktivitas) pekerjaan? Prinsipnya, yaitu etika tetap ditegakan ketika tidak menggunakan sepeda motor, tetapi setelah itu perempuan pasti akan memperhatikan cara duduknya.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved