Opini
Kapan Ilmuwan Indonesia Bisa Meraih Nobel?
Namun dari Indonesia, hingga kini belum pernah ada satupun nama. Pertanyaannya, kapan ilmuwan Indonesia bisa berdiri di panggung Nobel
Dr Ir Dandi Bachtiar MSc, Dosen di Departemen Teknik Mesin dan Industri, Universitas Syiah Kuala (USK)
SETIAP awal Oktober, dunia seakan berhenti sejenak untuk menantikan pengumuman pemenang hadiah Nobel-- penghargaan paling prestisius bagi ilmu pengetahuan, sastra, dan perdamaian dunia. Dari Stockholm dan Oslo, nama-nama besar diumumkan dan segera menjadi berita utama global. Namun dari Indonesia, hingga kini belum pernah ada satupun nama yang disebut. Pertanyaannya, kapan ilmuwan Indonesia bisa berdiri di panggung Nobel?Pertanyaan ini bukan sekadar soal gengsi, tetapi tentang pengakuan global atas kapasitas bangsa dalam melahirkan ilmu pengetahuan yang mengubah dunia. Sebab sejatinya, penghargaan Nobel bukan hanya simbol kecerdasan individu, melainkan cermin dari kematangan ekosistem riset suatu negara.
Menariknya, jika kita menelusuri sejarah, tanah Indonesia sesungguhnya sudah dua kali menjadi tempat lahirnya riset yang berujung Nobel, meski penerimanya bukan warga negara Indonesia. Fakta ini jarang disadari publik-- bahwa dari Batavia dan sekolah-sekolah Inpres di pelosok negeri, dunia memperoleh dua sumbangan pengetahuan besar yang diakui oleh Komite Nobel.
Kisah pertama datang dari Christiaan Eijkman, dokter militer Belanda yang bertugas di Batavia pada akhir abad ke-19. Saat itu, penyakit beri-beri menjadi wabah yang menakutkan di kalangan tentara dan masyarakat. Banyak yang mengira penyebabnya adalah infeksi tropis atau racun makanan. Namun Eijkman, dengan kepekaan ilmiah yang tajam, menaruh kecurigaan pada sesuatu yang lebih sederhana: beras. Dalam eksperimen sederhana di rumah sakit militer, ia mendapati bahwa ayam yang diberi makan nasi putih giling jatuh sakit, sementara ayam yang memakan nasi kasar tetap sehat. Dari situ ia menyimpulkan bahwa proses penggilingan padi menghilangkan zat penting yang dibutuhkan tubuh. Zat misterius itu kelak dikenal sebagai vitamin B1 (tiamin).
Temuan tersebut mengubah arah kedokteran dunia dan menjadi dasar lahirnya ilmu gizi modern. Pada tahun 1929, Eijkman dianugerahi Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran, bersama Frederick Hopkins. Meski ia berkebangsaan Belanda, sejarah mencatat bahwa penelitiannya dilakukan sepenuhnya di Hindia Belanda, di laboratorium sederhana di Batavia — di tanah yang kini bernama Indonesia. Dari sinilah dunia belajar bahwa kekurangan vitamin bisa menimbulkan penyakit, bukan semata infeksi.
Eksperimen kemiskinan
Delapan dekade kemudian, kisah serupa terulang, kali ini dalam ranah ekonomi pembangunan. Pada tahun 2019, Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer meraih Hadiah Nobel Ekonomi atas kontribusi mereka dalam mengembangkan pendekatan eksperimental untuk mengurangi kemiskinan global. Salah satu riset lapangan penting mereka dilakukan di Indonesia, meneliti program Sekolah Dasar Inpres yang dibangun secara besar-besaran pada era 1970-an.
Dengan menggunakan metode randomized controlled trial (RCT), mereka menunjukkan bagaimana pembangunan sekolah dasar berkontribusi besar terhadap peningkatan kesejahteraan jangka panjang dan mobilitas sosial antargenerasi. Penelitian itu menjadi salah satu studi kunci yang memperkuat pendekatan empiris mereka: bahwa kebijakan publik seharusnya diuji dengan data nyata, bukan hanya asumsi. Eksperimen pendidikan di Indonesia menjadi bagian integral dari riset yang akhirnya membawa mereka meraih Nobel Ekonomi 2019.
Dari Batavia hingga SD Inpres, tanah Indonesia dua kali menjadi laboratorium pengetahuan global. Namun ironisnya, pengakuan tertinggi itu justru diraih oleh ilmuwan asing yang meneliti di sini. Pertanyaan besar pun muncul: mengapa Indonesia, dengan populasi besar dan sumber daya alam yang melimpah, belum juga melahirkan penerima Nobel sendiri?
Salah satu jawabannya terletak pada struktur dan budaya riset nasional yang belum matang. Pendanaan penelitian di Indonesia masih di bawah 0,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh tertinggal dari Jepang (3,2 persen ) atau Korea Selatan (4,9 persen ). Banyak riset berhenti di proposal atau laporan akhir karena minimnya dukungan jangka panjang.
Selain itu, lembaga riset sering kali terjebak dalam perubahan struktur birokrasi yang tidak memberi ruang kesinambungan. Kebijakan riset berganti seiring pergantian pejabat, dan orientasi penelitian kerap mengikuti proyek, bukan visi ilmiah yang konsisten. Ada pula persoalan budaya ilmiah. Di banyak institusi, publikasi atau kenaikan jabatan sering lebih dihargai daripada curiosity-driven research — penelitian murni yang mengejar jawaban dari pertanyaan mendasar. Padahal, penemuan besar yang diganjar Nobel biasanya lahir dari eksplorasi panjang, bukan dari penelitian jangka pendek yang menyesuaikan tenggat laporan tahunan.
Namun tidak semua suram. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah ilmuwan Indonesia mulai menunjukkan kiprah di panggung global. Universitas Stanford, misalnya, setiap tahun merilis daftar “2 % Top Scientists in the World”--kumpulan ilmuwan dengan pengaruh publikasi tertinggi di bidangnya. Dalam edisi terbaru, puluhan nama ilmuwan Indonesia masuk dalam daftar tersebut, baik yang bekerja di dalam negeri maupun diaspora. Sebagian bahkan dari universitas di Aceh.
Mereka datang dari berbagai bidang: material sains, bioteknologi, teknik kimia, lingkungan, hingga ilmu komputer. Beberapa di antaranya bahkan menjadi pionir riset berkelas dunia — dari pengembangan bahan komposit, teknologi energi bersih, hingga kecerdasan buatan. Ini menunjukkan bahwa kapasitas intelektual Indonesia sudah berada di jalur yang benar. Yang dibutuhkan kini adalah ekosistem yang menumbuhkan keberanian ilmuwan untuk menembus batas pengetahuan, bukan sekadar memenuhi indikator administratif.
Ekosistem nobel
Untuk melahirkan peraih Nobel, sebuah bangsa memerlukan kombinasi antara ilmu, kebebasan, dan keberlanjutan. Pertama, perlu ada pendanaan riset yang stabil dan besar, agar peneliti tidak sibuk mencari proyek, tetapi fokus meneliti. Kedua, kebebasan akademik harus dijaga, karena penemuan besar sering kali lahir dari ide yang awalnya dianggap “gila” atau bertentangan dengan arus utama. Ketiga, budaya ilmiah perlu dihidupkan kembali — menghargai kejujuran data, kerja kolaboratif, dan ketekunan intelektual.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.