Opini

Memaknai 'Kangkang Style'

SETIAP peraturan yang dibuat tentu ada maksud dan tujuan tersendiri bagi si pembuat kebijakan. Larangan untuk duduk mengangkang saat berboncengan

Editor: bakri

SETIAP peraturan yang dibuat tentu ada maksud dan tujuan tersendiri bagi si pembuat kebijakan. Larangan untuk duduk mengangkang saat berboncengan mungkin juga untuk menghormati kaum hawa. Perempuan sebagai perhiasan dunia sudah mesti dijaga kehormatannya. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Suaidi Yahya, Walikota Lhokseumawe, tak berselang jauh dengan tragedi yang bergejolak di India.

Tragedi perkosaan dan penganiayaan mahasiswi di dalam bus itu sungguh sangat merendahkan martabat kaum perempuan. Mereka jadi terkekang untuk keluar melakukan aktifitas sehari-hari mereka. Beragam aksi dan protes bermunculan dari warga India. Bahkan, pemerintahnya sendiri turut berperan untuk menjaga hak-hak perempuan.

Pengalaman di atas merupakan pelajaran yang berharga bagi kita semua. Peristiwa seperti itu tak dapat diobati bila sudah terjadi. Hanya dapat dicegah sebelum terjadi. Satu upaya pencegahan adalah dengan pelestarian busana islami dan gaya hidup. Jika pakaian yang tidak sesuai dengan syariat sudah ditinggalkan, niscaya nafsu jahat tidak akan mudah terpancing. Maka pakaian yang sopan merupakan busana yang telah diatur secara khusus dalam Islam. Hal-hal kecil seperti memakai dan melepaskan pakaian saja ada doa dan aturannya. Mereka tidak akan terlihat kurang sopan, sekalipun jika perempuan duduk mengangkang saat berboncengan.  

Coba lihat, bagaimana jika pengendara sepeda motor itu perempuan? Bukankah mereka juga duduk mengangkang saat berkendara? Sungguh mustahil untuk menghindarinya. Kenyamanan dan keselamatan merupakan hal utama yang harus diperhatikan. Risiko kecelakaan lebih kecil dibandingkan dengan duduk menyamping dalam kondisi tertentu. Yang menjadi masalah di sini bukan dari cara duduk mengangkangnya saat berboncengan. Melainkan bagaimana busana yang dikenakan saat duduk mengangkang berboncengan. Dengan siapa perempuan itu berboncengan. Dan lihat juga kondisinya ketika mengangkang. Mungkin ada hal-hal tertentu yang membuat perempuan untuk tidak duduk menyamping.

Di Malaysia sendiri yang juga memberlakukan syariat Islam, dilarang duduk menyamping. Hal itu terlihat dengan jelas dari perilaku mahasiswi Malaysia yang berada di Aceh, khususnya yang kuliah di IAIN Ar-Raniry. Saat bepergian mereka tetap duduk mengangkang. Tapi (maaf), aurat mereka tetap terjaga dengan busana yang mereka kenakan. Cukup mengesankan. Keselamatan iya, syari’at tidak dinomor duakan.

 Peluang desainer
Peluang emas terbuka lebar bagi desainer (perancang) pakaian. Syari’at Islam tidak mempersulit mereka untuk menciptakan fashion yang modern. Justeru, desainer bisa memunculkan fashion-fashion yang islami namun tetap tak ketinggalan zaman. Ketajaman naluri seorang perancang busana tentu mampu memproduksi pakaian-pakaian yang berkualitas sesuai dengan situasi dan kondisi konsumen (pemakainya).

Seorang desainer yang professional mampu melihat apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh pengguna pakaian. Pakaian tak hanya sebatas penutup aurat saja. Pakaian juga bisa menjadi hiasan. Karena dengan berpakaian penampilan pun jadi lebih menawan. Tren yang selalu berubah-ubah juga sangat berpengaruh pada gaya hidup, khususnya pada cara berpakaian. Tabiat manusia yang mudah jenuh dan tak pernah puas cenderung melahirkan hal-hal baru yang bertentangan. Oleh sebab itu, tak jarang selera pribadi perorangan ditularkan melalui gaya hidup yang ditampilkan di televisi.

Budaya dan adat setempat harus sangat diperhatikan oleh desainer. Terlebih lagi jika daerah itu memiliki aturan khusus dalam hal berpakaian. Jadi, para desainer sudah tentu harus lebih kreatif dan inovatif dalam merancang pakaian modern yang islami. Tak perlu banyak meniru gaya mereka yang di Barat. Jika kita yang di Timur mampu berpenampilan lebih sopan dan beradab, mengapa kita mesti malu dengan identitas kita.

Patut diangkat jempol buat seorang ‘besar’ yang mau memikirkan keadaan umat yang tengah dilanda krisis moral keislamannya. Pelanggaran-pelanggaran syariat yang telah menjadi hal biasa telah mampu mengetuk pintu hati pak walikota. Dengan adanya masalah tersebut, maka muncul pula niat untuk menyelesaikannya. Dan dari niat itu pula muncul berbagai planning dan strategi bahkan sampai pada kebijakan (Perda) yang akan diberlakukan.

Aceh yang dikenal sebagai Serambi Mekkah juga bumi Syariat Islam tentu akan sangat memalukan jika hal tersebut bertentangan dengan realita. Berbagai macam upaya yang dilakukan untuk menerapkan sistem hukum berbasis Islam hingga terwujud. Namun setelah itu, apakah syariat Islam hanya sebagai symbol untuk dibangga-banggakan? Siapa yang berkewajiban untuk terus melestarikannya? Jika masih ada rasa malu di dalam dada, maka dia beriman seperti disebukan dalam sebuah hadis “malu itu sebagian dari iman.”

Terlepas dari niat dan rencana yang ingin diwujudkan, sudah sesuaikah teknik dan cara penerapannya? Banyak jalan menuju Roma. Mungkin ada yang menempuhnya melalui jalur udara, air, bahkan udara. Namun, akan berbeda pengalaman yang mereka alami. Pada akhirnya mereka sampai pada tempat yang dituju.

 Banyak yang melanggar
Begitu juga dengan syariat Islam, masih banyak yang melanggar. Khususnya pada perempuan yang memakai baju ketat. Namun banyak cara untuk menghilangkan pelanggaran yang terjadi. Hanya saja  kesalahpahaman memaknai Islam juga memperlemah posisi Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan penuh toleransi (Serambi, opini; Ramli Abdullah). Dari segi ini pula musuh-musuh Islam “menyerang” Islam dengan mudah melalui propagandanya yang licik.Memakai baju ketat saja sudah memperlihatkan lekuk tubuh, apalagi jika perempuan duduk mengangkang.

Maksud dari Pemko Lhokseumawe mungkin baik. Tak boleh duduk mengangkang agar berefek pada pakaian yang islami seperti penggunaan rok. Pernyataan dari Guru Besar Ilmu Fiqh Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Al Yasa Abubakar sendiri seperti yang termuat dalam media acehkita.com (2/1/2013), tidak ada aturan perempuan harus memamai rok dan lelaki memakai celana. Yang tidak boleh memakai pakaian ketat yang menampakkan lekuk tubuhnya.

Penulis berpikir, jika yang ingin dicegah adalah pemakaian baju ketat, maka yang harus dicegah terlebih dulu adalah penjualan baju ketat (yang dapat mengumbar aurat). Sebelum melarang penjualan pakaian ketat, maka hentikan juga terlebih dulu segala bentuk produksi dan distribusi pakaian non-islami ke Aceh.

Dengan begitu, para pedagang pakaian tidak menjual-belikan pakaian yang melanggar syari’at Islam di Aceh. Para konsumen pun (pembeli) tak menemukan pakaian yang terlarang dalam Islam di toko-toko pakaian. Pakaian yang diperjual-belikan hanyalah yang mempunyai standar pakaian islami saja, yaitu menutup aurat. Jadi, stop produksi, baru stop konsumsi!

* Ma’rif Maulidil Chamis, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: mc_marif@yahoo.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved