Opini
Birokrasi 'Dagang Sap' ala Aceh
KONTROVERSIAL, konyol, dan melecehkan nalar publik. Parodi yang tidak lucu dipertontonkan oleh pemerintah Aceh dalam proyek bagi-bagi jabatan
KONTROVERSIAL, konyol, dan melecehkan nalar publik. Parodi yang tidak lucu dipertontonkan oleh pemerintah Aceh dalam proyek bagi-bagi jabatan berbungkus mutasi beberapa waktu yang lalu. Aroma tak sedap pun berhembus kencang menyengat hidung publik Aceh. Satu demi satu fakta keanehan dan keganjilan terkuak ke permukaan, mencoreng wajah pemerintahan Zikir yang baru seumur jagung.
Bisa jadi inilah kobobrokan paling menyolok dalam sejarah birokrasi di Aceh. Tidak pernah terjadi sebelumnya mutasi yang begitu kontroversial, vulgar, sarat aroma korupsi, kolusi dan nepotisme hingga mengundang keprihatinan massif masyarakat Aceh selain yang terjadi pada masa kepemimpinan Doto Zaini ini. Dengan terang benderang publik Aceh disuguhi tontonan betapa birahi kuasa, harta, dan tahta bisa membuat pakem dan aturan main yang sudah baku, yang dirancang sedemikian rupa demi kebaikan sistem menjadi lumpuh tak berdaya, tunduk di bawah kaki segelintir oknum kroni penguasa dan birokrat bermental korup yang sama-sama haus tampok dan tumpok.
Kontroversi ini tak pelak membuat rakyat Aceh yang sempat menaruh harapan besar pada janji-janji reformasi birokrasi Gubernur Zaini, menjadi muak dan kecewa. Masih terekam kuat dalam memori publik Aceh bagaimana dalam beberapa kesempatan dan forum Gubernur Zaini menyuarakan komitmennya untuk mewujudkan good governance dan clean government di Aceh, namun nyatanya tidak lama berselang dalam mutasi pejabat strukural tersebut, mereka langsung melihat inkonsistensi pemerintah baru Aceh ini. Tidak mengejutkan jika kemudian komentar berantai, himbauan, dan seruan dari berbagai elemen masyarakat bermunculan di halaman-halaman media, tumpah ruah sebagai ekspresi kekecewaan atas bobroknya manajemen birokrasi pemerintahan di Aceh.
Praktik siluman
Hasil penelusuran Gerak Aceh menemukan cukup banyak informasi yang mengindikasikan praktik siluman dan kongkalikong dalam mutasi pejabat di lingkungan pemerintahan Aceh tersebut. Indikasi yang ditemukan adalah praktik-praktik percaloan, melibatkan aktor-aktor yang mengaku bisa menjadi perantara dan dapat membantu menempatkan para oknum PNS pada posisi dan jabatan yang mereka inginkan, dengan membayar sejumlah uang yang besarannya bervariasi sesuai dengan level jabatan yang disasar.
Disebut-sebut angka puluhan hingga ratusan juta rupiah harus disetor sebagai uang balas jasa. Juga ada informasi soal semacam “kontrak” tidak tertulis tentang masa waktu dan besaran “ongkos” yang diikuti “aturan main” tentang kewajiban menyetor “upeti” dengan besaran yang telah disepakati selama si oknum PNS menduduki jabatan hasil kongkalingkong tersebut. Jadi kalau si oknum PNS menduduki jabatan selama 2 tahun, misalnya, maka selama itu pula ia harus bersedia menjadi “ATM berjalan” sebagai harga atas jabatan yang diperolehnya.
Informasi lain yang juga ditemukan adalah terkait praktek nepotisme. Ada indikasi kuat elite-elite pejabat di lingkungan pemerintah Aceh terlibat di dalamnya. Modusnya adalah dengan mengintervensi langsung proses mutasi dengan menempatkan atau lebih tepatnya menyisipkan, kerabat dan orang-orang dekatnya di jabatan strutural tertentu, dengan memanfaatkan kedekatannya dengan pusat kekuasaan.
Faktor pendopo connection ini tampaknya telah menjadi jalur tol bagi elite-elite pejabat ini untuk menerobos rambu-rambu. Salah satunya adalah mutasi PNS berinisial Rmz. Sebelum dilantik yang bersangkutan adalah staf di Inspektorat Aceh, lalu dalam daftar mutasi tersebut diplot sebagai Kasubid Pengembangan Kualitas SDM, Keistemewaan Aceh dan Kebudayaan pada Bidang Perencanaan Pembangunan Keistemewaan dan SDM (P2KSDM). Ternyata ia kemudian ditempatkan sebagai Kasubid Litbang di Bidang Penelitian Pengembangan dan Evaluasi Pembangunan (P2EP).
Keanehan senada juga terjadi pada penempatan pejabat yang terlibat kasus mesum berinisial MU di Badan Dayah dan penempatan dua penjabat berinisial RP dan Z pada satu jabatan Kabid di Dishubkominfo. Lebih parahnya lagi, penempatan pejabat pada kedua kasus ini sama sekali tidak diketahui oleh kepala kedua SKPA terkait. Seperti yang dikutip Serambi, 9/2/2013, mereka mengaku tidak tahu menahu ihwal dan perihal penempatan personel-personel pejabat di lingkup dinas dan badan yang mereka pimpin, bahkan ada yang samasekali berbeda dari yang mereka usulkan.
Ini artinya posisi dan kewenangan tertinggi mereka sebagai kepala dinas dan badan secara arogan telah dilangkahi oleh manuver-manuver dari berbagai kepentingan yang menjadikan SKPA-SKPA yang mereka pimpin sebagai “lahan garapan”. Dilihat dari etika birokrasi ini jelas-jelas kelancangan serius yang sangat tidak bisa ditolerir dengan alasan apapun, bahkan jika seandainya direstui oleh penguasa sekalipun karena implikasinya dapat menyebabkan pembusukan birokrasi secara keseruhan, dan seperti yang kita lihat memang sudah terjadi.
Atas berbagai kecurangan ini, maka secara teknis tentu tidak bisa tidak Kepala Badan Kepegawaian Pelatihan dan Pendidikan (BKPP) Aceh adalah orang yang paling bertanggung-jawab terhadap kekacauan dalam proses mutasi ini. Sejauh ini yang bersangkutan memang telah menyampaikan klarifikasi, namun pernyataannya tidak lebih sebagai upaya menetralisir situasi dengan mencoba mengesankan kepada publik bahwa keanehan dan kekacauan dalam proses mutasi tersebut semata-mata sebagai kesilapan yang tidak perlu diributkan dan diperpanjang masalahnya.
Bola liar
Dari beberapa keganjilan yang terungkap di media, mulai dari orang yang sudah meninggal masuk dalam daftar mutasi, PNS terlibat kasus mesum mendapat jabatan, penempatan dua pejabat pada satu jabatan, penepatan jabatan yang tidak sesuai dengan yang tertulis di daftar mutasi, dan berbagai keganjilan lainnya yang sangat mungkin belum terkuak, mengindikasikan bahwa daftar mutasi tersebut adalah bola liar yang bahkan masih liar sampai detik-detik menjelang pelantikan di Anjong Mon Mata. Jadi berbagai keanehan dan kekonyolan yang terjadi dalam mutasi tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah akibat perubahan-perubahan dadakan karena tekanan berbagai kepentingan yang masih bergerilya, melakukan deal-deal, dan memperebutkan tampok sampai detik-detik pelantikan.
Jika dilihat secara lebih luas dari perspektif sistem, sebenarnya ini bukan hanya sekadar kesalahan sekumpulan individu, tapi juga merupakan kesalahan sistem. Korupsi individu-individu tersebut dapat terjadi sesungguhnya disebabkan oleh karena tidak bekerjanya sistem dengan segenap perangkat kontrol yang dimiliknya.
Oleh karena itu permasalahan terkait mutasi ini tidak cukup hanya dilihat pada level teknis pelaksanaan yang tupoksinya ada di BKPP sehingga konsekuensinya otomatis menjadi beban tanggung jawab kepala BKPP, tetapi juga sampai pada level kewenangan administratif yang lebih tinggi yang dalam hal ini ada di tangan Sekda, dan secara moral pada level Gubernur sebagai kepala pemerintahan yang melantik 422 pejabat struktural tersebut.
Sekda harus ikut bertanggung-jawab baik sebagai kepala Baperjakat maupun sebagai pejabat pembina kepegawaian yang berwenang menandatangani semua SK mutasi pegawai bawahannya. Sementara gubernur, tentu ini terkait dengan konsekuensi moral beliau sebagai pemimpin. Jika beliau tidak mengambil langkah-langkah konkret mengamputasi praktik-praktik korup dalam mutasi ini maka sama artinya beliau menciptakan dan memelihara kebobrokan birokrasi pemerintahan di Aceh; sama saja beliau membiarkan birokrasi Aceh disodomi oleh birahi liar kepentingan kroni-kroni yang justru merusak citra pemerintahan beliau, dan pejabat-pejabat korup yang sudah semestinya telinga mereka dijewer karena telah melecehkan di hadapan rakyat Aceh komitmen beliau mereformasi birokrasi, mewujudkan good governance dan clean government di Aceh.
* Askhalani, Koordinator Gerak Aceh. Email: ascalani@yahoo.com