Citizen Reporter
Asam Sunti 'Made in' Kedah
AWALNYA saya mengira tradisi membuat asam sunti hanya ada di Aceh. Tapi perkiraan saya meleset ketika hari Sabtu lalu
AWALNYA saya mengira tradisi membuat asam sunti hanya ada di Aceh. Tapi perkiraan saya meleset ketika hari Sabtu lalu saya melawat ke Kampung Aceh, Yan Kedah, Malaysia, untuk kali ketiga. Seperti lawatan yang pertama tahun lalu, kali ini pun saya pergi bersama Prof Dr Merza Abbas, pria berdarah Aceh yang kini menjabat Direktur Pusat Teknologi Pendidikan dan Multimedia Universiti Sains Malaysia (USM).
Prof Merza yang doyan nasi kandar ini adalah generasi keempat keturunan Aceh dari Kampung Aceh, Yan di Kedah. Dalam rombongan kami ikut juga Tgk Umar Rafsanjani, Ismul Huda, dan Asnawi Muslem yang saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di Malaysia.
Perjalanan dari Kampus USM ke Kampung Aceh ini kami tempuh dalam waktu satu jam dengan mengendarai mobil pribadi. Setiba di daerah Merbok, kami berhenti untuk sarapan. Prof Merza mengajak kami ke sebuah warung yang biasanya menyajikan kari bebek ala Aceh dan timphan (lepat khas Aceh). Tapi sayang, kedua jenis kuliner tersebut tak tersedia pada hari itu. Pemilik warung tersebut merupakan orang Melayu setempat, namun kedua mertuanya berasal dari Indrapuri, Aceh Besar. Istrinya tak pandai bercakap Aceh, tapi adiknya yang laki-laki sangat fasih. Soalnya, sang adik pernah nyantri sepuluh tahun di Dayah Istiqamatuddin Darul Mu’arrif (Dayah Abu Amad Mamplam Golek), Lam Ateuk, Aceh Besar.
Sebelum masuk ke Kampung Aceh, kami jumpai beberapa kawasan yang diberi lakab khas Aceh, misalnya, Titi Bakong. Tak jauh dari kawasan ini terdapat pula satu sekolah yang didirikan orang Aceh. Di papan namanya terbaca jelas: Sekolah Kebangsaan Haji Nyak Gam.
Ketika mengarah ke Kampung Aceh, hanya beberapa ratus meter dari jalan utama, kami dapati sebuah rumah besar dan megah, lengkap dengan nama pemiliknya yang terpahat indah di depan. Rumah itu milik Nyak Maon bin Teuku Muhammad. Istrinya, Ramlah binti Said, merupakan orang kaya Aceh dan dermawan. Kedua mereka telah tiada. Rumah itu sekarang diwarisi oleh anak-anak mereka.
Selepas melewati rumah megah itu dan melampaui satu-dua perkampungan, barulah kami memasuki Kampung Aceh. Di sisi kiri-kanan jalan menuju kampung ini, tumbuh subur dan rindang aneka pepohonan. Pohon durian dan rambutan tampak mendominasi, namun pohon belimbing sayur atau belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) sebagai trade mark Aceh juga banyak terlihat.
Bahkan, di halaman rumah sejumlah penduduk, kami saksikan belimbing yang dijemur, sebagai tahapan dalam proses pembuatan asam sunti. Suasananya sungguh Aceh banget.
Belimbing yang berasa sangat masam ini kalau di Aceh seringnya diolah menjadi asam sunti, sebagai bumbu untuk masakan tertentu. Misalnya untuk gulai atau sambal keumamah (ikan kayu), asam keu’ueng (asam pedas), sambal ikan asin batokok, termasuk menjadi bumbu andalan ayam goreng sehingga bercita rasa khas Aceh.
Lidah orang Aceh sangat familiar dengan asam sunti ini, sehingga tidak jarang saat hendak berhaji ke Mekkah pun banyak di antara jamaah yang “menyelipkan” asam sunti di dalam tasnya.
Saya kira, asam sunti made in Kedah ini pun dibikin untuk tujuan yang sama, yakni untuk memenuhi selera khas komunitas Aceh di Kedah.
Mobil kami terus meluncur dan masuk ke Kompleks KAMC (Kampung Aceh Management Center). KAMC adalah sebuah kompleks yang sangat representatif dijadikan tempat pelatihan atau ragam kegiatan lainnya. Ruang dan fasilitas belajar, akomodasi, dan lainnya sungguh memenuhi kriteria sarana homestay dan pendidikan yang modern. Di KAMC, kami disambut ramah oleh beberapa tokoh setempat, di antaranya: Cekgu Rahman, Teuku A Malik, dan Jasni Gani.
Banyak hal lain yang memberi kesan mendalam bagi kami. Pendek kata, berkunjung ke Kampung Aceh kali ini, kami seakan sedang berada di Nanggroe. Sebab, seluruh penduduknya bertutur dalam bahasa Aceh. Adat-istiadat dan budaya masyarakatnya secara umum masih sangat kental dimensi Acehnya. Demikian pula masakannya. Tak jarang asam sunti dijadikan bumbu penyedap dalam masakan mereka sehari-hari agar makan terasa lebih nikmat.
Bagi mereka, budaya Aceh adalah budaya superior, sehingga menjadi orang Aceh merupakan sebuah kehormatan yang patut disyukuri. Semoga orang Aceh yang berada di Nanggroe pun memiliki pandangan yang sama terhadap budayanya.
[email penulis: bustamiabubakar@gmail.com]
* Bila Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas Anda ke email: redaksi@serambinews.com