Cerpen
Kohler dan Celaka Tiga Belas
Laut hanya berombak kecil. Angin seakan-akan berhenti. Seekor burung yang aku tidak tahu namanya
Karya Teuku Mukhlis
UDARA pagi itu cerah. Laut hanya berombak kecil. Angin seakan-akan berhenti. Seekor burung yang aku tidak tahu namanya tampak bersembunyi di balik nyiur sambil sesekali membenamkan kepalanya agar tidak terkena tembakan salah alamat. Sementara peluru-peluru berdesing, belasan sekoci dan dua stoombarkas (kapal uap) yang mengangkut para perwira menengah dan prajurit dengan gegas menuju bibir pantai.
“Werker! Segera merapat ke pantai,” perintahnya. “Baik, Tuan Kohler.”
Sekoci pun segera menuju Pantai Cermin. Diikuti oleh sekoci-sekoci lain. Pantai Cermin hanya berjarak beberapa ratus meter lagi, dan tiba-tiba runtunan peluru muncul dari balik benteng. Aku terkesiap dan hampir saja melompati dinding kapal jika tidak segera disadarkan oleh seorang kopral yang sejak tadi tidak melepaskan pandangan ke arahku.
“Berpencar!” perintah Kohler pada sekoci lain. “Lepaskan tembakan! Serang!”
Sekoci yang mengangkut senjata berat memuntahkan tembakan ke arah benteng. Prajurit-prajurit lain membidik senapan mereka untuk mencari sesosok tubuh yang merayap dan bersembunyi di antara dinding-dinding benteng. Aku hanya membidik saja, tidak melepaskan tembakan karena aku tidak melihat seorang pun di sana. Setetes keringat melewati bibirku yang tertutup rapat, dan kuseka dengan ujung lidah sehingga aku merasakan sesuatu yang asin.
Melihat serangan tiba-tiba dari balik benteng, Kapal Siak dan Broonbeek kembali membombardir Pantai Cermin. Bantuan meriam juga datang dari Kapal Djambi dan Coehoorn. Ledakan-ledakan besar terdengar. Beberapa tubuh terlempar.
“Yaaaaaa, bagus! Mampus kau!” teriak Kohler. “Cepat! Serang lagi! Binkes, bawa beberapa pasukan ke arah timur.”
“Siap, Tuan!” Kolonel Binkes menunjuk beberapa prajurit agar ikut bersamanya. Ketika pasukan yang dibawa Binkes mencoba menerobos Pantai Cermin, mereka dihadang oleh puluhan musuh dengan menggunakan kelewang.
“Kurang ajar! Ayo, prajurit! Tumpas mereka semua!” ujar Binkes memberi semangat prajuritnya yang sudah kewalahan.
“Mereka terlalu dekat, Tuan. Dengan apa kita menyerang mereka?” tanya seorang prajuritnya yang tampak gamang. Itu adalah kopral yang berada di sampingku tadi. Aku lupa menanyakan namanya.
“Setan! Apa kau pikir Kerajaan Belanda tidak mempersenjataimu dengan bayonet? Gunakan bayonetmu itu, tolol!” bentak Binkes.
Beberapa prajurit Binkes bersimbah darah. Bayonet tidak mampu menahan tebasan-tebasan kelewang, bahkan Kohler kalap. Dia melepaskan tembakan beruntun tanpa membidiknya dengan benar. Peperangan ini telah menyebabkannya tertekan. Ia tentu tidak mau malu dan dianggap gagal di hadapan Gubernur Jenderal. Harga diri dan reputasinya yang gemilang sedang dipertaruhkan.
Satu per satu para musuh tewas. Begitu juga orang-orang kami, salah satunya adalah si kopral yang gamang. Kematiannya sungguh mengerikan. Sisa-sisa sabetan kelewang membuat bagian dalam tubuhnya terburai. Tiba-tiba musuh menyadari jumlah mereka semakin berkurang, lalu meninggalkan benteng. Kami tidak mengejarnya. Kami menganggapnya sebagai sebuah kemenangan. Teriakan-teriakan prajurit membahana. Tapi pesta kemenangan tidak berlangsung lama, gerombolan musuh muncul kembali. Kali ini dengan jumlah yang lebih banyak.
“Setan! Ternyata mereka belum mau kalah. Serang lagi!” seru Kohler dengan semangat yang menggebu.