Breaking News

Komunitas Lesbi Incar Kampus

BERBAGAI cara dilakukan manusia memenuhi kebutuhan biologis. Tidak sedikit di antara mereka yang menempuh jalan

Editor: bakri

BERBAGAI cara dilakukan manusia memenuhi kebutuhan biologis. Tidak sedikit di antara mereka yang menempuh jalan menyimpang dari kodratnya selaku manusia untuk mendapatkannya.

Psikolog Dra Endang Setianingsih MPd mensinyalir gaya hidup metropolis saat ini mulai merambah ke Aceh berupa munculnya komunitas lesbian (hubungan sesama jenis). “Disorientasi seksual ini disebabkan pola asuh yang salah maupun karena kondisi hormonal bawaan. Penyuka sesama jenis ini mengintai anak broken home dan mereka yang mempunyai pengalaman traumatis berhubungan dengan lawan jenis,” kata Endang kepada Serambi.

Menurut Endang, jumlah komunitas lesbian di Aceh sebenarnya tidak banyak namun terus bertambah karena mereka gencar memburu pasangan sejenis, meskipun keberadaan mereka memang tidak kentara. Pasangan sejenis ini lazim melakukan kontak fisik di tempat-tempat umum seperti halnya dua teman baik, namun untuk berhubungan lebih jauh mereka lebih memilih tempat kos.

“Jumlahnya seratusan orang lebih mungkin, ini gejala baru yang belum banyak orang tahu. Pelaku penyimpangan ini kebanyakan adalah kalangan mahasiswi. Mereka mengaku menemukan kenyamanan dalam hubungan dengan sesama jenis dan merasa dirinya baik-baik saja berlaku demikian,” ungkap psikolog yang concern meneliti tentang psikologi perkembangan ini.

Fenomena sosial lainnya yaitu kecenderungan kalangan perempuan matang mengincar laki laki muda alias brondong untuk menjadi teman kencan. Menurutnya, hal ini dipicu oleh keretakan rumah tangga yang berujung terjadinya perselingkuhan dengan sistem cinta satu malam (one night service). 

Selain penyimpangan seksual, Endang juga menyoroti perubahan perilaku pada anak sehingga mereka menjadi dewasa sebelum saatnya. Hal ini menurutnya dikarenakan pesatnya perkembangan teknologi sehingga memudahkan anak mengakses informasi yang dulu hanya untuk konsumsi orang dewasa. Kondisi ini terjadi pada anak yang tengah dalam fase mencari jati diri. Dari melihat kemudian tertarik, dan akhirnya melakukan dan sampai ketagihan.

Menurut Endang, bisnis prostitusipun melirik anak-anak dan remaja sebagai sasaran empuk. Transaksi bisa dilakukan di tempat umum dengan tarif mulai Rp 100.000-an.

Endang menjelaskan, dari segi tumbuh kembang, anak zaman sekarang asupan gizinya lebih mencukupi dan ini mengakibatkan keadaan hormonalnya lebih cepat pula. Dengan kata lain, anak zaman sekarang lebih cepat dewasa dibanding usia sebenarnya. Pesatnya perkembangan teknologi dan perkembangan kedewasaan mendapuk seks bebas dan pemerkosaan sebagai sebuah tren di kalangan anak dan remaja.

“Padahal kalau ditanya mereka paham agama dan tahu itu dosa. Selain perkembangan teknologi dan kedewasaan yang belum saatnya, saya melihat kontrol sosial juga sudah berkurang. Kalau ada pemerkosa yang masuk penjara paling masyarakat bilang, ah itukan biasa,” ulas dosen di Kampus Psikologi Harapan Bangsa Banda Aceh tersebut.

Padahal, lanjut Endang, sanksi sosial itu dibutuhkan agar pelaku merasakan efek jera karena perbuatannya. Dari ranah keluarga, orang tua yang tidak mengontrol perilaku anak menjadi masalah serius. Dia sebutkan, untuk mencegah agar si anak tidak mencari atau mendapatkan informasi yang tidak jelas dari luar, Endang menilai pendidikan seks (sex education) menjadi suatu yang tidak bisa ditawar lagi. Ia menegaskan, sex education bukan berarti mengajarkan anak bagaimana berhubungan seks, melainkan lebih kepada mengajarkan seputar kesehatan reproduksi.

“Kalau sekarang petuah-petuah orangtua sudah jarang terdengar. Memang kedengarannya sederhana tapi banyak benarnya. Padahal itu bisa ditanamkan ke diri anak sejak dia kecil dan itu akan terus terbawa hingga ia besar nanti,” tutup Endang.

Sementara itu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Aceh menyebutkan sepanjang 2013 terjadi 265 kasus kekerasan terhadap perempuan di Aceh. Sebanyak 143 kasus merupakan kasus kekerasan seksual. Sebanyak 70 kasus diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual pada anak.

Direktur LBH Apik Aceh, Lina kepada Serambi menyebutkan data ini juga sama dengan apa yang dimiliki Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK), dan Direktur Koalisi Perempuan Indonesia (KPI). Lembaga-lembaga tersebut berhimpun dalam Jaringan Perempuan Aceh (JPA231) yang selama ini mengadvokasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh.

Menurut Lina, kasus kekerasan seksual pada anak itu terbilang tinggi. “Dalam waktu dekat kami juga akan merilis jumlah kasus secara lebih detail, termasuk juga langkah penanganan dan antisipasinya,” Lina.(*)

Tags
ABG Aceh
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved