Opini

Adegan Baru ‘Sandiwara’ Syariat Islam di Aceh

IBARAT sandiwara pelaksanaan syariat Islam Aceh telah masuk dalam babak dan adegan baru

Editor: bakri

Oleh Munawar A. Djalil

IBARAT sandiwara pelaksanaan syariat Islam Aceh telah masuk dalam  babak dan adegan baru. Kenapa tidak, pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI Tjahyo Kumolo yang akan mengevaluasi kembali 85 Qanun Aceh termasuk Qanun Jinayah yang baru disahkan oleh DPRA pada 27 September 2014 lalu. Menurut hemat saya keinginan tersebut akan memperkeruh hubungan Aceh-Jakarta yang baru saja “harmonis” sejak 9 tahun lalu, sebab apa yang dinyatakan Mendagri sangat tidak mendasar.

Qanun-qanun tersebut merupakan aspirasi mayoritas masyarakat Aceh yang kelahirannya sangat legitimate berdasarkan amanah UU RI No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan UU RI No.11 tentang Pemerintahan Aceh. Penetapannya pun sudah melalui berbagai mekanisme, mulai dari pembahasan di DPRA, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), uji publik sampai dengan konsultasi dengan lembaga tinggi negara di Jakarta seperti Kementerian Hukum dan HAM, Kemendagri, Menkopolhukam dan lainnya. Hasil konsultasi pejabat pusat di Jakarta menyatakan tidak keberatan jika DPRA mengesahkan qanun tersebut.

Nah, pada tataran ini, kekhawatiran sebagian masyarakat Aceh sebelum Pilpres 9 Juli 2014 lalu bahwa kalau PDIP berkuasa jangankan qanun jinayat UUPA juga akan di tinjau kembali---akhirnya mengemuka. Adegan demi adegan, episode demi episode akan dikemas dengan mulus dan terus berada dalam satu plot berita dan topik “syariat Islam” yang pastinya akan dipentaskan dalam panggung sandiwara di negeri ini. Tampaknya ada kepura-puraan pemerintah pusat (sandiwara) terkait pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

Isu hak asasi manusia (HAM), hak politik perempuan selalu menjadi  topik dalam ‘adegan’ syariat Islam di Aceh, seperti yang kemukakan oleh Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat Islam (JMSPSI) dan Jaringan Pemantau Aceh (Serambi, 8/11/2014). Yang pantas diacungi jempol adalah peran ‘sutradara’ dalam sandiwara ini. Kepiawaian dan keapikannya dalam mengemas setiap fragment telah memukau jutaan pasang mata manusia, baik dalam maupun luar negeri. Setiap fragment tersaji dalam suasana yang hidup, alami detil dan sempurna. Ini terlihat dengan kemampuan sang sutradara memainkan perasaan pemirsanya. Bapak sutradara pantas mendapat “grammy award” atas keberhasilannya meramu topik HAM sebagai ‘batu sandungan’ dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

 Pemain antagonis
Menariknya, dalam sandiwara ini adalah aktor dan aktrisnya. Karena perekrutan mereka harus melalui casting (test kemampuan akting). Tokoh intelektual (sutradara) terus merancang suasana psikologis yang akan memotivasi para aktor untuk bermain dalam drama sebenarnya seperti yang diinginkan sang tokoh. Sehingga tidak aneh kalau para aktor tidak menyadari bahwa dia sedang digunakan oleh oknum yang memetik keuntungan besar atas kejadian itu. Sehingga beberapa LSM di Aceh walaupun dalam “kemasan” syariat Islam telah menjadi pemain antagonis dalam adegan drama “syariat Islam”. Walaupun harus diakui memang mereka juga tidak akan bisa survive (untuk tidak saya katakan tidak dapat makan), kalau tidak bermain sesuai dengan keinginan sutradara.

Dengan analisis berbagai opini yang terbentuk, target  yang ingin di capai, dan cara endingnya, kita tentu belum bisa meraba wajah sang tokoh intelektual yang pantas dijuluki “sutradara”. Dia sangat lihai memainkan perannya. Sutradara ini menyadari benar peran antagonis yang sedang dilakoni para aktor. Dia menginginkan munculnya kegelisahan dalam masyarakat Aceh, supaya sang sutradara bisa mengemas adegan-adegan baru dalam sandiwara ini. Sang sutradara mestinya menyadari, bahwa masyarakat Aceh punya sikap fanatisme agama yang tetap bersemi ditubuh turunan mereka, bahwa ada atau tidaknya legitimasi UU masyarakat Aceh tetap mengamalkan syariat Islam karena itu adalah identitas Aceh.

Masyarakat Aceh sekarang ini sangat mengharapkan adanya keinginan para intelektual untuk turut ambil bagian dalam memberikan analisis kritis (mungkin sebagai counter attack) terhadap semua infiltrasi yang dilakukan oleh sang sutradara. Intelektual yang memiliki integritas keilmuan, bukanlah sosok yang suka “cuci tangan” terhadap fenomena yang ada, tapi dia harus siap tanding adu argumentasi dalam kancah pertarungan idealisme. Dengan itu kita akan dapat mencari akar permasalahan dari setiap kejadian yang berkembang sehingga kita akan lebih mudah menyelesaikan masalah yang menimpa kita semua.

Sejatinya sejak dekade lalu para intelektual Aceh sangat dinanti peran akademiknya, mengingat permasalahan Aceh cukup kompleks dan rumit. Dari perseturuan antara penguasa di Jakarta, sampai kepada pertentangan elite politik Aceh. Sutradara menepuk-nepuk dada, karena selama ini dia telah berhasil merusak sistem yang ada dengan lahirnya pertentangan-pertentangan baru sesama elite politik. Propaganda-propaganda yang disebarkannya memang dahsyat, tapi yang sangat ditakutkan adalah lahirnya kesepahaman politik masyarakat Aceh.

Rupanya sang sutradara tak pernah kehilangan jalan, dia berusaha untuk mengikis habis suara-suara politik masyarakat Aceh, dengan isu syariat Islam. Sejak otonomi khusus berlaku semua permintaan Aceh akan “diaminkan” Jakarta kecuali merdeka, tapi kini harapan Aceh kembali “dicurangi” pemerintah pusat. Walaupun menurut seorang anggota DPRA, Abdullah Saleh, pihak legislatif tidak akan gelisah dengan keputusan yang akan diambil Kemendgari terhadap sejumlah isi qanun, termasuk Qanun Jinayat yang telah disahkan DPRA, karena pengambilan keputusannya sesuai kekhusuan Aceh berdasarkan UUPA. Lagi-lagi “kecurangan” ini hemat saya telah meresahkan semua pihak di Aceh.

 Jangan beri celah
Jangan sedikit pun kita memberi celah kepada tokoh yang berusaha membungkam aspirasi masyarakat Aceh dalam menjalankan syariat Islam. Aspirasi itu harus lebih lantang lagi disuarakan dengan memakai segala cara. Maksudnya memakai segala medan perjuangan, termasuk dengan menggunakan pers dari dalam. Tapi sayangnya pers sendiri berada pada titik persimpangan yang dilematis. Di satu sisi, pers bertanggung jawab untuk membuka kebrobokan hasil kerja sang tokoh. Namun di sisi lain akibat lemahnya kontrol yang memang sengaja dirancang oleh tokoh itu, pers pun terkadang terjebak pada posisi yang malah tidak menguntungkan.

Infiltrasi yang dilakukan sutradara akan berjalan lamban apabila tidak dipublikasikan pers. Sebaliknya pers pun dengan budaya investigasi kritisnya bertanggung jawab untuk menyampaikan fenomena baru yang berkembang. Di sini pers dan sutradara bagai sekeping uang yang nilai nominalnya berbeda di masing-masing sisi. Tanggung jawab pers bukanlah berpihak pada satu kelompok, tapi lebih kepada netralitas yang memungkinkan masyarakat lebih gampang mencari jalan keluar.

Hikmah dari ketekunan kita menonton adegan demi adegan dalam sandiwara ini adalah kemampuan masyarakat Aceh untuk bersikap dewasa dan hati-hati dalam mewaspadai setiap propaganda yang direkayasa oleh tokoh yang bernama ‘sutradara’.

Akhirnya kami berharap Pemerintah pusat tidak terlalu latah dengan wacana evaluasi qanun-qanun tersebut yang merupakan aspirasi masyarakat Aceh. Sebuah keraifan lokal di Aceh mengungkapkan: Bek talet gajah u gle (Jangan mengejar gajah yang sudah masuk hutan); Bek tatiek kawe lam ie tuba (Jangan memancing dalam air tuba); Bek top galah bak tanoh caye (Jangan pancang galah di tanah cair); Bek tatak tanda bak kayee mate (Jangan buat tanda pada kayu mati).

* Dr. H. Munawar A. Djalil, M.A., Kabid Hukum Dinas Syariat Islam Aceh. Email: aburiszatih@yahoo.co.id

Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved