Citizen Reporter
MTQ Internasional tak Semeriah Tingkat Kabupaten di Aceh
BAGI masyarakat Indonesia, Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) merupakan ajang untuk memperlombakan kemampuan membaca Alquran
AZHARI MULYANA, mahasiswa asal Aceh, melaporkan dari Maroko
BAGI masyarakat Indonesia, Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) merupakan ajang untuk memperlombakan kemampuan membaca Alquran dengan lagu. Di Indonesia, MTQ sudah dilaksanakan mulai tahun 1940-an, sejak berdirinya Jam’iyyatul Quraa wal Huffadz oleh Nahdlatul Ulama.
Tidak hanya membaca Alquran dengan lagu yang diperlombakan, tetapi juga banyak cabang lainnya yang ditampilkan, seperti Hifzul Quran (lomba menghafal Alquran), Fahmil Quran (lomba cerdas cermat agama), Khattil Quran (lomba menulis khat Arab), Tafsirul Quran (lomba menafsirkan Alquran dalam tiga bahasa), dan lain-lain.
Masyarakat Indonesia pada umumnya sangat memperhatikan kegiatan MTQ ini dengan ikut meramaikannya setiap kali even ini berlangsung. Mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, bahkan level nasional.
Seperti halnya di Aceh, rasa sosial antarsesama yang sangat tinggi, terlihat ketika mereka ikut menyemarakkan kegiatan MTQ ini. Mulai dari panggung, dekorasi, bahkan kostum peserta MTQ telah dipersiapkan. Rasa kagum dan bangga saat melihat putra-putri mereka menampilkan bakatnya yang luar biasa dari sisi agama.
Tak hanya itu, para pedagang pun ikut mendukung suksesnya acara ini. Misalnya, dengan cara menjual souvenir MTQ, pakaian dan gantungan kunci berlogo MTQ, khat-khat Arab, hingga pameran dari setiap daerah pun ikut meramaikan acara tersebut.
Namun, sejauh yang saya amati, hal ini berbeda sekali dengan negara lain yang juga melaksanakan kegiatan ini. Sebagai salah satu contohnya, MTQ Internasional Ke-10 Penghargaan Raja Maroko yang berlangsung beberapa hari lalu di Masjid Hassan II Casablanca, Maroko.
Dilihat dari aspek keagamaan, Maroko merupakan negara yang mayoritas penduduknya muslim, layaknya Indonesia. Namun sayangnya, banyak warga Maroko yang tidak menyadari bahwa MTQ yang dibuka langsung oleh Dr Ahmad Taufik, Menteri Wakaf dan Urusan Islam Maroko ini merupakan MTQ yang berlevel internasional.
Selain MTQ ini dilaksanakan di aula yang tertutup dalam masjid, terdapat juga satpam yang hanya membolehkan orang-orang tertentu saja yang dapat masuk, sehingga masyarakat Maroko sendiri tidak bisa menyaksikan even ini karena penjagaannya yang cukup ketat.
Jika dibandingkan dengan MTQ tingkat kabupaten seperti yang dilaksanakan di Aceh, MTQ internasional di Maroko ini sangatlah sepi pengunjung. Terlebih ketika peserta dari berbagai negara menampilkan kebolehan mereka dalam membaca Alquran, yang ada hanyalah pendamping dan peserta dari masing-masing kontingen. Tidak ada supporter, apalagi penyemangat.
Begitu pula dekorasi, panggung, konsumsi, serta pelayanan terhadap peserta yang terkesan simpel dan kurang memadai. Tak terkesan istimewa untuk sebuah hajatan bertaraf internasional.
“Kalau kalian tidak ikut meramaikan di sini, mungkin anak-anak kita dari Indonesia kurang bersemangat untuk bersaing dalam perlombaan ini,” kata seorang pendamping kafilah MTQ dari Indonesia.
Meskipun acara ini akan ditampilkan di layar TV Maroko, namun masyarakat Maroko sendiri terasa tidak memiliki acara tersebut.
Begitulah perbandingan yang saya lihat langsung saat saya bersama teman-teman mahasiswa Indonesia di Maroko ikut mendukung duta-duta Indonesia pada MTQ internasional ini. [email penulis: arye_moel@yahoo.co.id]
Jika Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas bersama foto Anda ke redaksi@serambinews.com