Jejak Orang Kaya di Tambang Emas
SEUMUR hidup Ferdy tak pernah bermimpi punya mobil dan uang berlimpah
SEUMUR hidup Ferdy tak pernah bermimpi punya mobil dan uang berlimpah. Cerita bermula dua tahun lalu sejak temuan emas menyilaukan bumi Manggamat, Aceh Selatan. Ia bersama ratusan warga mengadu nasib menjadi penambang emas tradisional. Kerja kerasnya ternyata tak
sia-sia. Butiran emas telah mengubah garis hidup Ferdy. “Dulu saya tidak pernah bermimpi bisa naik mobil. Tapi alhamdulillah sekarang sudah bisa (punya mobil),” ujar pria asal Kecamatan Manggamat tersebut, kepada Serambi, pekan lalu.
Bukan hanya Ferdy. Serambi juga mendapati warga Panton Luas, Kecamatan Sawang dan Simpang Tiga Manggamat, Aceh Selatan mulai berbenah dari kemelaratan hidup. Hampir tiap penduduk memiliki satu sepeda motor, di luar simpanan uang dan emas. Rumah mereka juga banyak yang berubah menjadi semi permanen. Kontras dengan kehidupan sebelumnya.
Manggamat dulu terkenal sebagai basis GAM, kini kesohor menjadi pusat perburuan emas. Ratusan lubang bekas galian menjamur di lereng bukit Manggamat dan kawasan lainnya di Aceh Selatan. Jika sedang mujur, para penambang bisa memperoleh hasil menggiurkan. Satu karung beras bahan baku, penambang bisa memperoleh 60 gram hingga 1 ons emas setelah proses penggilingan (gelondongan).
***
Heboh tambang emas tradisional di Aceh mulai mencuat awal 2008. Kawasan Gunong Ujeuen, Kabupaten Aceh Jaya, paling diburu penambang. Kandungan emas juga terdapat di Kecamatan Manggamat dan Sawang Aceh Selatan. Kilauannya merebak hingga ke Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie. Sampai kini aktivitas penambangan emas di tiga wilayah tersebut masih berlangsung. Namun belakangan mulai turun sedikit peminatnya. Sebagian pekerja di tambang tradisional ini mulai beralih mencari batu giok. Hanya beberapa penambang bermodal besar masih bertahan di lokasi.
“Mengolah batu emas memerlukan proses lama, dari penggalian hingga penggilingan dan itu pun belum tentu ada hasilnya,” kata Azhar, penambang batu emas di Calang, Aceh Jaya kepada Serambi, pekan lalu.
Selama ini pengolahan batu emas marak pula di Kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya. Penambang memakai merkuri untuk memisahkan butiran emas dari batu.
Masyarakat yang terlibat dalam usaha penambangan emas keberatan jika pemerintah menutup tambang emas yang mereka kelola apalagi dituding merusak lingkungan. “Penebangan kayu dilarang, sementara pengerukan batu gajah dibiarkan. Padahal itu sama-sama merusak lingkungan dan mengundang ancaman banjir,” kata Ferdy, penambang di Manggamat.
Penambang emas tradisional menuding pemerintah tidak serius menangani persoalan tambang di Aceh. Moratorium tambang yang diterbitkan Pemerintah Aceh Oktober 2014 tidak menjawab persoalan. Keputusan itu cenderung sepihak, minim solusi. Padahal, para penambang berharap pemerintah melegalkan tambang emas tradisional menjadi tambang rakyat yang diakui.
“Pemerintah harusnya membina dan mencari format yang tepat cara mengolah emas agar tidak merusak lingkungan, bukan hanya mengeluarkan larangan,” kata Ibrahim, seorang penambang di Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie.
Di Desa Pulo Lhoi dan Bangkeh, Kecamatan Geumpang, tambang emas mulai digarap warga sejak 2012. Banyak warga yang kecipratan rezeki. Tapi tidak sedikit pula yang merugi. “Kalau disuruh tutup, berarti pemerintah mencari konflik dengan warga yang beraktivitas sebagai penambang,” kata Afifuddin (40), penambang emas lainhya di Geumpang.
Menurut dia, warga telanjur mengeluarkan modal hingga ratusan juta rupiah untuk mengupah pekerja menggali lubang. Keputusan menutup tambang, berarti sama saja merugikan masyarakat. “Belum lagi, jumlah modal yang keluar tak sebanding dengan emas yang didapat, karena emasnya belum bisa diambil,” ujar Afifuddin.(tz/naz/c45/sar)