Opini
Menjadikan Shalat sebagai Kebutuhan
Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha
Oleh Agustin Hanafi
“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami memperlihatkan kepadanya sebahagian tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. al-Isra’: 1).
HAKIKAT Isra Mikraj adalah bagaimana Allah Swt menunjukkan betapa besar kekuasaan-Nya, yang dalam tempo yang amat singkat seorang hamba (Muhammad saw) dapat diperjalankan bersama ruh dan jasadnya untuk melihat sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya, padahal jaraknya sedemikian jauh sampai ribuan kilometer. Peristiwa Israk-Mikraj sesuatu yang sangat luar biasa, tidak dapat dibuktikan secara ilmiah dan di luar jangkauan akal fikiran manusia, kecuali hanya keimanan hakiki yang dapat membenarkannya.
“Oleh-oleh” yang paling indah yang dibawa Rasulullah dari perjalanan Isra Mikraj ini adalah “kewajiban shalat”, bahkan ditempatkan menjadi rukun Islam yang kedua setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal ini mengindikasikan perhatian besar akan kemuliaan shalat dan keagungannya, bahkan kedudukannya lebih utama dari pada ibadah-ibadah lain karena shalat merupakan sarana terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara rohani.
Shalat juga merupakan tiang agama dan ibadah yang pertama sekali dihitung di Yaumil Mahsyar kelak. Apabila ibadah shalat seorang hamba diterima maka ibadah lainnya juga akan diterima, tetapi apabila dia tidak pernah shalat maka ibadah lainnya akan tertolak. Beginilah urgensi dari ibadah shalat, maka wajar Rasulullah di akhir hayatnya mengingatkan umatnya agar selalu menjaga shalat.
Secara harfiah, arti shalat adalah “doa”, yaitu keinginan yang dimohonkan kepada Allah Swt. Karena, tidak seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah mengharap atau merasa cemas, hingga pada akhirnya, sadar atau tidak, ia menyampaikan harapan dan keluhannya kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Di dalam shalat, ada isyarat penghormatan dengan tangan, berdiri, tegak, menunduk, rukuk, sujud, puji-pujian, doa dan harapan. Karena manusia makhluk yang memiliki naluri cemas dan mengharap. Ia selalu membutuhkan sandaran terutama pada saat-saat cemas ketika berharap. Kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa bersandar pada makhluk, betapa pun tinggi kekuatan dan kekuasaannya, seringkali tidak membuahkan hasil.
Oleh karena itu di dalam shalat akan terhimpun sifat pengaguman, pengagungan terhadap Allah Swt sehingga merasakan kelemahan dan kebutuhan kita di depan-Nya yang kemudian dibuktikan dalam ucapan dan sikap. Firman Allah: “...Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar...” (QS. Al-Ankabut: 45). Fenomena yang ada, banyak orang yang mengerjakan shalat, tetapi maksiat juga tetap berjalan seperti korupsi, perselingkuhan, penipuan, tidak amanah, memakan yang bukan haknya, dan lain-lain, lalu dimana letak bahwa shalat itu dapat mencegah daripada perbuatan keji dan munkar?
Di sinilah kita harus membedakan antara “mengerjakan shalat” dengan “mendirikan shalat”. Kalau “mengerjakan” shalat berarti hanya sekadar melepaskan diri dari tanggung jawab atau hanya sekadar melepaskan kewajiban tanpa menghayati makna dan hakikat shalat itu sendiri. Sedangkan “mendirikan shalat” berarti telah menjadikan shalat itu sebagai sebuah kebutuhan sehingga meresapi makna yang terkandung di dalamnya yang berujung pada ucapan dan perbuatan dalam segala aspek.
Adapun perintah shalat dalam Alquran selalu dimulai dengan kata aqimu “mendirikan” kecuali satu atau dua ayat saja. Menurut al-Qurthubiy kata ini berarti “bersinambung dan sempurna” sehingga melaksanakannya dengan baik, khusyu’ dan bersinambung sesuai dengan syarat rukun dan sunnahnya. Kemudian menggambarkan kerendahan diri dan penghayatan yang dalam akan kebesaran dan keagungan Allah Swt. Maka shalat seperti ini senantiasa dapat melarang atau mencegah pelaku dari keterjerumusan dalam kekejian dan kemunkaran.
Namun perlu digarisbawahi tidak secara otomatis atau secara langsung dengan shalat itu terjadi keterhindaran dimaksud. Karena adanya hambatan-hambatan seperti kurangnya penghayatan akan makna dan hakikat shalat. Karena semakin kuat penghayatan dan sempurna rasa kehadiran Allah dalam jiwanya serta semakin dalam kekhusyukan dan keikhlasan, maka setiap itu pula bertambah dampak pencegahan itu, dan sebaliknya kalau berkurang maka akan berkurang pula dampak tersebut. Maka banyak orang yang shalat, tetapi sedikit yang mendirikan shalat.
Mengabaikan shalat
Sebagian orang terkadang kurang menyadari betapa pentingnya ibadah shalat, mereka sepele bahkan enggan melaksanakannya tanpa ada perasaan beban dan dosa. Mereka melaksanakan shalat hanya ketika waktu tertentu dan adanya kebutuhan untuk itu, seperti shalat meminta hujan (Istisqa’), shalat Ied, yang mungkin bisa jadi sebagai ajang pamer pakaian baru dan sajadah baru. Namun untuk shalat lima waktu, apalagi berjamaah, mereka tidak peduli dan tidak mau tahu. Bahkan ada yang sudah suci dari masa haid dan nifas, tetapi tidak bergegas mandi wajib agar bisa melaksanakan shalat.
Ketika azan berkumandang, mereka lebih mengutamakan aktivitasnya seperti berdagang, rapat di kantor, menonton TV, bermain gadget, dan lain sebagainya. Suasana jalan raya masih terlihat padat, toko, warung, kafe, masih sibuk melayani pembeli karena ada yang memahami kalau ditutup akan menghambat pintu rizki. Nauzubillah. Bukankah Allah sudah menjanjikan: “Barang siapa yang bertakwa kepada-Nya, maka akan diberikan rizki dari yang tidak dia sangka.” Bukankah Allah tidak pernah ingkar dan lalai akan janjinya?
Mengapa kita begitu mudah melalaikan dan meninggalkan shalat, padahal Allah telah memberikan kita segalanya tanpa ada yang kurang sedikitpun. Berikut secuil kasih sayang Allah kepada umat manusia, diberikannya oksigen dan udara yang segar agar kita dapat menghirupnya setiap saat sehingga dapat bertahan hidup. Semua itu diberikannya secara cuma-cuma. Allah turunkan air hujan dari langit secara gratis membuat tanam-tanaman di bumi menjadi tumbuh subur sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia. Allah ciptakan lautan, sehingga manusia dapat memanfaatkan segala isinya, bahkan ikan yang ada di dalamnya tidak pernah habis walaupun sudah dikeruk jutaan tahun. Di atasnya manusia dapat melakukan pelayaran sehingga bisa melakukan ekspor-impor antar-benua.
Allah ciptakan gunung agar bumi menjadi stabil yang di dalamnya tumbuh segala jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat diolah untuk kepentingan manusia, kemudian menjadi tempat hunian binatang buas agar manusia terlindungi. Firman Allah: “Katakanlah (Muhammad), Seandainya lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. ak-Kahfi: 109). Maka wajar jika Allah menegur dan bertanya: “Maka Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan.” (QS. ar-Rahman: 16).