Jurnalime Warga

‘One Day One Ayat’, Program Religius Pidie yang Lahir dari Ide Seorang Guru

Gagasan ini lahir bukan dari ruang rapat pemerintahan, melainkan dari ruang pembelajaran dan pengalaman panjang di dunia pendidikan

Editor: mufti
IST
ABDUL HAMID, S.Pd., M.Pd., Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Kabupaten Bireuen, melaporkan dari Bireuen 

ABDUL HAMID, S.Pd., M.Pd., Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Kabupaten Bireuen, melaporkan dari Bireuen

PROGRAM ‘One Day One Ayat’ yang menjadi salah satu ikon pendidikan religius di Kabupaten Pidie pada masa kepemimpinan Bupati Sarjani Abdullah dan Wakil Bupati M. Iriawan periode 2012–2017, ternyata memiliki kisah panjang yang menarik dan belum banyak diketahui publik. Di balik keberhasilan program tersebut, ada sosok pendidik yang menggagasnya secara visioner, yakni Abdul Hamid MPd, yang kala itu menjabat Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Padang Tiji dan Muara Tiga, Pidie.

Gagasan ini lahir bukan dari ruang rapat pemerintahan, melainkan dari ruang pembelajaran dan pengalaman panjang di dunia pendidikan serta observasi sosial terhadap karakteristik masyarakat Pidie.

Asal mula gagasan

Pada tahun 2013, Abdul Hamid mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III (PIM III) yang diselenggarakan oleh Kantor Diklat Kabupaten Pidie. Dalam satu sesi paparan, Abdul Hamid menyampaikan ide ‘One Day One Ayat’ di hadapan Wakil Bupati  Pidie saat itu, M. Iriawan, serta 40 peserta lainnya.

Paparan tersebut bukan sekadar teori. Hamid dengan mantap menyampaikan konsep dasar yang kuat, yakni kondisi sosiologis masyarakat Pidie yang dikenal sebagai masyarakat perantau. Ia menjelaskan bahwa orang Pidie tersebar di berbagai belahan dunia, mulai dari Malaysia hingga Timur Tengah. Dalam konteks ini, kemampuan membaca dan menghafal Al-Qur’an dinilai sebagai bekal penting saat berada di perantauan.

“Kalau seseorang bisa membaca dan hafal Al-Qur’an, pasti dia akan mampu menjadi imam shalat. Ini adalah modal sosial dan spiritual yang sangat besar,” ujar Hamid dalam pemaparannya.

Deret ukur hafalan

Hamid tidak hanya menyampaikan ide, tetapi juga menawarkan metode pelaksanaan yang sistematis dan mudah diaplikasikan. Ia menyamakan kegiatan membaca dan menghafal Al-Qur’an dengan konsep deret dalam matematika.

Ia jelaskan, membaca Al-Qur’an dilakukan seperti deret ukur. Dalam waktu 10–15 menit sebelum pelajaran dimulai, siswa membaca beberapa ayat atau halaman. Sedangkan menghafal dilakukan dengan pendekatan deret hitung: satu hari satu ayat.

Contoh konkretnya, jika pada hari pertama seorang siswa bernama Udin membaca Al-Qur’an dari ayat 1 hingga 10, maka ia wajib menghafal ayat ke-1. Esok harinya, ia membaca dari ayat 11 hingga 15, dan menghafal ayat ke-2. Begitu seterusnya.

Dengan jumlah hari efektif sekolah yang rata-rata mencapai 200 hari per tahun, maka seorang siswa dalam satu tahun bisa menghafal 200 ayat Al-Qur’an. Artinya, saat naik dari kelas I ke kelas II SD, siswa sudah menghafal 200 ayat.

“Bayangkan jika proses ini berlangsung terus-menerus selama enam tahun masa SD, maka siswa akan hafal sekitar 1.200 ayat,” ungkap Hamid saat itu.

Target jangka panjang

Program ini tidak berhenti di bangku SD. Menurut rancangan awal Hamid, siswa yang melanjutkan ke jenjang SMP akan menambah 600 ayat lagi dalam tiga tahun, dan 600 ayat lainnya saat di SMA. Dengan demikian, saat tamat SMA, siswa sudah menghafal sekitar 2.400 ayat Al-Qur’an.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved