Agama Parmalim di Aceh Singkil

Parmalim memang kepercayaan yang cukup unik. Rata-rata penganutnya asli keturunan Batak. Tetapi kepercayaan ini, mengharamkam penganutnya memakan babi

Editor: Amirullah

1. Parmalim Masuk Singkil

Ritual agama parmalim

Ropot Tumangger, seorang penghayat kepercayaan Parmalim mengaku dengan jujur tidak mampu menjelaskan kapan dan siapa yang membawa agama Parmalim ke Singkil. Namun dari referensi yang didapatnya disebutkan, awalnya Parmalim muncul dan berkembang di Desa Bakkara, tempat Kerajaan Sisingamangaraja dilahirkan. Namun , sekarang telah berpindah ke Desa Huta Tinggi, Kecamatan Lagu Boti, Kabupaten Toba Samosir. Dan menyebar hingga ke Singkil.

Menyebarnya agama ini masuk ke wilayah Aceh Singkil dan sekitarnya pada penghujung abad 19 atau Sekitar tahun 997-1011 H = 1589-1604 M. Berbarengan dengan munculnya, gerakan anti kolonial. Ini diprakarsai dan dipimpin oleh guru Somalalaing Pardede.

Menurut Tome Pires, seorang pencatat berkebangsaan Portugis, ketika itu, banyak warga Singkil terutama yang mendiami kerajaan-kerajaan di hulu Sungai, belum menganut agama. “Masyarakat pesisir Pantai Barat Sumatera, pedalaman Sumatera dan Aceh, masih banyak yang menganut aliran kepercayaan. Seperti aliran animisme dan dinamisme,” tulis Pires.

Hal ini, juga diakui oleh Abuya Baihaqi, pimpinan Pesantren Batu Korong, Simpang Kanan, Singkil. Dalam suatu wawancara dengan penulis. Buya mengatakan, rakyat yang berdomisili di kerajaan-kerajaan Singkil, terutama kerajaan yang di pedalaman dan daerah aliran sungai (DAS), ketika itu, belum beragama. Mereka masih menganut sebuah aliran kepercayaan yang bernama sepele Begu.

Dalam suasana masyarakat Singkil yang demikian itulah, agama Parmalim masuk ke Singkil dan sampai sekarang tetap bertahan. Ini terjadi, karena warga Aceh Singkil selalu menjaga kerukunan dan toleransi antar umat beragama.

“Penghayat kepercayaan dengan warga lain, tidak pernah terjadi cekcok apalagi komplik. Umat agama lain, tidak pernah merendahkan dan menekan kami. Perbedaan yang ada, sangat kami hargai. Karena itu ugama Parmalim tetap hidup di Aceh Singkil ini,” tutur Ropot Tumarger.

Hingga kini, kepercayaan ini tetap terjaga. Organisasi yang mengayominya, Parmalim Beringin Indonesia (Pambi) tetap eksis sampai sekarang terutama di Aceh Singkil.

Menurut keterangan Camat Danau Paris, Sujono, SE, penghayat kepercayaan Parmalim di Aceh singkil, jumlahnya tidak terlalu banyak hanya sekitar 60 kepala keluarga. Umumnya mereka berada di Kampung Napagaluh dan Kampung Sikoran, Danau Paris, Aceh Singkil. Tepatnya, sekitar 350 Km dari Ibukota Singkil.

Kalau mau ke Kota Barus, di sebelah kiri jalan Negara yang menghubungkan Aceh Singkil dengan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara kita akan menemukan sebuah komplek yang di dalamnya terdapat beberapa bangunan bergaya atau berdesain khas motif Batak dengan arti khusus.

Komplek seluas 0,5 hektar ini tutur Bapak Ropot Tumangger, disebut kompek Bale Pasogit. Lokasi Bale Pasogit inilah yang dijadikan penghayat sebagai tempat ibadah dan merupakan huta Nabadia (tanah suci).

Kalau diamati, di dalam komplek ini ada empat unit bangunan bale sangat khas, beda dengan bangunan lain. Umat Parmalim mengatakan, satu, Bale Parpitaan (balai sacral), bale pengaminan (balai pertemuan), Bale Parhobasan (Balai pekerjaan dapur) dan satu lagi Bale Partonggoan (balai doa). Di atas bubungan Bale terdapat replika tiga ekor ayam, masing-masing berwarna merah, hitam, dan putih.

Reflika, ini tambah, Ropot Tumangger, mengandung filosopi yang kaya makna. Merah melambangkan keberanian, kekuatan atau kekuasaan hitam melambang kebenaran, dan putih tanda kesucian. Konon, ayam adalah binatang yang kerap dibawa Sisingamangaraja saat akan berperang melawan kolonial belanda. Ini adalah lambang partondian (keimanan)

Di rumah ibadah itulah, penganut Parmalim, tutur Ropot Tumangger berkumpul setiap hari Sabtu, melaksanakan ritual keagamaan. Juga hari-hari besar keagamaan. Seperti, Sipaha sada, yaitu bulan pertama tahun baru menurut kalender Batak yang dimulai setiap bulan Maret. Dan Sipaha Lima yaitu bulan kelima, setiap tahunnya, pada saat terbitnya bulan purnama, biasanya dilakukan bulan Juni-Juli.

Biasa perayaan hari besar ini, apalagi di tempat asal Parmalim ini (Huta Tinggi) dilaksanakan secara meriah dirayakan dengan mengundang seluruh penganut kepercayaan Parmalim dari seluruh Indonesia bahkan luar negeri. Tujuan ritual ini, untuk memanjatkan doa rasa syukur kepada Tuhan Debata Mulajadi Na Bolon atau sang pencipta, atas berkah yang diberikan selama ini.

Keberadaan agama Parmalim ini, membuktikan bahwa warga Aceh Singkil tingkat toleransi beragamanya sangat tinggi. Juga suatu bukti bahwa Aceh Singkil memiliki keunikan yang tidak terdapat di daerah lain di Aceh. Karena itu sangat pantaslah kalau Aceh Singkil dikatakan wilayah yang kaya budaya, multi etnik yang terbungkus dalam akulturasi dan diaspora hebat.

Halaman
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved