Citizen Reporter
Hidup dengan Minim Air di Gurun Gobi
SEBAGAI peserta Asia Pasicif Leadership Program (APLP) yang diselenggarakan
OLEH ANDRIANSYAH, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, melaporkan dari Mongolia
SEBAGAI peserta Asia Pasicif Leadership Program (APLP) yang diselenggarakan East-West Center Hawaii, Amerika Serikat, semua kami diwajibkan mengikuti field study. Saya tergabung dalam tim Mongolia yang terdiri atas empat orang. Saya dari Indonesia, tiga rekan lainnya masing-masing dari Myanmar, Bhutan, dan Bangladesh.
Kota tujuan pertama kami adalah Ulaanbaatar, ibu kota Mongolia, dilanjutkan ke Dalanzagdad dan Gurun Gobi. Kegiatan inti kami adalah ikut workshop kepemimpinan dan interview beberapa masyarakat mengenai budaya, lingkungan, serta kehidupan mereka.
Perjalanan ke Mongolia sekitar sepuluh jam penerbangan, transit di Korea. Berdasarkan informasi dari Kedutaan Besar Mongolia, warga negara Indonesia bebas visa jika berkunjung ke Mongolia. Namun, saat kami berangkat, saya justru mengalami beberapa kesulitan. Di antaranya: tak ada sinkronisasi informasi dari pihak Kedutaan Mongolia dengan pihak penerbangan, sehingga saya tak bisa melakukan check in through ataupun check in langsung ke Mongolia, dan di Korea harus tanda tangan surat. Jika tidak, maka saya tak bisa masuk Mongolia.
Setiba di Mongolia, kami disambut perwakilan universitas dan saya dikenakan biaya visa on arrival sebesar $60 US dollar.
Dari pengalaman di Mongolia, saya mencatat beberapa kesamaan, keunikan, dan beberapa tantangan yang dihadapi masyarakat di Mongolia. Di antaranya, mereka sangat memuliakan tamu. Mereka sangat welcome pada tamu luar yang datang walaupun kita memiliki keterbatasan bahasa dengan mereka.
Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Mongolia yang sangat berbeda dengan bahasa Cina ataupun Rusia sebagai negara tetangga terdekat. Masyarakat di sana juga sangat bangga pada sejarah mereka yang dulu di tangan Jengis (Chinggis) Khan telah berhasil menguasai benua Asia dan beberapa wilayah di Eropa pada abad ke-12. Sehingga di sekitar kota Ulaanbaatar bisa ditemui beberapa toko ataupun kedai yang bertuliskan Chinggiskhan. Termasuk nama bandara di Ulaanbaatar bernama Chinggiskhan International Airport.
Setelah ikut workshop kepemimpinan di University of the Humanities Ulaanbaatar, kami lanjutkan perjalanan ke gurun pasir terbesar di Asia, Gurun Gobi. Sepanjang perjalanan, hanya gurun pasir yang terbentang luas. Beberapa kali kami jumpai hewan ternak padang pasir, seperti unta, domba, dan kuda. Ada juga sekelompok burung rajawali. Perjalanan kami serasa melewati padang pasir di Afrika. Gurun Gobi biasanya panas, tapi karena sekarang sedang akhir musim gugur dan menjelang masuknya musim dingin, jadi suhunya sangat dingin, sekitar -1 sampai 5 derajat Celcius. Perjalanan ke Gobi ditempuh dalam waktu 18 jam dari Ulaanbaatar, setelah 12 jam perjalanan, kami menginap satu malam di salah satu kota kecil bernama Dalanzagdad.
Sesampainya di rumah salah satu warga Gurun Gobi yang lebih sering disebut dengan Nomad People, kami langsung disuguhi semangkuk susu kuda hangat dan keju. Malamnya kami menginap di rumah tradisional Mongolia bernama Gerd Camp. Rumahnya sangat sederhana, hanya berbentuk lingkaran. Di tengahnya terdapat tempat bakar kayu yang sangat sederhana untuk menghangatkan ruangan.
Si pemilik rumah punya tiga Gerd Camp yang sering dikunjungi tamu ataupun turis asing yang ingin merasakan pengalaman hidup bersama keluarga asli Gurun Gobi. Jadi, kami tinggal di ruangan terpisah antara pria dan perempuan. Malamnya si pemilik rumah menyiapkan makan malam. Sesuai permintaan, kami hanya diberikan nasi putih dan kentang rebus biasa dengan sedikit garam dan sambal yang sangat sederhana. Lalu, bagaimana dengan kamar mandi, toilet, dan sebagainya? Itulah pertanyaan yang ada di dalam hati saya sebelum ke sana. Ternyata, toiletnya ada, tapi tidak berpintu. Tak heran mengapa begitu, karena memang tidak ada orang yang lewat, hanya gurun pasir terbentang luas. Tetangga ada, tapi sangat jauh antara satu rumah dengan yang lain. Untuk hidup, mereka mengambil air dari daerah lain yang jauhnya sekitar satu jam setengah dari tempat mereka tinggal. Jadi, air adalah barang yang sangat berharga bagi mereka, hanya digunakan untuk hal-hal yang penting saja.
Kebetulan kami membawa stok air yang banyak. Cukup untuk wudhuk dan hal-hal penting saja. Tapi tidak untuk mandi. Cuacanya sangat dingin dan tidak berpengaruh kalau kami tak mandi selama tiga hari.
Warga Gurun Gobi kebanyakan beternak. Keluarga nomad yang kami jumpai itu, memiliki 16 ekor unta dan beberapa domba. Kesederhanaan dan rasa syukur yang mereka miliki membuat saya terkesan. Di wajah mereka hanya ada senyum dan tawa lepas, tanpa beban.
Dari pengalaman field study di Mongolia, banyak pelajaran yang bisa saya petik, di antaranya: di luar sana masih banyak masyarakat yang tinggal di daerah yang sangat terbatas dari segi sumber daya alam, khususnya air, tapi mereka mampu berjuang untuk bertahan hidup. Setelah melalui pengalaman di gurun tandus ini, saya pribadi merasa tambah bersyukur dengan apa yang ada, membuat kita selalu merasa dalam keadaan bercukupan dan merasa bahagia dengan apa yang diberikan Allah kepada kita.
* Bila Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas Anda ke email: redaksi@serambinews.com