Breaking News

Opini

Antara Meulaboh dan Sumedang

PERINGATAN 117 tahun wafatnya Pahlawan Nasional Teuku Umar Johan Pahlawan tahun ini, memiliki keistimewaan

Editor: bakri

Oleh Jasman J. Ma’ruf

PERINGATAN 117 tahun wafatnya Pahlawan Nasional Teuku Umar Johan Pahlawan tahun ini, memiliki keistimewaan, dimana kali ini 11 Februari 2016, masyarakat Aceh di Jawa Barat yang bergabung dalam Majelis Adat Aceh (MAA) Jawa Barat dan dua siswa teladan Sumedang mengikuti haul Teuku Umar yang dipusatkan di Mugo, Aceh Barat. Ya, Sumedang tempat dimakamkannya Cut Nyak Dhien, seorang Pahlawan Nasional yang juga istri Teuku Umar.

Bagi masyarakat Sumedang, Cut Nyak Dhien adalah sosok yang sangat dihormati. Masyarakat Sumedang memanggilnya dengan sebutan “Ibu Perbu” yang berarti Ratu. Hal ini tidak lain, semasa Cut Nyak Dhien di pengasingan, seluruhnya hidupnya dibaktikan untuk mengajar agama bagi penduduk di sekitar tempat pengungsiannya. Kemuliaan yang Cut Nyak Dhien terima, tidak hanya semasa hidup beliau, tetapi juga setelah beliau wafat.

Beliau dimakamkan di komplek pemakaman keluarga bangsawan. Sampai hari ini, di Sumedang ada komunitas yang secara sukarela merawat makam Cut Nyak Dhien. Bahkan lebih dahsyat lagi, setiap dua tahun sekali, pemerintah Kabupaten Sumedang secara kontinyu mengadakan acara Festival Cut Nyak Dhien. Sungguh kemuliaan yang tiada tara.

Rombongan MAA Jawa Barat yang dipimpin langsung oleh ketuanya Dr Kamal Arif, tidak hanya sekadar menyertakan dua siswa teladan Sumedang dalam rombongan mereka dalam rangka mengikuti acara haul Teuku Umar kali ini, tetapi juga membawa sebatang pohon khas Sumedang yang akan ditanam di dalam pekarangan makam Teuku Umar di Mugo. Pohon itu bernama Hanjuang. Menurut masyarakat Sumedang, Hanjuang dapat berarti juga “mari berjuang”.

Jika dikaitkan dengan sejarah Sumedang, pohon Hanjuang sungguh istimewa, sekitar 1585 Masehi, pecah perang antara Kerajaan Sumedang dengan Kesultanan Cirebon. Sebelum berangkat perang, Eyang Jaya Perkosa berwasiat kepada Prabu Geusan Ulun, bahwa ia akan menanam pohon Hanjuang di Kutamaya (ibu kota Sumedang ketika itu). Ini sebagai tanda bahwa apabila dia kalah atau mati maka pohon Hanjuang juga mati, dan apabila dia menang, maka pohon Hanjuang tersebut pun akan terus hidup. Setelah berkata demikian Eyang Jaya Perkosa berangkat bertempur, dan ia menang.

Hanjuang-Tongkat Ali
Dilihat dari segi botani, Hanjuang yang bernama Latin Cordyline merupakan sekelompok tumbuhan monokotil berbatang. Dia juga sering dijumpai sebagai tanaman hias, karena daunnya yang berubah menjadi merah jika mendapat sinar matahari. Pohon Hanjuang telah ditanam oleh Ketua MAA Jawa Barat, Dr Kamal Arif di areal makam Teuku Umar di sisi pohon Tongkat Ali yang ditanam oleh Ketua MAA Aceh Barat, Tgk H Umar Alimufti BA, pada peringatan wafat Teuku Umar tahun ini. Sebetulnya proses penanaman pohon tersebut telah dimulai 44 hari yang lalu, ketika kami telah membawa dan menabur segenggam tanah yang berasal dari pekarangan makam Teuku Umar di Mugo, di makam Cut Nyak Dhien di Sumedang, dan juga telah menabur segeggam tanah yang berasal dari makam Cut Nyak Dhien Sumedang, di komplek makam Teuku Umar di Mugo, Aceh Barat.

Sehari sebelum penanaman, saya tanyakan kepada Drs H Munir Basyir, Wakil Ketua MAA Aceh Barat yang ditugaskan mencari pohon khas Aceh yang diharapkan menjadi pasangan pohon Hanjuang yang mewakili simbol Cut Nyak Dhien. Lalu beliau jawab, bahwa tim beliau telah menyediakan dua pilihan, yaitu pohon Bunga Melur dan pohon Bunga Jeumpa. Saya katakan, kedua pohon itu memang asli Aceh tetapi kurang tepat mewakili karakter Teuku Umar.

Kalau Hanjuang mewakili karakter Cut Nyak Dhien yang feminim, maka Teuku Umar yang gagah perkasa mestilah dilambangkan oleh pohon yang berkarakteristik demikian. Ia harus 100% berkarakter maskulin. Kemudian, muncul ide pendamping pohon Hanjuang yang sekaligus mewakili karakter Teuku Umar adalah pohon Tongkat Ali. Di samping itu, pohon Tongkat Ali juga memiliki batang yang tidak begitu besar meskipun sudah berusia puluhan tahun. Dan, ciri ini sama juga dengan pohon Hanjuang.

Pohon Tongkat Ali sangat dikenal dalam masyarakat Aceh. Ianya di Kalimantan dikenal dengan Pasak Bumi, di Jawa dengan nama Widara Putih dan di Sumatera Utara dengan nama Besan. Pohon ini dalam bahasa Latin dikenal dengan nama Eurycoma Longifolia, yang dapat ditemukan di merata hutan Aceh. Tumbuhan ini dapat mencapai tinggi hingga 10 meter. Berdasarkan penelitian, tumbuhan ini secara fisiologis dapat melancarkan darah pada sistem saraf atau sirkulasi darah tepi. Bahasa komersialnya, Tongkat Ali dapat meningkatkan energi, vitalitas, daya tahan, dan stamina tubuh.

Sungguh serasi jika kedua tanaman Hanjuang dan Tongkat Ali ini ditanam bersisian. Ini adalah simbol mendekatkan Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien yang telah lama terpisah oleh Belanda melalui unsur alam. Penanaman besisian semacam ini juga akan dilaksanakan pada saat peringatan wafatnya Cut Nyak Dhien di makam Cut Nyak Dhien di Sumedang, dan biarkanlah mereka tumbuh alamiah dengan kebesaran Tuhan, dalam rangkulan kasih sayang dan keserasian alam semula jadi.

Penikmat kopi
Memperdekatkan hubungan antara Meulaboh dan Sumedang tentu tidak hanya melalui unsur alam saja, tetapi juga menyangkut aspek kultural. Salah satunya melalui hidangan kuliner. Sebagaimana kita ketahui, Teuku Umar adalah seorang penikmat kopi. Satu pernyataannya yang diucapkan menjelang ajalnya tiba adalah “beungoh singoh geutanyoe tajep kupi di keude Meulaboh atau ulon akan syahid” (besok pagi kita minum kopi bersama di warung kopi Meulaboh atau saya akan syahid).

Itulah statemen Teuku Umar beberapa saat sebelum beliau wafat, yang menjadi pertanda bahwa beliau merupakan seorang penikmat kopi yang ulung. Oleh karena itu kuliner yang di ambil mewakili Teuku Umar adalah kopi. Dan kopi khas Meulaboh adalah kupi khop. Kopi yang berbahankan kopi tubruk ini disajikan dengan cara gelasnya ditelungkupkan. Yang menarik, saringan kopi tubruk justru gelas yang ditelungkupkan tersebut.

Sementara dari Sumedang dipilih makanan yang khas Sumedang yaitu tahu Sumedang. Meskipun saya tak tahu persis, apakah Cut Nyak Dhien penikmat tahu Sumedang, namun salah satu kuliner top Sumedang adalah tahu Sumedang. Itu sebabnya, tahu Sumedang dipilih mewakili kuliner dari Sumedang. Jadi, penyajian kupi khop dan tahu Sumedang di sebuah meja akan menggambarkan hubungan yang erat antara budaya Aceh Barat dan Sumedang.

Begitulah. Diharapkan setiap acara haul Teuku Umar di Meulaboh, maka setiap itu pula MAA Jawa Barat menggandeng atau memfasilitasi masyarakat Sumedang untuk menghadiri acara dimaksud. Misalnya Trail Teuku Umar. Begitu juga sebaliknya, jika ada haul Cut Nyak Dhien di Sumedang maka pemerintah atau tokoh masyarakat Aceh Barat juga ikut berpartisipasi. Semoga Meulaboh dan Sumedang senantiasa memiliki hubungan yang erat sepanjang masa.

* Prof. Jasman J. Ma’ruf, Rektor Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh, Aceh. Email: rektor@utu.ac.id

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved