Pojok Humam Hamid

Benny K Harman dan MoU Helsinki: Dari Empati ke Sinisme Sarkastik

Kalimat “Jangan sedikit-sedikit Helsinki, dua puluh tahun ini bikin apa?” mungkin dimaksudkan sebagai kritik, tetapi juga mengandung bahaya

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HO
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Ringkasan Berita:Pernyataan Benny K. Harman dalam forum RDPU Baleg DPR RI membuka pandangan dengan nada empati.
Saat menyentuh narasi MoU Helsinki, sikapnya berubah menjadi sinis dan sarkastik.
Prof Humam menilai, ucapan: “Jangan sedikit-sedikit Helsinki, dua puluh tahun ini bikin apa?” meremehkan signifikansi MoU.
Kritik ini berbahaya karena menggeser persepsi publik bahwa sejarah hanya relevan sesaat, lalu boleh ditinggalkan.
Sikap ini dianggap sebagai pengingkaran terhadap memori kolektif Aceh.

Oleh Ahmad Humam Hamid*)

Dalam forum resmi seperti RDPU Baleg DPR RI, suara yang berani menyentuh isu sensitif layak diapresiasi.

Karena itu, patut kita hargai cara Benny K. Harman dari fraksi Partai Demokrat membuka pandangannya dengan nada empati.

Ia menyebut duka Aceh sebagai duka bersama, ia mengaku peduli pada efektivitas Otsus, dan ia ingin revisi UUPA dilakukan demi memperkuat bangunan demokrasi dalam rumah besar Republik.

Nada awalnya persuasive--seolah mengajak Aceh berdiskusi setara, bukan menggurui.

Namun kehangatan itu tidak berlangsung lama.

Begitu ia menyentuh soal narasi MoU Helsinki, suaranya berubah--lebih sinis, lebih sarkastik, dan seakan meremehkan signifikansi sebuah dokumen yang bukan hanya mengakhiri konflik bersenjata paling panjang di Indonesia, tetapi juga menyelamatkan ribuan nyawa.

Dari apresiasi yang manis, tiba-tiba muncul pengingkaran halus terhadap memori kolektif Aceh.

Seakan MoU itu hanya alasan klise, bukan fondasi historis yang menentukan arah masa depan provinsi ini.

Kalimat yang ia lontarkan--“Jangan sedikit-sedikit Helsinki, dua puluh tahun ini bikin apa?”--mungkin dimaksudkan sebagai kritik, tetapi juga mengandung bahaya intelektual.

Benny secara sangat halus mengoda publik agar percaya bahwa sejarah hanya relevan selama beberapa tahun pertama, lalu boleh ditinggalkan begitu saja seperti sisa acara politik musiman.

Ucapan seperti ini, bila dibiarkan menjadi standar berpikir politik nasional, sama saja dengan menyarankan dunia untuk berhenti menyebut Westfalen, berhenti mengutip Jumat Agung di Irlandia Utara, berhenti belajar dari Dayton dalam kasus Bosnia Herzegovina, atau berhenti mengenang bagaimana Afrika Selatan menatap masa lalunya yang getir.

Dengan logika seperti itu, sejarah menjadi selembar bukti parkir yang bisa diremas dan dibuang bila sudah tidak cocok dengan agenda hari ini.

Padahal, sejarah--sebagaimana dipahami para analis lintas zaman adalah alat navigasi, bukan beban.

Sejarah tidak meminta pemujaan, tetapi mengingatkan bahwa jejak masa lalu menentukan struktur medan politik yang kita pijak hari ini.

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved