Opini
Selesaikan Qanun Bendera dengan Penemuan Hukum
QANUN No.3 Tahun 2012 tentang Bendera dan Lambang Aceh, telah disahkan oleh Gubernur Zaini Abdullah
Oleh Amrizal J. Prang
QANUN No.3 Tahun 2012 tentang Bendera dan Lambang Aceh, telah disahkan oleh Gubernur Zaini Abdullah pada 25 Maret 2013 lalu. Namun, sampai saat ini keberadaan qanun tersebut belum bisa diimplementasikan, bahkan telah menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap eksistensi dan keberlakuan (geltung) qanun itu. Padahal, tujuan hukum selain kemanfaatan dan keadilan, adanya kepastian hukum (rechtszekerheid).
Kepastian hukum merupakan kejelasan peraturan hukum mengenai hak, kewajiban dan status seseorang atau badan hukum, yang dapat mendatangkan ketertiban, keteraturan, dan ketenangan. Sehingga, mengetahui kedudukan, hak dan/atau kewajibannya (Solly Lubis, 2011:54). Akibat ketidakjelasan keberadaan qanun tersebut telah menimbulkan polemik baik antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh maupun antara DPRA dengan gubernur.
Meskipun demikian ada kemajuan pembahasan qanun tersebut --walau dead lock akibat ketidaksetujuan sebagian anggota Partai Aceh (PA)-- dalam rapat tertutup antara Gubernur Zaini Abdullah, Wakil Gubernur Muzakir Manaf, Wali Nanggroe Malek Mahmud, dan Fraksi PA. Di mana Gubernur dan Wali Nanggroe mulai membuka ruang perubahan demi masa depan Aceh (Serambi, 3/5/2016). Agar ada kepastian hukum dan tidak berdampak luas secara hukum, politik, dan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintahan Aceh niscaya urgen diselesaikan.
Prosedur pembentukan
Qanun sebagai produk hukum dan politik, dalam prosedur pembentukannya secara yuridis formil dibahas dan disetujui bersama antara DPRA dan Gubernur, serta disahkan oleh Gubernur; dan, yuridis materil, qanun harus sesuai dengan hirarki dan kapasitasnya, serta tidak boleh kontradiksi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Rosjidi Ranggawidjaya, 1998:43-45).
Dalam konteks UUPA pembentukan qanun sebagaimana Pasal 232 ayat (1), merupakan wewenang Gubernur dan DPRA. Sementara penetapan dalam qanun secara atributif diatur dalam Pasal 246 UUPA disebutkan, selain bendera Merah Putih sebagai bendera Nasional, pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang keistimewaan dan kekhususan, bukan sebagai simbol kedaulatan Aceh, yang diatur dalam Qanun Aceh berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Meskipun demikian, dalam konteks otonomi daerah berkaitan hubungan antara pemerintah pusat dan Aceh --termasuk daerah-daerah lainnya-- pemerintah pusat berwenang melakukan pengawasan prefentif atau represif. Sebagaimana Pasal 235 UUPA, menyebukan, pemerintah melaksanakan pengawasan sesuai peraturan perundang-undangan, dan dapat membatalkan qanun jika bertentangan dengan kepentingan umum, antar qanun dan peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Sehingga, dalam hal pembetukan Qanun Aceh melibatkan tiga institusi, yaitu DPRA, Gubernur dan Pemerintah Pusat. Berdasarkan Perpres No.87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.12 Tahun 2011, untuk Raperda/Raqan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah dilakukan dengan evaluasi (prefentif). Sementara, Perda/Qanun lainnya dilakukan dengan klarifikasi (represif).
Anehnya, klarifikasi Qanun Bendera oleh pemerintah tidak konsisten dengan Perpres No.87 Tahun 2014, malah secara diskresi (freisermessen) melakukan cooling down, yang tidak dikenal dalam proses pembentukan perundang-undangan. Seharusnya, kalau materiil Qanun Bendera bertentangan PP No.77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah, maka menurut Pasal 134 ayat (3) dan Pasal 136 ayat (3) Perpres No.87 Tahun 2014, setelah diklarifikasi tidak melakukan perubahan, dalam waktu 60 hari qanun tersebut dibatalkan. Sebaliknya, berdasarkan Pasal 138, jika pemerintah Aceh tidak menerima pembatalan, dapat mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung (MA) dan jika dikabulkan, peraturan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan berlaku qanun. Sementara, jika ditolak maka Qanun Bendera niscaya direvisi.
Terlepas anomali proses pembentukannya, dan konteks kekhususan hubungan Pusat-Aceh sehingga harus melalui cooling down, secara yuridis formil Qanun Bendera mengacu Pasal 246 UUPA tidak dapat ditolak, karena kewenangan atributif pemerintah Aceh. Hanya saja, permasalahannya secara yuridis materiil, substansi bendera bintang-bulan dianggap bertentangan dengan penjelasan Pasal 6 ayat (4) PP No.77 Tahun 2007 karena meyerupai logo dan bendera organisasi separatis.
Metode ‘rechtsvinding’
Namun demikian, Qanun Bendera sebagai politik hukum (legal policy) Aceh hari ini dan akan datang, tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut tanpa ada kepastian hukum. Menyikapi maksud Wali Nanggroe dan Gubernur sebagai perunding MoU Helsinki, yang mulai terbuka dengan perubahan tentu harus disikapi dengan bijak. Oleh karena itu, meskipun sedang dilakukan upaya politik (lobi politik), dapat juga dilakukan secara hukum, salah satunya menggunakan metode rechtsvinding (penemuan hukum).
Sebagaimana diketahui peraturaan perundang-undangan atau peraturan hukum itu bertujuan untuk melindungi kepentingan manusia. Namun, peraturan hukum itu sering tidak jelas, tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap. Oleh karenanya, perlu menggunakan sistem hukum, yang bersifat lengkap dan menyediakan metode penemuan hukum. Dengan metode ini ketidaklengkapan dan ketidakjelasan peraturan hukum dapat diatasi, dan disesuaikan dengan perkembangan waktu dengan jalan penafsiran (interpretasi) atau argumentasi (Sudikno Mertakusumo, 2012:58).
Kemudian, peraturan hukum juga tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwanya. Namun harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan disesuaikan dengan peristiwanya. Peristiwa hukumnya harus dicari lebih dulu dari peristiwa konkretnya. Selanjutnya, peraturan hukum ditafsirkan untuk dapat diterapkan (Sudikno dan A Pitlo, 1993:12). Oleh karena itu, polemik pembentukan dan penerapan Qanun Bendera oleh pemerintah pusat dan pemerintah Aceh perlu ditafsirkan (interpretasi) dan menyesuaikan dengan peristiwa sebelumnya, salah satunya melalui penemuan hukum interpretasi historis (sejarah).
Interpretasi ini, ada dua macam, yaitu: interpretasi historis hukum dan undang-undang. Dalam historis undang-undang, yaitu merujuk sejarah pembentukan undang-undang, dengan mencari pikiran dan kehendak pembentuk undang-undang (wetgeving). Di mana dengan mengambil risalah-risalah pembahasan di parlemen (JA Pontier, 2008:41-44). Berkaitan dengan pembentukan Qanun Bendera, maka perlu menafsirkan historis pembahasan UUPA di DPR, antara lain: 1) risalah-risalah UUPA, terhadap pengaturan BAB XXXVI tentang Bendera, Lambang, dan Himne, terdiri dari Pasal 246-248 UUPA; 2) naskah akademik UUPA; dan, 3) sejarah kesepakatan MoU Helsinki, khususnya Butir 1.1.5 MoU Helsinki, tentang hak menggunakan simbol-simbol wilayah, seperti himne, lambang dan bendera.
Sehingga, jika dari kesepakatan Butir 1.1.5 MoU Helsinki antara Pemerintah dan GAM saat itu --tentu diketahui oleh Wali Nanggroe dan Gubernur sebagai perunding-- menyepakati bentuk bendera tersebut. Selanjutnya, risalah UUPA antara Pemerintah dan DPR bahwa juga menyepakati bentuk bendera tersebut, maka pemerintah pusat tidak bisa menolaknya meskipun berbeda dengan PP No.77 Tahun 2007. Sebaliknya, jika memang tidak disampaikan atau bahkan tidak disepakati baik dalam MoU Helsinki dan UUPA, maka wajar dan rasional pemerintah Aceh menerima bentuk bendera dan lambang untuk dilakukan perubahan sebagaimana peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, diperlukan kebijkasanaan (wisdom) antara pemerintah pusat dan Aceh, demi masa depan kesejahteraan rakyat Aceh. Semoga!
* Amrizal J. Prang, SH., LL.M., Mahasiswa Program Doktoral Universitas Sumatera Utara (USU) Medan dan Dosen Hukum Tata negara Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe. Email: j.prang73@gmail.com