Jurnalime Warga

Dari Vietnam ke Aceh: Membangun Kesadaran melalui Sejarah

Mengingat pentingnya peristiwa perang, pemerintah Vietnam membangun beberapa museum yang memamerkan benda-benda sisa perang..

Editor: Eddy Fitriadi
For Serambinews.com
AULIA RIZKI - Aulia Rizki, Mahasiswa magister asal Aceh pada Program Double Degree LPDP. 

Oleh Aulia Rizki

SERAMBINEWS.COM - Vietnam adalah negara yang berperang dalam durasi melawan Amerika Serikat (1955-1975). Perang kisah heroik pejuang Vietnam selama 20 tahun ini berakhir dengan kekalahan pihak AS yang ditandai kegagalan menguasai Vietnam.

Mengingat pentingnya peristiwa perang, pemerintah Vietnam membangun beberapa museum yang memamerkan benda-benda sisa perang versus AS. Salah satunya di ibukota Ho Chi Minh. 

Baru-baru ini saya yang berangkat dari Kuala Lumpur, melakukan kunjungan ke salah satu museum sejarah perang di pusat kota Ho Chi Minh. Perjalanan ini menjadi pengalaman yang membuka mata dan menyentuh kesadaran terdalam pada diri saya.

Di tempat itu, sejarah tidak sekadar dipajang dalam bentuk artefak diam. Ia dihidupkan dengan narasi, visual, dan suasana yang begitu menggugah.

Setiap sudut ruangan seperti menyimpan kisah masa lalu yang masih berdenyut: Dari reruntuhan tank yang hancur oleh perang, hingga potret para pejuang dan korban sipil yang berbicara tanpa kata.

Antara Vietnam dan Aceh

Tak hanya menyentuh sisi pengetahuan dan kemajuan teknologi pada zamannya. Museum ini juga menyentuh sisi kemanusiaan yang mampu membangkitkan emosi seperti perasaan terharu, senyum, hingga tetesan air mata.

Vietnam tampak begitu serius dan bangga dalam merawat jejak sejarahnya, menjadikannya bukan hanya sumber edukasi, tetapi juga sumber kebanggaan dan penguat identitas nasional.

Pengalaman ini membawa saya pada perenungan yang mendalam, terutama sebagai seorang anak bangsa yang berasal dari Aceh, sebuah wilayah yang dikenal sebagai “Serambi Mekkah”. 

Aceh kaya akan sejarah perjuangan, keulamaan, dan kebudayaan Islam. Aceh bukanlah daerah biasa. Ia adalah simbol kekuatan perlawanan terhadap penjajahan, pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara, dan tempat di mana nilai-nilai agama serta nasionalisme berkelindan erat dalam jiwa rakyatnya.

Namun sayangnya, kemegahan sejarah itu hari ini tampak samar, perlahan terhapus dari ingatan kolektif kita.

Kita harus bertanya dengan jujur: ke mana perginya semangat untuk menjaga sejarah Aceh? 
Padahal para pendahulu kita telah mengusir penjajah dengan air mata dan darah. Mereka rela kehilangan harta, keluarga, bahkan nyawa demi mempertahankan kehormatan agama dan bangsa.

Perjuangan mereka bukan semata fisik, tetapi juga spiritual dan kultural. Mereka mempertahankan nilai-nilai yang membentuk jati diri Aceh sebagai bangsa yang berdaulat, bermartabat, dan berakar kuat pada nilai-nilai Islam.

Namun betapa ironis, ketika pengorbanan itu tidak dihargai sebagaimana mestinya oleh generasi kini.

Tak satu pun museum perjuangan yang dibangun oleh pemerintah sebagai bentuk penghormatan kepada sejarah Aceh. Bahkan, jejak sejarah itu justru semakin terhapuskan secara sistematis.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved