Citizen Reporter
Komunis Telah Mati di Tiongkok
SEBAGAI ibu kota Republik Rakyat Tiongkok (RRT), melihat Beijing sama dengan sedang membaca narasi yang mengisahkan dinamika perkembangan
OLEH MAKMUR IBRAHIM MHum, Kepala Kantor Regional XIII BKN Aceh, melaporkan dari Beijing, Tiongkok
SEBAGAI ibu kota Republik Rakyat Tiongkok (RRT), melihat Beijing sama dengan sedang membaca narasi yang mengisahkan dinamika perkembangan dan kemajuan yang sedang digapai Tiongkok.
Selama di Beijing saya rasakan betapa transformasi Tiongkok dalam dua dasawarsa terakhir ini begitu dahsyat menggeliat.
Dari sejumlah sumber yang saya peroleh ternyata fenomena kemajuan Tiongkok tidak hanya terjadi di Bejing, tapi juga merata di tempat-tempat lain di seluruh Tiongkok.
Infrastruktur seperti jalan raya juga tak kalah mengagumkan. Jalan raya antarkota umumnya berjalur empat. Di wilayah kota, jalan-jalan utama umumnya lima sampi enam lajur untuk satu arah yang dipenuhi mobil-mobil baru. Tak sedikit di antaranya adalah mobil mewah buatan Eropa, Jepang, dan Korea.
Jika dilihat dari segi ini saja seolah tidak ada lagi bekas komunis di Tiongkok. Ideologi ini tampaknya kini tinggal hanya dalam dokumen dan retorika pemimpin partai dan pejabat pemerintah. Tiongkok memang negara komunis, tapi dalam praktik sehari-hari rakyat Tiongkok adalah penganut kapitalisme. Sepertinya, ideologi komunisme sudah bangkrut seiring runtuhnya Tembok Berlin, bubarnya Uni Soviet, dan Pakta Warsawa. Tiongkok sebagai negeri komunis kini lebih lihai bicara dan mempraktikkan pertumbuhan ekonomi ketimbang negara kapitalis sendiri seperti Amerika dan Eropa. Melihat kondisi ini saya yakin, sepertinya komunis telah mati di Tiongkok.
Dalam konteks ini, lanskap keseharian Tiongkok adalah liberalisme ekonomi yang melebihi kapitalisme di negeri asalnya di Eropa dan Amerika yang justru sedang tersengal-sengal menghadapi krisis seperti di Yunani, Italia, Spanyol, Portugal, dan dalam batas tertentu Amerika Serikat sendiri.
Dengan kepesatan pembangunan di berbagai lini sementara krisis keuangan dan ekonomi melanda Eurozone, misalnya, tidak heran jika negara Barat, Amerika Serikat, dan Eropa, merasa sangat terancam. Berbagai literatur tentang Cina atau Tiongkok sedikitnya dalam satu dasawarsa terakhir banyak bicara tentang ancaman Cina yang tengah bangkit. Seperti yang kita ketahui, berbagai tekanan dilakukan Barat untuk memperbaiki posisi ekonomi mereka vis-à-vis Cina, misalnya, melalui liberalisasi mata uang Yuan, tetapi Pemerintah Tiongkok masih tetap bias berkelit.
Gelagat Tiongkok yang semakin menguat bahkan bergerak menyaingi negara superpower yang telah ada sepertinya diketahui dan dinikmati dengan baik oleh rakyat dan Pemerintah Tiongkok.
Konflik perairan laut dengan Filipina dan Malaysia, misalnya, memperlihatkan betapa Tiongkok makin kuat dalam percaturan politik dunia ketika negara kuat seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris, dan sejumlah negara kuat lainnya tak berani ikut campur terang-terangan.
Dalam rangka menebar pengaruhnya ke berbagai belahan dunia inilah terlihat betapa Kedutaan Besar Tiongkok di berbagai tempat begitu aktif dan serius melakukana kerja-kerja diplomatik. Undangan yang kami terima dalam rangka Studi Negara-Negara Anggota Asean Terkait Administrasi Publik dan Manajemen SDM, misalnya, juga kami yakini sebagai upaya diplomatis Pemerintah Tiongkok memperkenalkan ketangguhan mereka kepada mitra ASEAN-nya.
Ketika menyaksikan kepesatan pembangunan dan kemajuan Tiongkok dalam berbagai bidang dan membandingkannya dengan kondisi di Tanah Air, terus terang, saya merasa iri dan sekaligus geram. Ekonomi kita memang ada pertumbuhan, tapi seperti jalan siput. Perekonomian kita tumbuh lebih banyak karena konsumsi yang meningkat, bukan karena kemajuan industri, misalnya.
Selam semingu berada di Beijing saya melihat betapa Tiongkok, terutama SDM mereka, telah siap untuk maju. Rakyat dan pemerintahan mereka begitu disiplin dan taat asas. Dengan kondisi yang demikian, bukan tak mungkin beberapa tahun ke depan Tiongkok akan menjadi kiblat ekonomi dunia sekaligus pusat kekuatan dunia.
Dari sejumlah referensi yang sempat saya pelajari selama di Beijing, kemajuan Tiongkok dalam dunia perekonomian mendapat pengakuan dari banyak negara, termasuk Amerika Serikat. Salah satu badan peneliti intelijen negara ini--National Intelligence Council atau Subintelijen Amerika--bahkan meramalkan Cina akan menjadi negara ekonomi terbesar sejagat dalam kurang dari dua dasawarsa ke depan.
Bila benar demikian, maka akan segera tiba saatnya Asia memimpin dunia. Tetapi bila waktu itu tiba, posisi Indonesia di mana ya?
* Jika Anda punya informasi menarik, kirimkan naskahnya, termasuk foto dan identitas Anda ke email redaksi@serambinews.com