Opini
KKR dan Harapan Korban Konflik Aceh
KIPRAH tujuh komisoner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang dilantik oleh Gubernur Aceh
Oleh Iskandar Usman Al-Farlaky
KIPRAH tujuh komisoner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang dilantik oleh Gubernur Aceh dalam Rapat Paripurna Istimewa DPR Aceh pada 24 Oktober 2016, kini ditunggu masyarakat terutama mereka yang menjadi korban dalam konflik yang berlangsung selama hampir tiga dasawarsa itu. Penulis sebagai seorang anggota dewan yang ikut terlibat langsung dalam proses fit and proper test terhadap semua komisioner KKR Aceh yang sudah dilantik itu, juga menunggu dengan optimis dan penuh harapan, kiranya mereka bisa bekerja dengan baik dalam mengkungkapkan kebenaran dan memberikan rasa adil kepada semua pihak yang menjadi korban selama konflik itu berlangsung.
Melihat beratnya tugas tersebut, tentunya komposisi komisioner juga harus diperkuat oleh mereka yang mumpuni di sisi konsep dan lapangan. Mereka membutuhkan kesiapan mental lebih karena akan bersinggungan dengan berbagai institusi yang pernah terlibat pelanggaran kemanusian di Aceh. Kerja ini menuntut anggota KKR Aceh harus lebih berani dalam mengungkapkan semua fakta konflik, baik yang dilakukan oleh GAM maupun yang dilakukan oleh TNI/Polri. Mereka juga dituntut transparan untuk mengungkapkan data-data korban konflik itu baik dari masyarakat sipil, anggota GAM, anggota TNI/Polri serta individu-individu yang mempunyai hubungan dengan kedua kelompok tersebut.
Namun, bila dilihat dari segi pengalaman, tugas ini tidak berat bagi mereka, penulis sangat yakin anggota KKR Aceh yang yang terpilih merupakan orang-orang pilihan dari proses seleksi yang sangat ketat, baik yang dilakukan oleh Pansel maupun oleh anggota Komisi I DPRA yang di dalamnya ada penulis, bersama dengan sembilan anggota DPRA lainnya. Komisioner KKR terpilih merupakan figur-figur berpengalaman dan pernah menangani kasus-kasus korban konflik pada saat berkecamuk perang antara GAM dan TNI/Polri. Dengan latar belakang ini, saya yakin komisioner KKR Aceh akan bekerja dengan baik dan selalu mengedepankan sikap profesional dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing yang telah diembankan kepada mereka.
Tidak bermaksud untuk mengungkit luka lama, namun catatan dari contoh data selama penerapan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh yang saya paparkan dalam tulisan ini, perlu menjadi perhatian para komisioner KKR Aceh dalam mengemban tugas nantinya. Jumlah korban yang terbunuh selama penerapan DOM di Aceh diperkirakan 3.800-5.000 orang. Ada juga yang menyebutkan, selama kurun waktu 10 tahun (1989-1998) itu, jumlah korban diperkirakan 7.000 orang. Sedangkan menurut data yang dikumpulkan oleh satu NGO internasional yang bermarkas di London, Inggris, menyebutkan bahwa 3.000 orang terbunuh, 3.862 orang dilaporkan hilang, 4.663 orang mengalami penganiayaan, 186 wanita diperkosa, 16 ribu anak kehilangan orang tua dan 90 ribu lainnya menjadi pelarian dan tidak memiliki tempat tinggal (Fikar dan Darma, 1999: 121-122).
Data korban konflik yang saya paparkan di atas hanya dalam kurun waktu 10 tahun selama penerapan DOM (1989-1998). Jumlah ini tentunya semakin besar mengingat konflik Aceh berlangsung selama 30 tahun. Tentunya hal ini menjadi catatan penting bagi anggota KKR Aceh untuk mendata lebih lanjut jumlah korban konflik selama berlangsungnya konflik politik di Aceh antara GAM dan pemerintah Jakarta.
Harapan baru
Masyarakat korban konflik sangat berharap, anggota KKR Aceh dapat menjalankan tugas untuk membela hak-hak keadilan bagi korban konflik. Selama ini, masyarakat korban konflik sudah berputus asa, semua jalan telah mereka tempuh untuk memperjuangkan keadilan bagi mereka, terutama untuk mendapatkan rasa keadilan bagi keluarga-keluarga mereka, sekurang-kurangnya para pelaku yang telah melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hak-hak asasi manusia (HAM) dapat ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku di negara RI. Namun harapan mereka jadi hampa, ketika upaya-upaya tersebut mengalami kegagalan.
Lahirnya KKR setidaknya telah mengembalikan semangat baru bagi mereka yang telah lama pupus, harapan mereka, KKR menjadi satu jembatan untuk dapat memperjuangkan nasib mereka menuntut kebenaran dan keadilan di negara ini. Harapan ini tentunya tidak hanya diharapkan oleh korban konflik, namun juga oleh masyarakat Aceh yang pernah merasakan konflik selama 30 tahun.
KKR dalam melakukan gerakan atau kebijakan yang akan dilakukan untuk membela korban konflik Aceh, KKR perlu mengambil filosofis “Uleu beu matee, ranteng bek patah” sehingga semua pekerjaan akan yang diemban berkaitan dengan pembelaan hak-hak korban konflik akan selesai, namun juga bisa menjaga stabilitas dan kenyamanan semua kalangan. Perlu dipahami juga bawa KKR tidak bisa dan tidak boleh menggantikan fungsi pengadilan, karena mereka bukan badan peradilan, mereka bukan persidangan hukum, dan mereka tidak memiliki kekuasaan untuk mengirim seseorang ke penjara atau memvonis seseorang karena suatu kejahatan tertentu.
Hanya saja, KKR dapat melakukan beberapa hal penting yang secara umum tidak dapat dicapai melalui proses penuntutan persidangan di pengadilan pidana. Komisi Kebenaran dapat menangani kasus dalam jumlah relatif lebih besar dibandingkan pengadilan pidana. Dalam suatu situasi di mana terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat yang meluas dan sistematis di bawah rezim sebelumnya, Komisi Kebenaran dapat menyelidiki semua kasus-kasus atau sejumlah besar kasus yang ada secara komprehensif dan tidak dibatasi kepada penanganan sejumlah kecil kasus saja.
KKR juga berada dalam posisi untuk menyediakan bantuan praktis bagi para korban dengan secara spesifik, mengidentifikasi dan membuktikan individu-individu atau keluarga-keluarga mana saja yang menjadi korban kejahatan masa lampau, sehingga mereka secara hukum berhak untuk mendapatkan bentuk reparasi di masa yang akan datang. KKR juga dapat dipakai untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan besar seperti bagaimana sebuah pelanggaran HAM terjadi; mengapa itu terjadi dan faktor apakah yang terdapat dalam masyarakat dan negara kita yang memungkinkan kejadian tersebut terjadi; perubahan-perubahan apa saja yang kita harus lakukan untuk mencegah tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia itu tidak terulang kembali
KKR di dunia
KKR juga hadir di belahan dunia bekas konflik akibat munculnya kekecewaan terhadap institusi penegakan hukum yang lamban, sehingga menguatkan desakan agar penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dilakukan melalui mekanisme KKR. Langkah ini sebagaimana pernah digunakan di sejumlah negara di Eropa, Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tetapi upaya ini pun menghadapi tantangan dari kalangan tertentu dengan berbagai alasan. Toh ada yang pro dan ada yang kontra. Yang tidak pro salah satu sebabnya adalah faktor ketidaktahuan atau ketidakpahaman terhadap konsep KKR itu sendiri, sehingga sukar mengharapkan advokasi.
Sejak kemunculannya pertama kali di Argentina dan Uganda pada medium 1980-an, KKR telah menjadi fenomena internasional. Lebih dari 20 negara telah memilih jalan mendirikan KKR sebagai cara mempertanggungjawabkan kejahatan hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu. Beberapa di antaranya sukses, meski tentu saja ada yang setengah berhasil, dan ada juga dilanda kegagalan.
Kesadaran pentingnya mengusut, mengungkap kebenaran dan meminta pertanggungjawaban rezim masa lalu yang melakukan kejahatan kemanusian, secara teoritis, diyakini banyak aktivis pro demokrasi merupakan jalan menuju demokrasi. Tidak mungkin sebuah bangsa dapat hidup bersatu padu dalam damai di atas sejarah penuh luka dan kekerasan.
Adapun negara-negara yang pernah menggunakan KKRsejak pertama kali muncul pada dekade 1980-an, berlangsung sangat pesat. Pada periode 1980-1999, tidak kurang 21 negara membentuk KKR, dan sejak tahun 2000 sejumlah negara telah pula mempertimbangkan pembentukan KKR. Di antaranya, Uganda membentuk Komisi Penyelidikan untuk Penghilangan Paksa pada 1974; Bolivia membentuk Komisi Penyelidikan untuk Penghilangan Paksa (1982-1984); Israel membentuk Komisi Penyelidikan untuk Pembunuhan di Shabra dan Chatila (1982-1983); Argentina membentuk Komisi Penyelidikan untuk Penghilangan Paksa (1983-1985).
Selamat bekerja, semoga KKR Aceh berjalan seperti yang kita harapkan!
* Iskandar Usman Al-Farlaky, SHI., anggota Komisi 1 DPR Aceh, mantan aktivis, dan jurnalis. Email: is.farlaky@gmail.com