Tabuhan Rapa-i Tuha Lamreung di Bawah Pantulan Bulan Purnama Taman Ismail Marzuki Jakarta

Lalu, rencong itu, ditusuk-tusukkan ke tubuhnya sendiri. Mula-mula paha, lengan dan bagian-bagian tubuh lain.

Penulis: Fikar W Eda | Editor: Safriadi Syahbuddin
Sanggar Rapa-i Tuha
Rapa-i Tuha tampil di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Rabu (6/9/2017) malam. 

Laporan Fikar W Eda | Jakarta

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Bulan bulat penuh. Malam purnama. Pantulan cahaya bulan bergerak-gerak di permukaan riak laut, yang sangat impresif.

Serombongan lelaki datang menenteng alat musik perkusi rapa-i. Lalu duduk membentuk kelompok-kelompok kecil. Salah seorang diantaranya duduki di tempat yang agak tinggi. Seperti sebuah pematang. Rapa-i pun ditabuh, serentak dalam tempo sedang.

Tak lama berselang, masuk seorang pria dengan ikat kepala merah. Tubuhnya bergerak mengikuti irama tabuhan, seraya membungkuk memberi salam. Bunyi rapa-i makin riuh, diselingi koor vokal bertenaga tapi tertata.

Ada lagi pria lain, masuk menyodorkan sebelah rencong, senjata khas Aceh. Pria dengan ikat kepala merah menerimanya penuh khidmat.

Lalu, rencong itu, ditusuk-tusukkan ke tubuhnya sendiri. Mula-mula paha, lengan dan bagian-bagian tubuh lain. Ujung rencong yang tajam, sama sekali tak mampu mengonyak kulit sang penari.

Tabuhan rapa-i makin deras. Koor nyanyian makin meninggi. Si penari silih berganti memainkan alat-alat berbahaya lainnya, termasuk sebuah bor listrik yang sengaja dibawa serta.

(Baca: Jadi Bagian Festival Seni Internasional, Saman Gayo Keliling Eropa)

Mata bor yang runcing, berputar cepat, saat disambung am ke panel listrik. Mula-mula mata bor diarahkan pada sebelah kayu kecil, untuk memperlihatkan bahwa bor tersebut berfungsi. Kayu kecil itu tampak tembus oleh mata bor.

Si penari dengan ikat kepala merah, tak hanya berhenti pada kayu tadi. Ia lalu meletakkan mata bor yang berputar kencang itu, pada telapak tangan kirinya. Tak puas sampai di situ, si pensri, lalu mengebor rongga mulutnya, pipi, hidung, dan kening.

(Baca: Seniman Aceh Ramaikan Pentas Seni di Medan)

Terdengar suara seorang perempuan, berteriak setengah histeris, di kursi penonton, saat menyaksikan adegan dramatis itu. Tapi si penari dengan ikat kepala merah, senyum saja. Mata bor seolah tumpul dan tak berarti apa-apa.

Adegan mendebarkan itu, merupakan bagian dari komposisi "rapai dabus" dimainkan Sanggar Rapa-i Tuha, Desa Lamreung, Aceh Besar, yang mengisi "Panggong Aceh" di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Rabu (6/9/2017) malam.

Sanggara Rapa-i Tuha di Jakarta
Rapa-i Tuha tampil di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Rabu (6/9/2017) malam. (Sanggar Rapa-i Tuha)

Di awal pertunjukan, pria-pria Lamreung itu memainkan "Komposisi Petir Siang Bolong" dan diakhiri dengan "Komposisi Rapa-i Hajat."

Bulan purnama, dan pendaran cahayanya yang bergerak-gerak di riak laut ditampilkan melalui perangkat multimedia dengan layar lebar di bagian belakang panggung. Kekuatan multimedia itu juga mengisi "Komposisi Rapa-i Hajat" dengan tampilan video aneka budaya Aceh.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved