Belum Bersertifikat tak Berarti Bernajis
Klaim Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Permusyawaratan Ulama
* Tentang Garam Tradisional Aceh
BANDA ACEH - Klaim Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh bahwa banyak garam Aceh bernajis karena tempat pengolahannya tak berpagar sehingga mudah dimasuki hewan, mengundang reaksi dari petani garam di provinsi ini. Pemakaian kata “bernajis” dinilai bisa mematikan usaha mereka.
Koordinator Asosiasi Pendamping Manajemen Usaha Kelautan dan Perikanan (APMUKP) Wilayah Aceh, Habibie SPi melalui siaran persnya kepada Serambi, Rabu (13/12) mengaku prihatin dengan kondisi petambak garam dan cara produksi pembuatan garam yang mendapatkan stigma buruk.
“Nah, tugas pemerintah dan lembaga terkaitlah melakukan pembinaan dan pendampingan serta memberikan kemudahan dalam akses perizinan. Pelaku usaha, khususya petani garam, jangan selalu dijadikan objek kesalahan,” kata Habibie menyikapi liputan eksklusif Serambi kemarin berjudul: Mayoritas Garam Aceh Bernajis?
Sebelumnya diberitakan, di Aceh terdapat lebih dari 200 unit usaha garam rakyat yang diproduksi secara tradisional. Namun, hanya satu yang mendapat sertifikat halal dari LPPOM MPU Aceh, yakni usaha garam UD Milhy Jaya di Kecamatan Jangka, Bireuen.
Tiap kali ada pengusaha garam mengurus sertifikasi halalnya ke MPU Aceh, maka pihak LPPOM langsung melakukan observasi. Waktunya sengaja dipilih malam hari, sehingga ketahuan apakah saat pemilik lahan itu tertidur, ada tidak berbagai hewan ternak yang masuk dan buang hajat di ladang garam (lancang sira) tersebut.
Pihak LPPOM bisanya menggunakan kamera untuk merekam pada malam hari perilaku hewan di lahan penampungan air laut yang akan diolah jadi garam itu. Kalau ada hewan yang kencing atau buang kotoran di lahan tersebut, maka air yang akan dimasak jadi garam itu bernajis.
Pelaku usaha garam tradisional yang sudah mengajukan permohonan sertifikasi halal ke LPPOM MPU Aceh pun tidak banyak. Hanya tiga orang, masing-masing berlokasi di Kajhu, Aceh Besar, dan dua lagi di Pidie. “Tapi sejauh ini yang garamnya sudah halal, hanyalah produk Milhy Jaya yang berada di Jangka, Bireuen,” ungkap Sekretaris LPPOM MPU Aceh, Deni Candra MT kepada Serambi, Selasa (12/12) siang.
Versi Habibie, apabila ada petambak garam belum memiliki sertifikasi halal dari LPPOM MPU Aceh, bukan berarti produk mereka bernajis. Menurutnya, itulah tugas pemerintah untuk memberdayakan petani garam dan mempermudah dalam pengurusan izin halal MPU.
“Petambak belum memiliki sertifikasi halal, bukan berarti produk mereka bernajis. Ini sesuatu yang berbeda. Jadi, mari kita pikirkan bagaimana memberdayakan pelaku usaha, khususnya petambak garam. Kalau perlu MPU bekerja sama dengan Pemda memberikan layanan gratis bagi akses izin halal,” ucapnya.
“Kalau misalnya dari 200 usaha garam yang ada hanya satu yang baru memiliki sertifikasi halal LPPOM MPU Aceh, tentunya ini tantangan. Jangan sampai, justru kita kontraproduktif, yang pada ujungnya produk lokal tidak laku dan produk daerah lain membanjiri Aceh,” tambah Habibi.
Seharusnya, kata Habibie, LPPOM MPU Aceh bisa menyampaikan persoalan garam Aceh dengan bahasa yang lebih baik dan bisa diterima. Dia sampaikan, persoalan tersebut sudah disampaikan kepada Ketum APMUKP, Rahmadi Sunoko, SPi yang juga Pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI.
“Masih ada bahasa yang lain, ini sama halnya membuat usaha tambak garam tradisional jadi mati dengan membaca berita tentang mayoritas garam Aceh bernajis? Otomatis konsumen jadi enggan dan was-was membeli produk garam lokal karena bernajis,” kata dia.
Habibie berharap, Pemerintah Aceh bersama MPU Aceh bisa melakukan pembinaan dan mempermudah petambak garam untuk memperoleh sertifikat halal dari LPPOM, bukan malah menghakimi dengan kata “bernajis” yang membuat petani garam lokal gulung tikar.
Habibie mengatakan, belum adanya lancang sira yang tidak berpagar menjadi salah satu indikator tidak syar’i-nya garam tersebut untuk dikonsumsi, karena biaya untuk itu sangat besar. “Karena itu, dibutuhkan perhatian pemerintah agar petani garam Aceh tetap bisa bersaing di pasar,” ujar Habibie.