APBA Terlambat, Ekonomi Terhambat

Terlambatnya pembahasan dan pengesahan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Aceh (RAPBA)

Editor: bakri
PEMIMPIN Perusahaan Harian Serambi Indonesia, Mohd Din didampingi Sekretaris Redaksi, Bukhari M Ali berbincang dengan Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Aceh, Zainal Arifin Lubis saat berkunjung ke Kantor Harian Serambi Indonesia di Jalan Raya Lambaro Km 4,5 Desa Meunasah Manyang Pagar Air, Ingin Jaya, Aceh Besar, Selasa (23/1). 

* Pernyataan Kepala Kantor BI Aceh di Serambi

BANDA ACEH - Terlambatnya pembahasan dan pengesahan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Aceh (RAPBA) Tahun 2018 dapat menghambat pertumbuhan ekonomi Aceh dan hilangnya momentum penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibanding tahun sebelumnya.

Hal itu disampaikan Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Aceh, Zainal Arifin Lubis, saat berkunjung ke Kantor Harian Serambi Indonesia di Jalan Raya Lambaro Km 4,5 Desa Meunasah Manyang PA, Ingin Jaya, Aceh Besar, Selasa (23/1) pagi.

Dalam kunjungan itu juga hadir Manajer Fungsi Komunikasi dan Koordinasi Kebijakan BI Aceh, Manjuria, Manajer Fungsi Asesmen Ekonomi dan Keuangan BI Aceh, Tutut Tiana, dan Asisten Manajer Fungsi Komunikasi dan Koordinasi Kebijakan BI Aceh, Fadhil Muhammad.

Kunjungan silaturahmi itu diterima oleh Pemimpin Perusahaan Serambi Indonesia, Mohd Din, Sekretaris Redaksi Bukhari M Ali, Redaktur Ekonomi Bisnis Mursal Ismail, Manajer Iklan Hari Teguh Patria, dan Manajer Promosi, M Jafar.

Zainal Arifin Lubis mengatakan, kontribusi pengeluaran pemerintah (sektor administrasi pemerintahan) baik melalui APBN maupun APBA mempunyai kontribusi yang besar dalam menunjang pertumbuhan ekonomi Aceh.

Ia menyebutkan, kontribusi pengeluaran pemerintah termasuk tiga sektor besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh. Yaitu, sektor pertanian kurang lebih 30 persen, perdagangan 16 persen, dan administrasi pemerintah (pengeluaran pemerintah) sebesar 9,3 persen.

Pengeluaran pemerintah bukan saja memiliki kontribusi secara langsung untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh, tetapi juga berperan sebagai stimulus bagi sektor ekonomi lain. “Bila pengeluaran pemerintah mandek, maka pertumbuhan bisa terganggu dan sektor-sektor lain tidak bisa bergerak cepat,” tegasnya.

Zainal Arifin mengatakan, pertumbuhan ekonomi Aceh tahun 2017 sebesar 4,78 persen, lebih baik dibandingkan 2016 sebesar 2,94 persen. Namun, dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional, laju pertumbuhan ekonomi Aceh berada di bawah rata-rata pertumbuhan nasional sebesar 5,06 persen.

Di samping itu, kualitas pertumbuhan ekonomi Aceh tersebut relatif rendah karena masih diikuti oleh inflasi yang relatif tinggi. Dalam tahun 2017, laju inflasi Aceh 4,25 persen, sedangkan nasional 3,61 persen. Setiap tahun pun, angka inflasi di Aceh relatif tinggi yang semestinya juga harus dikendalikan.

Zainal Arifin yang sebelum bertugas di Aceh merupakan Kepala Divisi Departemen Statistik Bank Indonesia Pusat mengimbau agar proses pembahasan, pengesahan, dan realisasi anggaran tersebut dipercepat, mengingat peran penting anggaran pemerintah tersebut terhadap aktivitas ekonomi di Aceh. Sehingga diharapkan, target pertumbuhan ekonomi Aceh 2018 sebesar kurang lebih 4,55 persen bisa tercapai dengan tingkat inflasi yang lebih rendah dari tahun 2017.

Setelah anggaran bisa dilaksanakan, ada tugas lain dari Bank Indonesia dan Pemerintah Aceh untuk mengendalikan inflasi agar pertumbuhan berkualitas dan daya beli masyarakat tetap baik. Saat ini, Ketua Tim Pengendali Inflasi Daerah langsung dijabat Gubernur Aceh, dengan demikian semestinya koordinasi pengendalian inflasi menjadi lebih mudah.

Di samping mempercepat realisasi anggaran, Zainal Arifin juga menyebutkan, diperlukan investasi pihak swasta untuk mendorong pertumbuhan sektor-sektor lain dan membuka lapangan kerja.

Ia menyebutkan, sektor pertanian di Aceh harus mendapat perhatian karena perannya yang besar terhadap pertumbuhan sekaligus juga Aceh sebagai produsen beras yang cukup besar. Aceh masih bisa memperluas lahan pertanian, sehingga masih sangat mungkin meningkatkan produksi.

Untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih baik, Zainal mengatakan, Aceh juga perlu mengembangkan alat proses hasil pertanian. Salah satunya adalah membangun kilang padi yang lebih baik, sehingga gabah yang dihasilkan di Aceh tidak dibawa ke luar Aceh. Selama ini, sebagian besar gabah di Aceh dibawa ke Sumatera Utara untuk diproses menjadi beras, sehingga harga beras dan distribusi beras ditentukan oleh daerah lain.

Sangat ironis, menurutnya, sebagai produsen gabah yang besar, Aceh malah sering mengalami kenaikan harga beras karena suplai beras kurang atau bergantung pada daerah lain. “Ini juga yang mendorong inflasi di Aceh bisa tinggi,” kata Zainal Arifin Lubis. (una)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved